Dinamika Perempuan Berhaji (Bagian 2-Habis)

Dinamika Perempuan Berhaji (Bagian 2-Habis)

Perempuan berhaji kerap mendapatkan banyak kendala, apa kita memang patriarki?

Dinamika Perempuan Berhaji (Bagian 2-Habis)
ilustrasi: berdoa di depan Ka’bah

Saya pernah didebat oleh teman saya karena keraguannya atas film yang saya rekomendasikan kepadanya untuk ditonton. Film itu berjudul Wadjda keluaran tahun 2012, bercerita seorang anak perempuan seumur sekolah dasar, agak tomboy dan hidup sebagai anak tunggal dari pasangan suami istri. Ayahnya bekerja di salah satu pengebor minyak lepas pantai dan ibunya berprofesi sebagai seorang guru di salah satu madrasah.

Judul film ini diambil dari nama tokoh utamanya yaitu anak perempuan  bernama Wadjda. Wadjda dan keluarga hidup secara ekonomi sebenarnya berkecukupan, karena memiliki rumah sendiri. Sebab, di Arab Saudi hanya bisa dimiliki oleh orang-orang yang memiliki ekonomi yang mapan, karena harga tanah di Arab Saudi cukup mahal. Teman saya meragukan pengambilan film ini dilakukan di wilayah Arab Saudi, karena keberanian film tersebut menggambarkan ketidakadilan yang dialami perempuan di Arab Saudi. Namun saya menunjukkan beberapa tanda bahwa pengambilan gambar dalam film tersebut dalam wilayah Arab Saudi.

Baca: Dinamika Perempuan Berhaji (Bag-1)

Di antara tandanya adalah bahasa yang digunakan dalam film tersebut bukanlah bahasa arab  resmi, namun bahasa arab jalanan yang dipakai secara masif di wilayah Arab Saudi, dan kontur tanah juga bangunan sangat lazim ada di Arab Saudi.

Sebagaimana disebutkan di atas, yang menarik dalam Wadjda adalah film tersebut sangat bagus menangkap bagaimana kehidupan perempuan di Arab Saudi. Tema ini menjadi menarik, sebab perempuan di Arab Saudi tidak mendapatkan posisi yang terhormat. Wadjda dan ibunya salah satu yang mengalami perlakuan yang kurang nyaman sebagai perempuan.

Ibu Wadjda harus menjalani kehidupan yang kurang mengenakkan sebab dia melahirkan anak perempuan dan tidak bisa memberikan anak laki-laki, sehingga Ibu Wadjda harus menerima saat ayah Wadjda menikah lagi dengan pilihan keluarganya untuk bisa mendapatkan keturunan laki-laki. Sedangkan Wadjda sendiri juga tidak lebih baik, sebab dia harus menerima saat namanya tidak ditulis dalam pohon keluarga ayahnya. Sebab yang dianggap keluarga hanyalah anak laki-laki.

Budaya arab yang sangat kuat dan kental yang menganggap laki-laki sebagai super power, masih belum bisa dihapus dengan kehadiran Islam sejak kelahirannya.

Oleh sebab itu, Islam yang kita kenal selama ini sangat menyanjung dan menghormati perempuan, masih memiliki pekerjaan rumah yang besar. Sebab perempuan di tanah Arab Saudi masih banyak mendapatkan perlakuan-perlakuan yang tidak baik. Budaya patriarki yang masih mengakar kuat, menyebabkan perilaku tidak baik atas perempuan masih bisa ditemukan dengan sangat mudah, ditambah dengan stigma perempuan-perempuan asal Indonesia yang dikonotasikan memiliki kemampuan yang hebat di atas ranjang. Inilah yang banyak diceritakan kepada saya oleh beberapa jemaah.

Memang tidak semua jemaah haji perempuan yang mengalami perlakuan tersebut, namun beberapa yang menceritakan perlakuan-perlakuan yang diterimanya cukup meninggalkan trauma yang mendalam. Beberapa cerita di antaranya, ada yang mendapatkan rayuan saat masuk toko kelontongan untuk menikah bersama pemilik toko kelontong tersebut.

Sebagaimana esai saya sebelum ini, jemaah perempuan banyak kesulitan bergerak saat berada di tanah suci. Oleh sebab itu, pekerjaan rumah dibebankan pada pemerintah Arab Saudi untuk bisa menciptakan iklim kondusif untuk perempuan bisa nyaman beribadah di sana.

Absennya perempuan di ruang publik dalam wilayah Arab Saudi memang meninggalkan masalah yang cukup pelik, sebab saat keputusan-keputusan yang berkaitan dengan perempuan belum mendapatkan persetujuan perempuan, yang memiliki saham besar untuk menjamin pelayanan tersebut bisa terjamin untuk kenyamanan perempuan sendiri. Mengurus manusia lebih dari 2-4 juta memang berat, tidak semudah membalikkan tangan tapi perjalanan Haji bukan cuma sekarang sudah berumur cukup tua. Seharusnya iklim yang nyaman bagi perempuan sudah bisa dipelajari sejak dulu sekali.

Baca juga: Hikayat Sandal di Tanah Suci

Perubahan kultur patriarki yang banyak menyebabkan perlakuan tidak baik atas perempuan, sudah seharusnya mulai dipikirkan bagaimana bisa dikurangi sebisa mungkin. Sebab, perempuan berhak mendapatkan kehormatan dan kenyamanan saat menjalankan ibadah Haji. Walau kita semua tahu, bahwa kultur patriarki di Arab Saudi beberapa dilindungi dengan penafsiran ajaran Islam yang kurang ramah terhadap perempuan.

Maka, memunculkan penafsiran ajaran Islam yang benar-benar ramah pada perempuan harus mulai dikaji di tanah Arab sebagai tuan rumah dari konferensi umat Islam terbesar ini (baca : Haji). Arab Saudi tidak bisa lagi bersikeras akan kebenaran ajaran Islam yang selama ini mereka pegangi, sebab Arab Saudi adalah sebuah tempat di mana semua mazhab berinteraksi dengan sangat indah dalam sebuah prosesi Haji.

Memaksakan kebenaran dan tafsiran sendiri adalah sebuah keputusan yang tidak bijak jika masih dilakukan oleh pemerintah Arab Saudi, sudah saatnya mereka mulai belajar menerima akan keberadaan perbedaan mazhab yang mungkin membuka peluang untuk menciptakan kultur yang ramah terhadap perempuan di Arab Saudi. Semoga dengan terwujudnya kultur tersebut, semua jemaah haji bisa beribadah dengan nyaman selama berada di tanah suci.

 

Fatahallahu alaihi futuh al-arifin