
“Tetapi Aku berkata kepadamu: Janganlah kamu melawan orang yang berbuat jahat kepadamu, melainkan siapapun yang menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi kirimu” (TB1, Matius 5:39).
Kendati tertuang secara eksplisit dalam Alkitab dan sangat familiar dalam komunitas kristiani, tindakan memberikan pipi kiri setelah ditampar pipi kanan—ditunjukkan komunitas muslim Ahmadiyah di Indonesia, sebuah pacifism Islam.
Lagi, surat berkop garuda yang ditandatangani oleh Pj. Bupati Kuningan, Agus Toyib mengumumkan pembatalan pertemuan tahunan Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), Jalsah Salanah 2024 di Manislor, Jawa Barat.
Dalihnya klasik—kegiatan tersebut dapat menyebabkan kondusifitas daerah terganggu. Keputusan tersebut diambil dari pertemuan unsur Forkopimda Kab. Kuningan, Kepala Kementerian Agama, Kab. Kuningan, Forkopimcam Jalaksana, Ketua Organisasi Masyarakat Agama Islam, FKUB dan Pengurus JAI Manislor pada 4 Desember 2024 lalu.
Pembatalan tersebut menambah daftar panjang pelanggaran terhadap kebebasan berkumpul dan berkeyakinan, yang sejatinya dijamin oleh konstitusi Indonesia. Ironisnya, negara yang semestinya menghargai, memenuhi, dan melindungi hak warga negaranya justru menjadi aktor utama yang membatasi kebebasan tersebut.
Bagi anggota JAI, kebebasan yang dijanjikan konstitusi terasa seperti ilusi.
Di surat lain, berkop Sekretariat Daerah Kabupaten Kuningan, berbunyi: Kami minta agar Saudara menghentikan kegiatan apapun terkait pelaksanaan kegiatan Jalsah Salanah dengan batas waktu hari Kamis, 5 Desember 2024 sampai pukul 17.00 WIB, apabila Saudara tidak menghentikan kegiatan dimaksud, maka kami akan melakukan penertiban sebagaimana mestinya.
Nada dari bunyi surat tersebut khas kekuasaan, mencerminkan pendekatan koersif negara terhadap komunitas yang semestinya mereka lindungi.
Pasca pembatalan tersebut, tak kurang dari enam ribu anggota jemaat Ahmadiyah dari berbagai daerah di Indonesia terpaksa putar balik ke daerahnya masing-masing dan sisanya terkatung-katung tak menentu nasibnya disebabkan pembatalan yang inkonstitusional tersebut.
Jalsah Salanah sendiri merupakan pertemuan resmi tahunan jemaat Ahmadiyah.
Tahun lalu, Jalsah Salanah yang berlangsung di UK menghadirkan Alissa Wahid.
Menyadari tantangan yang dihadapi oleh komunitas Ahmadiyah di berbagai penjuru dunia, termasuk di Indonesia, Putri sulung Gus Dur itu mengapresiasi keberanian Ahmadiyah dalam mempertahankan keimanan.
Hal ini dia sampaikan melalui pidatonya di hadapan puluhan ribu anggota komunitas muslim Ahmadiyah dari seluruh dunia pada Sabtu, 29 Juli 2023 lalu.
Bak sudah dihantam fatwa MUI tahun 1980, tertimpa SKB 3 Menteri tahun 2008 pula. Ditambah penyerangan dan persekusi berbagai tempat di Indonesia seperti Lombok Timur, Cikeusik, Bogor, Depok, Kuningan, dan masih banyak lagi.
Dalam deru ketidakadilan yang tiada henti, jemaat Ahmadiyah memilih jalan sunyi tanpa kekerasan, jemaat Ahmadiyah menghadapi berbagai rupa kekerasan, diskriminasi, dan persekusi. Perbedaan tafsir agama sering kali digunakan sebagai alasan untuk menjustifikasi tindakan ini. Namun, akar masalahnya lebih dalam, yakni ketidakmampuan negara untuk menjamin hak tiap-tiap warga negaranya. Ketidakadilan sistemik yang dialami JAI, mengakibatkan Ahmadiyah seolah menjadi objek kebencian.
Martin Luther King Jr. pernah berkata, “Ketidakadilan di satu tempat menyebabkan ketidakadilan di mana-mana”. Jika persekusi terhadap Ahmadiyah dibiarkan, ini menciptakan preseden buruk yang merusak prinsip keadilan universal. Negara yang punya mandat melindungi segenap warganya tanpa memandang agama atau keyakinan, justru tunduk pada tekanan kelompok yang mendaku sebagai pemegang kebenaran tunggal, dan yang lain salah!
