Beberapa waktu yang lalu, saya mendengarkan ceramah dari ustad Khalid Basalamah. Di mana dalam ceramah tersebut, sangat membanggakan pekerjaan perempuan/istri yang berada di dalam rumah. Sang Ustadz juga menjelaskan jika anak perempuan harus bersiap atas pekerjaan tersebut, pekerjaan-pekerjaan di dalam rumah. Seperti mengurusi suami dan anak. Bahkan, dalam ceramahnya perempuan tidak bisa menolak pekerjaan tersebut.
Walaupun perempuan bekerja, perempuan harus tetap melakukan hal pekerjaan rumah. Bagi saya, jelas ini tidak adil. Namun, sebelum membahas beban ganda pekerjaan perempuan, saya ingin terlebih dahulu bertanya kepada para perempuan yang memilih menjadi ibu rumah tangga. Apakah pekerjaan ini ini disukai dengan perempuan serta menikmati atas beban pekeraan yang dipikulnya?
Di masyarakat, posisi ibu diartikan sebagai perempuan yang telah menunaikan kewajiban sebagai perempuan sejati. Menjadi seorang ibu dan istri dianggap sebagai sebuah prestasi anak perempuan baik-baik, sebagaiman yang dihara-pkan oleh ibu mana pun terhadap anak perempuannya. Dalam sebuah studi yang dilakukan oleh Mary Boulton, sebagain ibu suka dengan pekerjaan. Di antaranya mengatur rumah dan menjaga anak.
Namun, sebagian besar lainnya merasa terbebani. Bagi mereka pekerjaan menjadi tidak ada habisnya. Pekerjaan mulai menyergap mereka mulai bangun tidur hingga larut malam. Kadang frustasi dengan begitu banyaknya pekerjaan yang harus dikerjaan. Bahkan, dalam studi yang dilakukan Mary Boulton, rata-rata seorang ibu mengahbiskan waktu 50 jam kerja setiap minggu atas kerjaan rutin tersebut. Dan ini sama dengan sekitar rata-rata 10 jam kerja setiap hari.
Studi tersebut, semakin runyam ketika ibu harus bekerja di luar rumah dan ketika pulang ke rumah harus meladeni tuntutan anak dan suami. Ada banyak hal yang dilematis dirasakan oleh seorang ibu. Seringkali stress dan kegelisahan dihadapi oleh seorang ibu, baik yang bekerja di dalam rumah atau di luar rumah. Pekerjaan menjaga anak dan rumah merupakan pekerjaan yang tanpa dibayar, hal tersebut akan menggantungkan seorang ibu kepada suaminya.
Menurut Melinda Paige, Ph.D., profesor konseling kesehatan mental klinis di Argosy University, Atlanta, mengatakan perasaan terisolasi, kehilangan tujuan dan identitas, serta kurangnya interaksi sosial karena terlalu banyak menghabiskan waktu di rumah adalah pemicu depresi pada ibu rumah tangga. Mengatur rumah tangga bukan perkara gampang, menjaga anak-anak kecil, mengatur situasi rumah tangga, butuh tak hanya kesehatan fisik yang prima, tapi juga mental yang stabil. Waktu yang terkuras karena mengurus rumah tangga membuat ibu rumah tangga mengabaikan kebutuhannya sendiri. Hal inilah yang membuat ibu rumah tangga kurang menghargai dirinya sendiri.
Kondisi lainnya yang sering dirasakan adalah seorang ibu kerap merasa terabaikan kepada mereka yang sering bergaul di dunia publik. Akibatnya, tidak sedikit para ibu akan memiliki sikap dan tingkah laku yang rendah diri. Selama 8 bulan pandemi Covid-19, sebuah survei menunjukkan bahwa 56 persen ibu rumah tangga mengaku stres dan mengalami gejala kecemasan, sulit tidur, serta mudah marah. Survei yang dijaring oleh aplikasi Teman Bumil dan platform riset pasar Populix ini melibatkan 1.230 partisipan, tapi hanya 1.192 yang masuk kriteria analisis.
Seorang pakar perempuan bernama Ann Oakley perempuan akan merasa tidak bahagia dan depresi ketika dia harus kehilangan identitas dirinya. Untuk itu, bagi sebagian ibu bekerja di luar rumah adalah bagian dari identitas dirinya. Keadaan-keadaan tersebut, tidak sedikit keadaan tersebut sebagai keadaan yang dianggap tidak adil.
Hal itu membawa perempuan untuk melakukan aksi kolektif sebagai bentuk pengartikulasian para perempuann atas kondisi ketidakadilan yang mereka alami. Aksi kolektif yang dilakukan dalam bentuk pemberdayaan sebagai respojn diskriminasi terhadap perempuan. Para perempuan ditandai dengan kesadaran untuk mengorganisasikan diri dan terlibat dalam politik.
Aksi kolektif menjadi satu kajian penting dalam isu feminis karena di mana gerakan perempuan menjadi perjuangan yang lebih kuat, efektif dan berkelanjutan. Dan menjadi ibu rumah tangga tidak pernah sesederhana soal ‘menerima’ saja. Mengurus rumah tangga idealnya adalah urusan suami-istri, urusan keduanya, bukan salah satu dari keduanya.