ihayah, karya Imam Ibn al-Katsir.
Pati, 19 Desember 2016[:id]Dalam sejarah, pada masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib tercatat sejumlah pemberontakan terhadap kekhalifahannya. Salah satunya dari sekelompok pendukungnya sendiri, dengan alasan tidak sepakat dengan kebijakan dan keputusan Ali. Mereka membelot, dan yang lebih ironis, berani menyebut Ali sebagai orang kafir, dengan alasan Ali berhukum dengan hukum manusia.
Menurut Ibn Abbas, salah seorang sahabat Rasulullah yang juga merupakan sahabat Ali, kaum Khawarij yang keluar dari jamaah Ali berjumlah sekitar 6000 orang. Dalam kitab yang berjudul Al-Muntaqa an Nafis Min Talbis al-Iblis karya Imam Ibn al-Jauzi pada bab II khususnya yang membahas hururiyyah, diceritakan telah terjadi dialog antara Ibn Abbas dengan kaum Khawarij. Berikut ini akan penulis coba paparkan:
Ibn Abbas berkisah, “Pada saat suasana terik panas matahari menyengat, waktu shalat dhuhur hampir tiba, aku menjumpai Ali. Aku berujar, ‘Wahai Amirul Mukminin, tunggulah cuaca hingga adem untuk shalat dhuhur. Beri aku ijin menemui mereka (kaum Khawarij), aku akan mengajaknya berdialog.”
Ali menjawab, “Wahai Ibn Abbas, aku kawatir akan terjadi sesuatu padamu.”
“Wahai Amirul Mukminin, jangan kawatirkan diriku. Aku bukan orang yang berakhlak buruk, dan aku tidak pernah menyakiti seorang pun.”
Lalu Ali pun mengijinkan Ibn Abbas menemui kaum Khawarij.
“Aku segera memakai jubah terbaik dari Yaman, merapikan rambut, dan kulangkahkan kakiku menyeruak masuk ke dalam kerumunan mereka,” kisah Ibn Abbas. “Aku berada di tengah-tengah suatu kaum yang belum pernah aku lihat sebelumnya. Mereka orang-orang yang sangat bersemangat beribadah. Dahi-dahi mereka penuh luka bekas sujud, tangan-tangan mereka kapalan bak lutut unta. Wajah mereka pucat pasi kurang tidur, lantaran menghabiskan malam-malamnya untuk beribadah.”
“Kuucapkan salam pada mereka,” kata Ibnu Abbas, “dan mereka menyambutku.”
“Selamat datang wahai Ibn Abbas, apa gerangan yang menuntunmu ke sini?”
“Aku datang pada kalian sebagai perwakilan dari sahabat Muhajirin dan Anshor. Aku juga datang sebagai perwakilan menantu Rasulullah. Kepada para sahabatlah Al-Qur’an diturunkan dan merekalah orang yang paling mengerti maknanya ketimbang kalian.”
Ibn Abbas pun menjelaskan pada mereka kedudukan para sahabat Muhajirin dan Anshar. Para sahabatlah orang yang paling mengerti al-Qur’an dan sunnah Rasulullah. Ibn Abbas juga menegaskan besarnya kedudukan Ali di sisi Allah dan Rasulullah.
Begitu mendengar penjelasan Ibnu Abbas, sebagian dari mereka menyahut, “Janganlah sekali-kali kalian berdebat dengan orang Quraisy…” dan kemudian mengutip ayat Qur’an surat Al-Zukhruf: 58, “Sebenarnya mereka adalah kaum yang suka berselisih.”
Namun ada beberapa orang yang menyela, “Biarkan kami yang akan mendebatnya!”
Ibn Abbas pun melanjutkan, “Wahai kalian, beri aku alasan, mengapa kalian membenci menantu Rasul beserta sahabat Muhajirin dan Anshar? Padahal al-Qur’an diturunkan pada mereka, dan tidak ada seorang sahabat pun yang berada di pihak kalian saat ini. Ali adalah orang yang paling mengerti tentang penafsiran al-Qur’an.”
Kaum Khawarij menjawab, “Kami punya 3 alasan.”
“Sebutkan 3 alasan itu.”
Lantas mereka mengungkapkan, “Pertama, sungguh Ali telah menjadikan manusia sebagai hakim (pemutus perkara) dalam urusan Allah, padahal Allah berkata, “….Keputusan itu hanyalah milik Allah…. (surat Yusuf: 40). Hukum manusia tidak ada artinya di hadapan Allah.”
“Ini alasan pertama kalian, lalu apa lagi?” kata Ibn Abbas.
Mereka pun melanjutkan, “Kedua, sesungguhnya Ali telah berperang dan membunuh (dalam perang Siffin dimana Aisyah terlibat di dalamnya), tetapi mengapa tidak mau menawan tawanannya dan mengambil ghanimah-nya (rampasan perang)? Kalau mereka yang berperang melawan Ali itu mukmin tentu tidak halal bagi kita memerangi dan membunuhnya. Tidak halal pula tawanan-tawanannya.”
“Lalu apa alasan yang ketiga?” tanya Ibn Abbas.
“Ketiga, Ali telah menghapus sebutan Amirul Mukminin dari dirinya. Kalau Ali bukan Amirul Mukminin, berarti dia Amirul Kafirin.”
Ibn Abbas pun bertanya lagi, “Adakah alasan selain itu?”
“Bagi kami, tiga perkara itu sudah cukup sebagai alasan!”
