Meskipun saat ini bukan lagi zaman Siti Nurbaya, namun masih ada orangtua yang menjodohkan anaknya, baik dengan tujuan menjaga latar belakang suku dan budaya, meninggikan derajat atau lain sebagainya.
Tapi cinta memang tidak bisa dipaksakan. Jika tidak menyukainya, bolehkah anak menolak perjodohan yang telah direncanakan oleh orangtua? Apakah itu termasuk durhaka?
Hukum perjodohan pada dasarnya adalah boleh. Islam tidak melarang dan tidak pula menganjurkan. Namun Islam sendiri memiliki kriteria laki-laki atau perempuan yang seperti apa yang layak untuk dijadikan pasangan.
Masalah perjodohan memang sudah ada sejak lama, bahkan pernah juga terjadi di masa Rasulullah Saw. Sebagaimana disebutkan dalam hadis riwayat Ibnu Majah, suatu ketika seorang gadis datang kepada Nabi Saw dan mengadu, “Sesungguhnya ayahku telah menikahkanku dengan keponakannya dengan tujuan agar mengangkat derajatnya melalui saya. Maka Rasulullah Saw pun menyerahkan urusan itu kepada gadis tersebut (untuk melanjutkan pernikahan itu atau berpisah).
Gadis itu lalu berkata, “Aku (kini) menyetujui apa yang diperintahkan ayahku. Hanya saja aku ingin perempuan-perempuan tahu bahwa ayah tidak memiliki wewenang (memaksa) sedikitpun (dalam hal ini).”
Rasulullah Saw tidak memaksa gadis itu untuk menuruti perjodohan yang dilakukan orangtuanya. Beliau justru mengembalikan keputusan tersebut kepadanya. Di sisi lain, Nabi Saw menegaskan bahwa seorang gadis perlu dimintai izinnya terebih dahulu sebelum menikahkannya, sebagaimana sabdanya:
الثَّيِّبُ أَحَقُّ بِنَفْسِهَا مِنْ وَلِيِّهَا، وَالْبِكْرُ تُسْتَأْمَرُ، وَإِذْنُهَا سُكُوتُهَا
Seorang janda lebih berhak atas dirinya daripada walinya, sedangkan perawan (gadis) harus dimintai izin darinya, dan diamnya adalah izinnya. (HR Muslim)
Berdasarkan hadis di atas, seorang gadis boleh dinikahkan apabila dia ridho terhadap pernikahan itu. Jika ia tidak menghendaki pernikahan yang didasarkan pada perjodohan, maka tidak apa-apa jika ia menolaknya.
Penolakan tersebut bukanlah dosa dan bukan perbuatan durhaka kepada orangtua. Prof Quraish Shihab sebagaimana mengutip perkataan Rasyid Ridha (pakar tafsir) berkata:
“Tidak termasuk sedikitpun dalam kewajiban berbuat baik/berbakti kepada kedua orangtua sesuatu yang mencabut kemerdekaan dan kebebasan pribadi atau rumah tangga atau jenis-jenis pekerjaan yang bersangkut paut dengan pribadi anak, agama, atau negaranya. Jadi, apabila keduanya atau salah seorang bermaksud memaksakan pendapatnya menyangkut kegiatan-kegiatan anak, maka bukanlah dari bagian berbuat baik atau bakti menurut syara/agama meninggalkan apa yang kita (anak) nilai kemaslahatan umum atau khusus, dengan mengikuti pendapat atau keinginan mereka, atau melakukan sesuatu yang mengandung mudharat umum atau khusus dengan mengikuti pendapat keduanya”
Pernikahan adalah ikatan yang berlandaskan ridha, sukarela dan tanpa unsur paksaan. Seorang anak memiliki hak untuk memutuskan siapa yang kelak akan menjadi pendamping hidupnya. Apalagi anak itu jugalah yang kelak akan menjalani rumah tangga. Oleh karena itu, anak boleh menolak perjodohan dari orangtuanya, namun hendaknya ia menolak dengan kata-kata yang baik agar tidak menyakiti perasaan orangtua.
Wallahu a’lam bisshowab