Ada satu pesan penyair Arab yang sering kita dengar:
اَلصَّمْتُ زَيْنٌ وَالسُّكُوتُ سَلَامَةٌ فَإِذَا نَطَقْتَ فَلَا تَكُنْ مِكْثَارًا مَا إِنْ نَدِمْتُ عَلَى سسُكُوتِي مَرَّةَ وَلَقَدْ نَدِمْتُ عَلَى الْكَلَامِ مِرَارًا؟
“As-shomtu zaynun was-sukuutu salaamatun. Faidzaa nathoqta falaa takun miktsaaran. In nadimtu ‘alaa sukuutii marrotan, walaqad nadimtu alal kalaami mirooron?”
Kira-kira maknanya begini, “Sunyi itu indah. Diam itu aman. Jika pun Anda perlu bicara, maka jangan terlalu banyak omong. (Coba renungkan). Kalau saya menyesal karena diam sekali maka bukankah saya akan lebih menyesal jika bicara berulang kali?”
Saya tidak terlalu sepakat dengan pernyataan begini, terkait keriuhan di media sosial, “Sekarang tidak waktunya kita diam. Yang waras nggak boleh ngalah. Kalau yang waras ngalah, maka orang yang tidak waras akan merajalela.” Sekilas pernyataan ini ada benarnya. Namun sangat terasa, semangatnya adalah mengajak sebanyak mungkin atau ngomporin orang waras tadi untuk ikut perang-perangan omongan di media sosial.
Tidak untungnya, di media sosial hanya ada dua pilihan: Suka atau tidak suka; tidak ada setengah suka atau suka dengan catatan. Mendukung atau menolak; tidak ada istilah setuju sebagian atau menolak sebagian. Jika ada yang masih belum memilih, dua kubu di medi sosial yang sedang berseteru langsung akan menyimpulkan suatu respon atau komentar itu arahnya kemana, mendukung atau menolak.
Tidak untungnya lagi, diam tidak dihitung di media sosial atau di grup berpesanan (WA). Diam dianggap tidak eksis. Diam itu tidak ada.
Namun sebelum mengajak banyak orang untuk aktif berkomentar atau merespon komentar di media sosial, sebaiknya dipirkan manfaatnya. Di media sosial, semua respon atau komentar, entah dari akun asli yang memakai foto profil keluarga bahagia atau akun buzzer yang memakai foto profil perempuan cantik, entah dari pakar atau dari orang biasa, entah dari orang baik atau orang tengil semua dianggap sama. Komentar positif atau sentimen negatif tidak dipertimbangkan.
Semua respon dan komentar di media sosial akan diakumulasi menjadi satu kata: viral. Pada zaman post-truth, pascakebenaran, setiap yang viral di media sosial akan dihitung sebagai fakta, dan setiap fakta dianggap sebagai kebenaran. Kebenaran bukan yang sebenar-benarnya benar, tapi kebenaran adalah apa yang terjadi, dan yang terjadi adalah yang viral itu tadi, meskipun banyak orang tahu bahwa sebagian besar proses menjadi viral itu dimotori oleh akun-akun dan konten-konten buzzer yang tidak wajar.
Terkecuali kita sedang berperan atau bekerja sebagai produsen konten kreatif tertentu untuk kepentingan tertentu, kalau kita hanya netizen biasa yang passif maka pesan di atas semestinya masih layak diikuti. Kita tidak dalam kondisi harus ini dan harus itu; merespon atau berkomentar ini dan itu. Kita berada dalam kondisi bebas dan tidak sedang dalam kondisi terpaksa. Memilih diam itu lebih aman. Dari pada dari pada…
Perkembangan media informasi bisa disikapi positif. Misalnya begini, anggap saja layar smarthphone di tangan kita ini seperti perpustakaan yang besar sekali dengan banyak sekali rak buku bertingkat-tingkat; kita menengok ke kanan dan ke kiri, ke atas dan ke bawah semuanya penuh dengan tumpukan buku. Lalu, ada alat bantu mesin pencarian (search angine) yang membantu kita untuk mencari buku-buku bergisi yang kita perluan dengan mudah. Kita yang memilih buku mana saja yang perlu dibaca, sesuai dengan keperluan kita. Tentu tidak semua buku perlu kita baca.