“Pernyataan kalian bahwa Ali telah menjadikan manusia sebagai pemutus perkara,” kata Ibn Abbas, “akan aku jawab. Namun kalau pernyataan kalian terbantahkan dengan tanggapanku, maukah kalian kembali?”
“Tentu kami akan kembali,” jawab mereka.
Lalu Ibn Abbas membacakan al-Qur’an surat al-Maidah:95 dan lalu menjelaskan, “Ketahuilah wahai kalian semua! Sesungguhnya Allah telah menyerahkan sebagian hukum-Nya kepada keputusan manusia, seperti dalam menentukan harga kelinci sebagai tebusan atas pelanggaran orang yang telah membunuh kelinci pada saat menjalani ihram. Demikian juga dalam urusan persengketaan antar suami-istri, Allah juga menyerahkan hukumnya kepada keputusan manusia guna mendamaikan diantara keduanya.” Ibn Abbas tak lupa membacakan Qur’an surat Al-Nisa: 35.
“Demi Allah, jawablah! Mana yang lebih pantas kalian pilih antara penugasan seorang manusia untuk membuat perdamaian dan mencegah terjadinya pertumpahan darah, atau keputusan manusia perihal darah seekor kelinci dan keputusan manusia mengenai persengketaan antara suami dan istri?”
Kaum Khawarij menjawab “Tentu ini, penugasan manusia untuk mendamaikan manusia dan mencegah pertumpahan darah.”
Ibn Abbas pun molantarkan pertanyaan, “Apakah kalian sudah memahami persoalan yang pertama tersebut?”
“Ya kami telah memahaminya.”
Ibn Abbas melanjutkan, “Adapun pernyataan kalian bahwa Ali telah berperang tetapi tidak mau mengambil ghanimah dan tidak mau menjadikan lawannya sebagai tawanan,” Ibn Abbas berkata, “Sungguh kalian telah menghina ibu kalian (ummul mukminin) Aisyah. Demi Allah, kalau kalian katakan ‘Aisyah bukanlah ibu kita semua’, tentu kalian telah keluar dari Islam. Kalian telah mengingkari al-Qur’an. Demikian pula kalau kalian menjadikan Aisyah sebagai tawanan perang dan menganggapnya halal, tentu kalian telah dengan jelas keluar dari Islam. Sesungguhnya kalian berada dalam dua bentuk kesesatan.”
Lalu Ibn Abbas membacakan al-Qur’an surat al-Ahzab:6. “Nabi sudah sepantasnya lebih diutamakan oleh orang-orang mukmin ketimbang kepentingan mereka sendiri, dan para istri Nabi adalah ibu-ibu bagi orang-orang mukmin.”
Lantas Ibn Abbas bertanya, “Apakah kalin telah memahami masalah kedua ini?”
“Ya,” jawab mereka.
Selanjutnya, Ibn Abbas menjelaskan masalah yang ketiga, “Adapun pendapat kalian bahwa Ali telah menghapus sebutan Amirul Mukminin dari dirinya, maka akan aku kisahkan kepada kalian tentang seorang yang kalian ridhoi yaitu Rasulullah. Ketahuilah bahwa Rasulullah pada hari Hudaibiyah telah melakukan perjanjian damai (shuluh) dengan orang-orang Mekkah yang memusuhinya. Sebagai perwakilan dari mereka adalah Abu Sofyan dan Suhail bin Amr. Tahukah kalian apa yang terjadi pada saat itu?” Ibn Abbas melanjutkan ceritanya, “Ketika itu Rasul berkata pada Ali, ‘Wahai Ali, tulislah perjanjian itu untuk mereka!’ Ali pun menulis dengan pernyataan, “Inilah perjanjian antara Rasulullah…..” yang lantas disanggah oleh pihak Abu Sofyan.
“Demi Allah, kami tidak tahu kalau engkau Rasul Allah. Kalau kami mengetahui engkau sebagai utusan Allah tentu kami tidak akan memerangimu,” kata Abu Sufyan.
Dengan adanya sindiran dari pihak kafir Quraisy tersebut, Rasul pun bergumam, “Ya Allah, sungguh engkau mengetahui bahwa aku adalah Rasulullah.”
Lalu Rasulullah memerintahkan Ali untuk mengganti atributnya. “Wahai Ali, tulislah dengan redaksi, ‘Ini adalah perjanjian Muhammad bin Abdillah…'”
Ibn Abbas lalu berkata pada kaum Khawarij, “Demi Allah, sungguh Rasul lebih mulia dari Ali, tapi meski demikian beliau menghapus sebutan Rasulullah dalam perjanjian Hudaibiyyah. Apakah dengan keputusan Muhammad menghapus atribut Rasulullah dalam perjanjian tersebut kemudian kalian akan mengingkari kerasulan Muhammad, seperti halnya kalian mengingkari keislaman Ali karena menghapus sebutan Amirul Mukminin?”
Akhirnya melalui dialog tersebut, Ibn Abbas berhasil membawa pulang 2000 orang dari sekitar 6000 orang yang ada. Ibn Abbas pun mengajaknya untuk menemui Ali di Kuffah. Sedangkan sisanya menolak dan bertahan dalam kekakuan pendapat dan kebrutalan perilakunya. Bahkan suatu hari, sebagaimana tercatat dalam sejarah, kaum Khawarij menugaskan Abdurrahman ibn Muljam, seorang penghafal al-Qur’an, untuk membunuh Ali bin Abi Thalib.
*) Sumber rujukan, Al-Muntaqa an Nafis Min al Talbis al-Iblis, bab II karya Imam Ibn al-Jauzi serta Bidayah wa al-Nihayah, karya Imam