Di antara hikmah ibadah haji adalah saling mengenal sesama umat muslim lintas bangsa dan lintas negara. Dalam persinggungan di setiap pelaksanaan rangkaian haji diharapkan bisa terjadi interaksi intens sehingga bisa saling mengerti kondisi umat muslim di belahan dunia lain. Dengan begitu, umat Islam bisa saling membantu dan merasakan apa yang dirasakan oleh umat Islam yang lain meski terpisak jarak dan berbeda kewarganegaraan dan berbeda suku-bangsa.
Masa ibadah haji adalah masa penghilangan sekat, semua orang berkumpul tanpa memandang bangsa, negara, warna kulit, status sosial seperti yang hendak terjadi besok di padang mahsyar. Mereka berkumpul dengan satu kesamaan yaitu sama-sama merasa sebagai hamba Allah dan sama-sama umat dari Nabi Muhammad Saw. Berangkat dari titik kesamaan ini diharapkan timbul perasaan sebagai saudara, menganggap orang lain bukan sebagai mereka tapi sebagai kita.
Hikmah yang demikian agung ini sebenarnya telah bisa dirasakan semenjak sebelum keberangkatan haji yang tercermin dalam syarat-syarat wajib haji. Yang dimaksud syarat wajib adalah beberapa hal yang bila telah terpenuhi maka seseorang telah berkewajiban melakukan haji. Bila hal-hal ini belum terpenuhi maka belum wajib berhaji meski tidak ada larangan melakukannya.
Syarat wajib tersebut ada lima yaitu Islam, berakal, baligh, merdeka (bukan hamba sahaya), dan istitha’ah (mampu melaksanakan). Istitha’ah ini mencakup ketersediaan bekal dan kendaraan, rute perjalanan yang aman, dan masih cukup waktu untuk melakukan perjalanan ke lokasi haji terhitung mulai memilki bekal dan kendaraan.
Terkait ketersediaan bekal dan kendaraan tersebut, yang dimaksud adalah memiliki harta yang cukup sebagai bekal dan membayar biaya perjalanan haji setelah memperhitungkan biaya pelunasan hutang dan biaya hidup orang yang berada dalam tanggung jawabnya seperti istri dan keluarga. Menurut Syekh Sa’id bin Muhammad Ba’asyin dalam Busyra al-Karim dan Syekh Sulaiman al-Kurdi, ungkapan ‘biaya hidup orang yang berada dalam tanggung jawabnya’ tak hanya berarti keluarga atau kerabat dekat.
Lebih luas, ia mencakup setiap orang Islam dan non muslim yang berada di bawah perlindungan (dzimmah) yang sedang mengalami kesulitan kebutuhan pokok dan harus mendapat penanganan segera (ahlu dlarrurah) meski bukan keluarga. Hal ini karena termasuk fardlu kifayah (kewajiban kolektif) adalah menolak madlarat dari kaum muslimin dengan cara memberi makan orang yang kelaparan, memberi bantuan pakaian kepada orang yang tak memiliki selembar kain, membantu biaya pengobatan orang yang tak memiliki kecukupan finansial, dan lain-lain. Fardlu kifayah ini dibebankan kepada setiap orang yang memiliki kelebihan harta untuk biaya hidup satu tahun. Setiap orang yang memiliki harta senilai itu memiliki tanggung jawab sosial untuk memperhatikan orang sekitar yang membutuhkan. Ketika di sekitarnya masih ada orang yang sangat membutuhkan pertolongan sedang harta zakat dan anggaran negara belum dapat memberikan pertolongan maksimal maka ia belum berkewajiban haji. Uang yang dimiliki lebih tepat digunakan untuk membantu sesam yang sangat membutuhkan.
Adanya syarat ini terkait kewajiban haji sebenarnya mengindikasikan agama mendorong ketiadaan jurang pemisah antara orang yang kaya dan miskin. Agama tak melarang orang untuk kaya sebagaimana juga tak terlalu menuntut orang agar meninggalkan kemiskinan. Kaya dan miskin adalah baik ketika didasari tuntunan agama. Menjadi orang kaya berarti siap memikul tanggung jawab bersama untuk membantu orang yang membutuhan serta menjaga perasaan kaum papa dengan tak menonjolkan kekayaan di depan mereka. Menjadi miskin tak berarti berhenti berusaha dan hanya mengharap belas kasih orang. Yang terpenting adalah keseimbangan hidup diantara semua elemen masyarakat. Yang kaya selalu mengulurkan tangan sebelum diminta, yang tak punya tak merendahkan diri dengan selalu berharap pada pemberian. Semua berusaha meraih rizki untuk kemudian berbagi. Dengan memperhatikan masyarakat sekitar sebelum meutuskan berangkat haji kemudian berkumpul dengan aneka ragam bangsa dan negara di tanah suci sehingga mengerti kondisi umat di lain tempat diharapkan setelah pulang haji para jemaah lebih bersyukur dan lebih ringan untuk membantu sesama. Itulah di antara salah satu hikmah dan manfaat ibadah haji yang hendak diwujudkan oleh agama.
*) Penulis adalah pegiat Komunitas Literasi Pesantren, Tinggal di Magelang