Kelas menengah merupakan kelompok masyarakat yang cukup kuat, berkepentingan, berani, gigih, dan berkesinambungan menuntut pemerintah bekerja dengan tanggap dan bertanggungjawab bagi kepentingan rakyat. Kelas menengah telah menjadi agen perubahan, bahkan demokratisasi, di negara-negara dunia ketiga. Ia memainkan peran cukup penting sebagai kelompok kritis dan pengkritik fasih bagi rejim zalim. Di antara elemen kelas menengah yang cukup vokal adalah kalangan cendekiawan atau intelektual. Cendekiawan merupakan nama yang merujuk pada orang-orang yang memiliki keprihatinan sosial dan ingin melakukan sesuatu untuk kelompok masyarakat yang tertinggal oleh derap lajunya pembangunan.
Di antara cendekiawan ini, ada yang bisa kita sebut sebagai cendekiawan Muslim. Kata Muslim ini untuk mempermudah identifikasi persoalan ketimbang melakukan sekat-sekat dan mendirikan bilik-bilik di kalangan cendekiawan. Ia merujuk pada sekelompok orang yang melakukan penyebaran wacana Islam yang lebih toleran, terbuka, demokratis, dan majemuk.
Cendekiawan Muslim ini dapat berbentuk perorangan, jaringan, kelompok atau pusat kajian, baik yang berdiri sendiri atau di bawah universitas atau organisasi keagamaan atau lembaga swadaya masyarakat. Di antara kalangan cerdik-cendekia ini dapat lagi dikotak-kotakkan sesuai dengan corak pemikiran mereka: transformatif, moderat, liberat, tradisional, dan lain sebagainya. Tetapi, di sini saya ingin membagi hanya dua kategori cendekiawan: mereka yang berkutat hanya di dunia gagasan atau teori (menulis, meneliti, dan mengajar) dan mereka yang melaksanakan gagasan tersebut dalam tindakan praksis kehidupan keseharian masyarakat (terjun ke masyarakat untuk merubah dan memberikan sesuatu). Yang pertema saya sebut cendekiawan Muslim teoritis dan yang kedua cendekiawan Muslim praksis.
Cendekiawan Muslim Teoritis
Cendekiawan Muslim teoritis (CMT) telah menyebarkan gagasan Islam yang menyentak kesadaran dan pemahaman umat Islam pada umumnya, kalangan radikal dan fundamentalis khususnya. Ia menyumbang pada penyegaran kembali pemahaman agama Islam. Dengan sokongan intelektual dan berkah dana yang mengalir dari luar negeri atau dari pemerintah (sebagai mitra kerja), mereka tampil gagah terus mengkritik praktik Islam yang dalam pandangan mereka sudah membeku, ketinggalan zaman, bahkan membusuk.
Kendati demikian, sayang, wacana para cendekiawan Muslim teoritis ini tidak membumi, bahkan kontraproduktif dengan umat Islam pada umumnya, apalagi kalangan akar rumput atawa arus bawah. Memang ini adalah risiko sebuah perjuangan dari sikap dan posisi yang diambil. Tetapi, paling tidak, perjuangan mereka tidak bisa dikatakan sebagai perjuangan umat Islam, karena terlalu elitis. Sikap elitis, sedikit pongah, dan antikritik tentu sama dengan menggali lubang kubur sendiri. Bukan simpati yang diraih, tapi malah antipati umat yang diperoleh. Tidak perlu menjadi elitis, karena ujung-ujungnya akan menjadi pendukung kebijakan negara, seperti dukungan terhadap beberapa keputusan pemerintah yang merugikan rakyat. Padahal ini jelas hanya kepentingan elit dan kelompok tertentu saja.
Visi transformatif kalangan CMT masih bersifat gagasan, dan sama sekali belum menyentuh rakyat kebanyakan. CMT tidak punya akses, apalagi di kalangan akar rumput umat Islam. Bagaimana mungkin bisa masuk ke akar rumput, justeru yang terakhir ini selalu menjadi bulan-bulanan kritik para CMT. Para cendekiawan Muslim teoritis ini masih bercanda ria dengan pemikiran dan gagasan yang jauh dari kenyataan obyektif rakyat Indonesia. Kepedulian terhadap korban banjir, bencana alam, yang dalam hujah mereka bukan ranah mereka saja kurang nampak, apalagi mengentaskan kemiskinan dan apalagi menyejahterakan masyarakat yang menjadi kantong potensial persemaian benih-benih fundamentalisme.
Dengan demikian, lagi-lagi urusan kaum fakir-miskin ditangani oleh gerakan yang selama ini diidentifikasi sebagai fundamentalis, radikal atau ekstrimis. Fenomena ini mengingatkan saya kepada sekelompok elit intelektual di Mesir yang tidak mempunyai akses ke akar rumput dan pemikiran mereka tidak membumi. Akhirnya, urusan rakyat miskin Mesir diurus Ikhwanul Muslimin, kelompok yang dicap sebagai fundamentalis dan radikal. Suka atau tidak suka, Ikhwan memiliki jaringan yang luar biasa di Mesir. Dengan program pendidikan dan kesehatan, mereka melakukan aksi nyata. Ikhwan mencerahkan kehidupan masyarakat melalui lembaga pendidikan yang mereka miliki. Mereka memberi layanan kesehatan lewat rumah sakit dan klinik yang mereka punyai. Paling tidak ini adalah pengalaman dan pandangan mata saya ketika berada di Mesir, tahun 2001-2002 saat “mampir” menjadi mahasiswa S-2 di Universitas Al-Azhar, Kairo.
