Saya baru saja bersiap menuju studio Radeka FM untuk rekaman Radeka Podcast ketika berita meninggalnya Didi Kempot itu tiba. Saya melihatnya di WA story seorang kawan dan tidak bisa percaya begitu saja. Saya kemudian membuka Twitter untuk memastikan. Benar rupanya. Kita menerima sebuah warta duka di Selasa pagi, seorang legenda telah pergi.
Membaca komentar-komentar di Twitter menambah rasa sedih. Banyak yang mengeluhkan 2020 sebagai tahun duka. Kita mencatat: Glenn Fredly, Sujiatmi (ibunda Jokowi), dan Didi Kempot mangkat di 2020. Belum lagi di tahun yang sama kita sedang menghadapi covid-19 yang menelan banyak korban. Seolah sajak Goenawan Mohamad terus bergema di telinga: bersiap kecewa, bersedih tanpa kata-kata.
Saya masih ingat, lagu-lagu Didi Kempot pertama kali saya dengar ketika saya masih SD. Ketika itu, orang tua saya membeli VCD player. Rasanya, kala itu, VCD player adalah sebuah barang yang sangat mewah. Melalui piranti itu kita bisa memutar kaset VCD dan menonton film atau memutar lagu terasa istimewa sekali. Lantaran VCD player itu saya bisa mendengar lagu-lagu Didi Kempot.
Seingat saya, ibu saya sangat menggemari lagu Sewu Kuta milik Didi Kempot. Saya pun ketularan. Bagi saya, di antara lagu-lagu Didi Kempot, lirik agu Sewu Kuta terasa paling “dalam”. Umpamane kowe uwis mulyo, lilo aku lilo. Duh, bukankah itu wujud rasa ikhlas, qanaah dan nrima ing pandum? Lilo atau dalam bahasa Indonesia berarti rela/merelakan bukan perkara mudah. Dan dalam hidup kita sering bertemu dengan kondisi harus merelakan sesuatu pergi dan tidak jadi milik kita.
Pada lagu Sewu Kuta kita juga bertemu lirik: namung siji dadi panyuwunku, aku pengen ketemu, senajan sak kedeping mata, tak nggo tamba kangen jroning dada. Penggalan lirik itu sudah cukup untuk mendaulat Didi Kempot jadi The God Father of Broken Heart. Coba kita resapi lirik itu, permintaan orang yang sudah berpisah itu sederhana saja, hanya ingin bertemu. Pertemuan yang diminta itupun hanya satu kedip mata. Untuk apa? Sebagai obat rindu dalam hati. Jleb.
Jika mau dibaca dengan perspektif lain, lagu Sewu Kuta ini “religius” juga sebetulnya. Ia bicara soal pengembaraan, pencarian, kerinduan, keikhlasan.
Berbekal lagu Sewu Kuta dan lagu-lagu lain yang tak kalah mengiris hati, tak heran jika Didi Kempot dapat melakukan come back di belantika musik Indonesia. Ia seolah menolak untuk redup. Saya bukan pengamat musik, tapi rasanya saya belum pernah melihat band atau musisi yang melakukan come back sehebat Didi Kempot. Terus menjadi “relevan” bukan perkara mudah, Didi Kempot berhasil melakukannya.
Kiranya, tak banyak musisi yang memiliki daya bermusik seprima Didi Kempot. Lagunya membicarakan banyak hal, banyak tempat. Belum lama saya tahu ternyata Didi Kempot juga punya album religi, namanya pun menyenangkan: Sholawat Campursari, dan dengan mudah kita menemukan itu di jalan-jalan khususnya di daerah-daerah Jawa.
Di antara lagu-lagu religi yang dinyanyikan Didi Kempot ada yang berjudul Mampir Ngombe. Ya, urip mung mampir ngombe. Dan didi Kempot menjalani prosesi mampir ngombe di dunia ini sambil menyanyikan lagu-lagu abadi, lagu-lagu yang akan terus dikenang.
Sekuat apapun kita menyangkal, nyatanya Didi Kempot telah pergi. Tugasnya telah usai, baik sebagai musisi maupun sebagai manusia. Kita berterima kasih atas apa yang telah ia berikan. Matur nuwun, Didi Kempot. Sugeng tindak…