Malam itu selepas shalat tarawih di rumah, saya keluar ke ATM di bilangan Klaten. Mulai warung kelontong, minimarket, hingga pom bensin yang saya temui-singgahi sepanjang perjalanan, seolah secara seragam memutar musik campursari dengan suara yang khas, Didi Kempot.
Rupanya, malam itu adalah malam yang mengheningkan cipta setelah pada Selasa (5/5) pagi, Dionisius Didi Prasetyo tutup usia. Tapi suasana duka kali ini memang meletup dengan ekspresi yang berbeda. Mendoakan almarhum mungkin adalah hal biasa, tapi memutar lagunya secara massal itu sungguh penghormatan yang luar biasa.
Saya pikir, tidak perlu menunggu hasil lembaga survei untuk mengetahui seberapa dalam duka masyarakat kita ditinggal mangkat oleh almarhum Didi. Hari itu juga, segenap lapisan masyarakat, media massa nasional, media sosial, seniman, selebriti, pejabat publik, dan tak ketinggalan para politisi serentak menghantar kepulangan Lord Didi ke haribaan Tuhan.
Kalaupun ada pengecualian, maka itu adalah mereka yang secara banal mempertanyakan keyakinan almarhum Didi dan mereka yang memang tidak mengenal mendiang, baik secara personal maupun karya-karya fenomenalnya yang telah malang-melintang di terminal (Tirtonadi), stasiun (Balapan), dan pelabuhan (Tanjung Mas).
Ke manakah Bandara?
Dalam keterangan yang saya himpun dari mojok.co yang mengutip penuturan mendiang Didi, Bandara adalah representasi lapisan masyarat berpunya. Artinya, ada banyak peluang untuk mereka yang berpisah di Bandara bisa bersua kembali dengan cara yang saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.
Lain halnya ketika di terminal, stasiun, apalagi pelabuhan, setiap orang yang melepas kekasihnya di tiga tempat itu, pastilah dibayangi perasaan campuraduk. Inilah yang ditangkap oleh Didi Kempot dan dinyanyikan dalam tembang-tembang “ambyar”-nya: bahwa terminal, stasiun, dan pelabhuan merupakan representasi masyarakat biasa-biasa saja yang “mesti nggrantes, soale le ketemu meneh bakal suwe. Kuwi yo hurung karuan iso ketemu sebab hurung mesti nduwe sangu kanggo bali.” Demikian menurut mendiang Didi.
Terus terang, saya sendiri mengenal mendiang Didi lewat lagu-lagunya. Sejak kecil saya cukup kenyang dengan tembang setamsil cilikanku, sekonyong-konyong koder; dan sebagainya.
Malahan, genre campursari dan bil khusus lagu-lagu almarhum Didi seolah memiliki kekuatan magis, setidaknya bagi saya sendiri. Saya selalu menganggap kalau memutar campursari tiap “rolasan” semacam memberi efek ketenangan tersendiri, mengundang semilir angin yang menyejukkan suasana.
Ya, memutar campursari di siang hari seolah menyihir panas terik matahari menjadi syahdu, membius setiap kesadaran kita menjadi lebih tenang di tengah gempita PR matematika, piutang, dan masalah-masalah duniawi lainnya.
Meski begitu, situasi ini mungkin saja karena, sekali lagi, telinga saya telah kelewat akrab dengan tembang-tembang mendiang Didi. Ini penjelasan rasionalnya. Jadi, semacam sugesti subjektif belaka yang genre campursari pernah menjadi tren yang menyelimuti kemeriahan resepsi pernikahan, dan mewarnai siaran-siaran radio saban siang hari, menemani para pekerja buruh harian mengisi waktu rehat makan siangnya.
Dan, ya, itu sekaligus membuktikan bahwa Didi Kempot memang benar-benar seorang legenda. Sejak 1989 ia merintis karir sebagai pekerja seni, tepatnya menulis lagu-lagu Jawa, atau campursari, atau keroncong dangdut.
Ada satu poin yang cukup menarik dari mendiang Didi. Ini saya tangkap sewaktu dia wawancara dengan detikcom. Begini:
“Kita gak boleh mimpi terlalu tinggi, kalau kita sudah dikasih (anugerah, red.) di situ, ya di situ. Saya akan bertahan di situ dengan usia saya yang sudah limapuluh sekian. Saya masih dikasih rejeki itu udah luar biasa, untuk ukuran seniman ya…”
Bagi saya ini sungguh entry point yang menggetarkan. Di tengah gemerlap popularitasnya itu, sosok yang belakangan dijuluki The Godfather of Brokenheart ini terlihat konsisten dengan khitah-nya.
Bukan maksud membandingkan, tapi adalah fakta jika sifat popularitas itu seringkali menggelincirkan seseorang ke dalam jurang “perjuangan semu”. Lihat saja, tidak sedikit artis atau selebriti yang dengan modal keterkenalannya, kemudian dilamar atau malah bikin partai politik sendiri, bemaksud hendak berkiprah di belantara yang belum terbayangkan sebelumnya.
Apakah situasi menjadi semakin membaik, atau seluhur yang dibayangkan? Faktanya, kebanyakan tidak.
Dan, saya kira, Lord Didi paham betul hal ini. Ya, mendiang Didi kabarnya pernah, bahkan sering, ditawari menjadi politisi, sedangkan dia menolak. Ia mengaku lebih menikmati menjalani hidup sebagai musisi.
Ini sekaligus semakin meneguhkan bahwa “Kempot”, akronim dari “Kelompok Pengamen Trotoar”, bukan sekadar nama panggung, tapi juga mengandung sebuah konsistensi dari perjuangan menemani seluruh lapisan rakyat dalam arti yang sebenarnya.
Didi Kempot, dengan demikian, sudah bisa dan terlampau bisa menghibur semua kita, tanpa perlu, umpamanya, menjadi politisi yang belakangan justru—sadar atau tidak—memperagakan seolah-olah mengurus negara ini adalah panggung hiburan atau ladang mencari uang.
Akhir kalam, seperti diyakini salah satu aliran filsafat yang menyebut bahwa gelap itu tidak ada, yang ada hanyalah ketiadaan cahaya. Demikian halnya kalaupun ada yang dengan jahil mempersoalkan keyakinan mendiang, anggaplah bahwa mereka itu belum secara kaffah meresapi atau malah sengaja menutup diri dari pancaran kebaikan demi kebaikan Didi Kempot dan tembang-tembang kenangannya.
BACA JUGA Didi Kempot adalah Orang Baik yang Beragama Islam dan Istrinya Suka Wiridan