Cendekiawan Muslim Praksis
Melihat kasus cendekiawan Muslim teoritis ini, saya sampai pada kesimpulan bahwa mereka menjadi cendekiawan mengambang yang tak berpijak dalam kehidupan nyata. Mungkin, baiknya belajar dari pengalaman para cendekiawan Muslim praksis, seperti Farid Esack dan Muhammad Yunus. Cendekiawan Muslim asal Afrika Selatan dan Bangladesh yang mengembangkan wacana Islam pro-rakyat tertindas di kalangan akademisi, tetapi juga terlibat dalam perjuangan kehidupan rakyat sehari-hari.
Farid Esack berjuang menumbangkan rejim aparteid yang sedang berkuasa di Afrika Selatan. Setelah 8 tahun belajar di Pakistan, Esack pulang ke kampung halamannya, tahun 1982, dan langsung terjun membela rakyatnya yang tertindas oleh struktur pemerintahan yang zalim. Melalui organisasinya, yaitu gerakan Islam Progressif, The Call of Islam, Esack mengadvokasi masyarakat dan melakukan perlawanan yang tak kenal lelah melalui perjuangan tanpa kekerasan. Ia membangun aliansi strategis dengan umat-umat beragama lain: Kristen, Yahudi, dan Atheis sekalipun. Perlawanannya terhadap rejim aparteid didasarkan atas keyakinan bahwa tujuan Alquran adalah menegakkan keadilan dan membebaskan yang tertindas.
Pergulatan Esack dengan kenyataan obyektif masyarakat Afrika Selatan dan pemikiran keagamaannya menghasilkan sebuah karya: Quran, Liberation and Pluralism. An Islamic Perspective of Interreligious Solidarity against Oppression (1997). Buku Esack ini adalah kerangka bangunan pikirannya dalam membangun kerjasama antarumat beragama menentang penindasan. Ia menjadi landasan Esack berjuang melawan kezaliman, mengembangkan pluralisme, dan toleransi antarumat beragama. Esack adalah salah satu contoh yang dapat mengawinkan antara pemikiran dan aktivitasnya sebagai sarjana Islam dan perjuangannya membela kondisi obyektif masyarakatnya.
Peraih Nobel Perdamaian, Muhammad Yunus, mampu mengentaskan kemiskinan di negerinya, adalah juga contoh par excellence. Ia seorang yang dapat memadukan pemikirannya sebagai akademisi-intelektual, Professor Ekonomi pada sebuah Universitas di Dhaka, dan aktivitasnya mengentaskan kemiskinan sebagai bentuk kepeduliannya memberantas kemiskinan dan menghancurkan sistim tengkulak yang mengisap perekonomian Bangladesh lewat bank Ghrameen yang didirikannya. Keduanya menjadi teladan sebagai cendekiawan Muslim praksis yang membumikan gagasan-gagasan mereka untuk mengubah dan memberikan arti masyarakat di mana ia hidup.
Gus Dur dan Cak Nur
Untuk konteks Indonesia, Abdurrahman Wahid bisa dimasukkan kategori ini, yaitu seorang intelektual, kyai, dan aktivis yang diterima di semua kalangan, bahkan memiliki akses luar biasa ke kalangan akar rumput berkat NU-nya. Gus Dur merupakan cendekiawan Muslim Indonesia yang berhasil mengawinkan antara intelektualisme dan aktivisme. Ia menulis, meneliti, memberi kuliah, dan berbicara di berbagai forum untuk membabarkan ide keislamannya yang progressif dan emansipatif. Tetapi, ia juga seorang kyai, ustadz, dan mubalig yang ceramah di kalangan akar rumput untuk menyampaikan gagasannya dengan bahasa sederhana dan mudah dimengerti.
Sumbangan terbesar Gus Dur adalah telah mendorong ide demokratisasi dan mengembangkan wacana masyarakat sipil, demokrasi, dan HAM di kalangan nahdiyyin, baik para kyai maupun umat NU. Ia berjuang menabur benih-benih pemikiran Islam yang moderat di NU yang pada awalnya mendapat kesulitan dan tantangan luar biasa, tetapi sekarang ia mengetam hasilnya. Di kalangan aktivis prodemokrasi, Gus Dur dihargai sebagai pejuang demokrasi dan pembela hak asasi manusia yang tak kenal lelah. Bahkan Orde Baru menganggap sebagai musuh nomor wahid, karena selalu menganggu rasa nyaman rejim dengan kritik dan analisisnya yang dalam.
Gus Dur adalah contoh terbaik di negeri ini sebagai cendekiawan Muslim praksis, yaitu sebagai intelektual, mubalig, dan aktivis sekaligus. Gus Dur tidak meninggalkan dunia dakwah, seperti juga Cak Nur. Saya jadi ingat cerita Mbak Omi (isteri Cak Nur) ketika Alm. Soedjatmoko berkata kepada Alm. Nurcholish Madjid agar Cak Nur jangan pernah meninggalkan dunia dakwah, karena di situlah komunitas, umat, dan dunia Cak Nur. Tetapi, sayang justeru ini yang tidak dilakukan oleh kebanyakan para cendekiawan Islam teoritis ini.
Jika demikian, penyebaran wacana yang dilakukan cendekiawan Muslim teoritis akan menguap demikian saja dan akan segera terlupakan dan terlampaui dalam denyut nadi kehidupan nyata umat Islam Indonesia. Para cendekiawan Muslim yang hanya berkutat pada teori berada di menara gading. Mereka seakaan tidak memiliki kemauan dan kepedulian pada persoalan akar rumput keumatan. Mereka tidak lagi memainkan perannya sebagai gerbong pengubah yang memperhatikan masalah kaum duafa dan mustadafin.
Oleh karena itu, jangan heran arena dan panggung masjid dikuasai oleh mereka yang selama ini dicap sebagai fundamentalis, radikal, dan ekstrimis. Wallahu a’lam