“Dur!”, kata Ibunya yang tengah mengandung anak keenam, adik Gus Dur.
“Kamu mau berjanji pada Ibu?”
Dur hanya menatap sayu ke arah Ibunya seraya mengangguk.
“Cita-cita ayahmu adalah memajukan Pesantren. Tapi kini ayahmu telah dipanggil Allah. Kamu yang harus mewujudkannya nanti. Kamu jangan mengecewakan almarhum ayahmu. Janji, ya, Dur?” kata Bu Sholehah sambil memeluk anak sulungnya itu.
Gus Dur kecil tidak bisa berkata apa-apa. Ia membalas pelukan Ibunya. Kedua tangannya tanpa sadar mengepal keras.
“Aku berjanji, Bu. Aku tak akan mengecewakan Ibu dan Ayah” katanya dalam hati.
Dan benar, Gus Dur telah menepati janjinya kepada sang Ibu dan Ayah tercinta.
Gus dur banyak memajukan Pesantren. Bahkan ia menjadi satu-satunya Santri yang menjadi pemimpin rakyat seantero negeri. Tahun 1999 Gus Dur terpilih menjadi Presiden negeri ini.
Satu-satunya Presiden yang akrab disapa Gus oleh rakyatnya. Dan satu-satunya Presiden yang punya selera humor tinggi. Humor-humor itu hingga kini masih abadi dan relevan dengan keadaan manusia di abad ini.
Gus, kami amat merindukanmu. Engkau tetap Presiden kami, Presiden abadi.
Ditulis ulang oleh Vinanda Febriani, dinikil ari buku ‘Gus Dur Berbeda itu Asyik’ karya Lip D. Yahya.