Dalam al-Quran ada banyak kosa kata yang secara literal memiliki makna “difabel” atau “disabilitas”. Kedua istilah ini sebenarnya memiliki makna berlainan, tapi dalam tulisan ini keduanya diberi makna dengan “bentuk fisik yang secara lahiriah memiliki keterbatasan”.
Kosa kata dalam al-Quran dimaksud seperti kata shummun (tuli), bukmun (bisu), ‘umyun (buta), dan yang lainnya. Meski kosa kata ini lebih sering digunakan sebagai makna metafor (majâz) seperti penggunaan tiga kata tersebut dalam QS. Al-Baqarah 18 dimaksudkan untuk menyebut orang yang tidak bisa menerima kebenaran, namun secara umum kosa kata tersebut sebagai penanda bahwa di dalam masyarakat Arab pada masa diturunkannya al-Quran ada banyak difabel.
Penyebutan difabel dengan menggunakan kosa kata di atas, apabila dibaca pada masa sekarang terkesan diskriminatif. Dalam bahasa Arab kontemporer, istilah difabel disebut dengan “i’âqah”, penyandangnya diistilahkan dengan “al-mu’âq (plural: al-mu’âqûn)”. Kata ini secara literal berarti “mencegah” atau “merintangi”. Difabel disebut demikian karena keberadaannya dalam beraktivitas dan bergaul dengan masyarakat “tercegah” atau “terhalangi” oleh “keterbatasannya”.
Dalam bahasa Arab klasik, penyebutan difabel selain menggunakan kosa kata sebagaimana yang digunakan al-Quran, juga memakai istilah “al-‘ajzu” yang berarti “lemah”, penyandang difabel disebut dengan “al-‘âjiz” (orang yang lemah).
Menurut Mûsâ bin Hasan dalam makalahnya yang berjudul Kaifa Ta’âmul al-Islâm ma’a al-Mu’âqîn, alasan penggunaan kata “al-‘ajz” untuk menyebut difabel lebih didasarkan kepada pandangan masyarakat masa lampau yang beranggapan bahwa difabel adalah orang-orang lemah, padahal kemampuan masyarakatnya sendiri yang lemah di dalam menerima dan menggali kelebihan-kelebihan lain yang dimiliki penyandang difabilitas. Hal ini bagian dari evolusi istilah yang terus mengalami perubahan seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan.
Dalam literatur sejarah, orang-orang berkebutuhan khusus ini pada masa pra Islam dipandang bukan sebagai manusia. Setelah Islam datang para penyandang disabilitas terakomodir dengan ditempatkan sebagaimana umumnya manusia. Watak emansipatoris Islam ini tersurat di dalam ayat-ayat al-Quran dan hadis Nabi Muhammad saw.
Dalam QS. Al-Hujurât 13 dinyatakan bahwa di hadapan Allah bentuk manusia setara, yang membedakannya yaitu ketakwaan. Demikian juga dalam sabda Nabi yang disampaikan pada haji perpisahan (hajj al-wadâ’). Nabi menegaskan bahwa perbedaan warna kulit, bangsa, dan bentuk-bentuk fisik lainnya bukan menjadi pembeda keutamaan di dalam beragama. Pembeda kemuliaan seseorang di dalam Islam adalah tingkat ketakwaannya. (Ibnu Abî Usâmah: 1992, I, 193).
Dalam sejarah Islam awal, Nabi Muhammad sempat terpengaruh pandangan masyarakat Arab pra Islam (jâhiliyyah) yang menganggap difabel sebagai kekurangan. Tapi kemudian Nabi ditegur oleh Allah melalui QS. ‘Abasa 1-17.
Menurut Ath-Thabarî dalam karyanya, Jâmi’ al-Bayân fî Ta`wîl al-Qur`ân, QS. ‘Abasa di atas turun berkaitan dengan sikap Nabi Muhammad terhadap tunanetra yang bernama Abdullah ibn Ummi Maktûm. Nabi marah dan berpaling saat Ibnu Ummi Maktûm bertanya kepada Nabi. Nabi lebih memilih menghadap serta menjawab pertanyaan dari orang-orang yang tidak difabel, sementara Ibnu Ummi Maktûm tidak dihiraukan karena tunanetra. Lalu sikap Nabi yang diskriminatif itu ditegur oleh Allah melalui ayat di atas.
Usai turunnya ayat yang melarang menganggap dan memperlakukan “berbeda” terhadap difabel, Nabi kemudian berlaku sangat baik kepada Abdullah ibnu Ummi Maktûm, bahkan semua hak dan kewajibannya disamakan dengan sahabat-sahabat lainnya yang tidak difabel. (Ath-Thabarî: , 2000, XXIV, 216-218).
*) Pegiat Komunitas Literasi Pesantren (KLP), tinggal di Bukit Walisongo Semarang