Belum lama, tahun 2022 menjadi saksi, di Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat, ketika masjid Ahmadiyah diruntuhkan dan disegel oleh tangan-tangan negara melalui Satpol PP. Di tengah luka yang menganga akibat kekerasan struktural, jemaat Ahmadiyah yang terusir dari ruang ibadahnya—justru menyuguhkan makanan kepada para petugas. Sebuah pemandangan yang menampar nurani, altruisme tersebut berbicara lebih lantang dari amarah, membuktikan bahwa kemanusiaan tidak selalu tumbuh di lahan yang subur, tetapi seringkali mekar paling indah di tanah penderitaan.
Sekali lagi, jemaat Ahmadiyah menjadi lentera di tengah gelap, membuktikan bahwa cinta dan perdamaian adalah jawaban atas bara kebencian. Sikap mereka mengalir seperti pesan lembut kepada nurani semua orang: bahwa keadilan dan kebebasan bukanlah milik segelintir, melainkan hak setiap jiwa, tanpa batas, tanpa syarat. Mereka mengingatkan semua orang bahwa memperjuangkan hak-hak ini bukan hanya tugas, melainkan panggilan suci untuk menjaga kemanusiaan tetap bernyala.
Love For All, Hatred For None: Pacifisme ala Ahmadiyah
“Di dunia yang penuh kebencian, rasa cinta yang Anda semua berikan kepada dunia ini menjadi sumber harapan”, tutur Alissa Wahid di Jalsah Salanah UK pada 2023 lalu.
Jalan cinta dalam menghadapi kebencian menjadi prinsip utama anggota Jemaat Ahmadiyah (JAI). Perlawanan terhadap kekerasan melalui jalan tanpa kekerasan adalah fondasi hidup mereka. Khalifah Ketiga Hadhrat Masih Mau’ud, Hazrat Mirza Nasir Ahmad (1909-1982), merumuskan slogan ikonik: Love for All, Hatred for None. Slogan ini bukan sekadar kata-kata, melainkan pandangan dunia yang memandu komunitas Ahmadiyah dalam menghadapi berbagai bentuk kekerasan, baik simbolik, langsung, maupun struktural. Menariknya, meskipun sering menjadi korban kekerasan negara dan juga kekerasan dari kelompok tertentu, jemaat Ahmadiyah tidak pernah membalas kekerasan dengan kekerasan.
Keyakinan jemaat Ahmadiyah akan jalan cinta dan tanpa kekerasan terlihat dari absennya tindakan balasan atau tuntutan hukum terhadap pihak-pihak yang menzalimi mereka. Perlawanan yang ditunjukkan justru tanpa kekerasan dan menentang peperangan, alias pacifisme. Jemaat Ahmadiyah menyadari bahwa jika kekerasan dihadapi dengan kekerasan, timbul spiral kekerasan dan hanya berakhir dengan peperangan. Hal ini menegaskan bahwa pacifisme mereka bukan kelemahan, melainkan kekuatan moral dan spiritual yang kokoh.
Pacifisme lebih dari sekadar pilihan etis; ia merupakan strategi universal yang melampaui batas agama dan politik. Dalam pandangan tokoh-tokoh besar seperti Mahatma Gandhi, Martin Luther King Jr., dan Dalai Lama, pacifisme adalah bentuk keberanian tertinggi. Gandhi, misalnya, menyatakan bahwa kekuatan sejati terletak pada kemampuan untuk menghadapi kejahatan tanpa kehilangan kemanusiaan. Prinsip ini juga sejalan dengan pandangan Immanuel Kant, yang melihat perdamaian sebagai prasyarat keadilan.
Jemaat Ahmadiyah menghidupi filosofi ini melalui pendekatan cinta tanpa syarat. Mereka menunjukkan bahwa kebencian tidak bisa dikalahkan dengan kebencian, melainkan dengan cinta. Prinsip Love for All, Hatred for None menjadi cerminan komitmen mereka untuk menjadikan perdamaian sebagai jalan menuju keadilan sejati.
Di tengah dunia yang kerap dihantui konflik dan kekerasan, jemaat Ahmadiyah mengajarkan nilai yang agung. Mereka membuktikan bahwa keberanian sejati adalah keberanian untuk mencintai, keberanian untuk menempuh jalan tanpa kekerasan, bahkan ketika dunia membalasnya dengan kebencian. Mereka menunjukkan bahwa cinta adalah kekuatan yang melampaui batas, kekuatan yang menyembuhkan. Cinta itu adalah kesabaran paripurna, sebagaimana yang tertuang dalam QS. An-Nahl [16]: 126: Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Akan tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar.
Anggota JAI di Indonesia hidup dalam spiral kekerasan, selain dari negara, juga dari kelompok tertentu yang mendaku paling Islami. Hal ini sekaligus menjadi pekerjaan rumah ketika di satu sisi—Ahmadiyah menampilkan wajah Islam pacifis, sedangkan wajah Islam lainnya masih percaya pada jalan kekerasan yang destruktif.
Tepat di hari HAM sedunia ini, mampukah manusia memuliakan martabat manusia lainnya? Mampukah kita di tengah gemuruh kebencian yang membakar, menyalakan lentera cinta yang sama?