Dalam aksi massa beberapa hari ini, ada beberapa foto yang menampilkan beberapa poster yang dibawa oleh mahasiswa saat berdemo. Ada beberapa kata yang memang menarik perhatian dari warganet dan paling sering dibagikan di berbagai platform layanan jejaring sosial. Dalam benak saya terbersit satu pertanyaan, apa respon dari Soe Hok Gie dan Widji Thukul jika melihat poster-poster tersebut? mungkinkah mereka akan tersenyum lepas atau malah marah?
Imajinasi saya melihat kemungkinan besar mereka akan tersenyum lepas jika melihat bagaimana generasi millenial menuliskan kritiknya di selembar poster, yang akan dibawanya saat berdemostrasi di depan kantor DPR RI. Tapi, itu hanya imajinasi saya sekilas saat membuka linimasa dari media sosial, dan saya tidak memiliki alasan yang jelas mengapa imajinasi tersebut yang muncul.
Apa yang ditulis oleh generasi millenial di beberapa poster protes yang dibawa ke Senayan, Gejayan dan lain-lain di seluruh Indonesia, menjadi sangat menarik karena bahasa, diksi hingga narasi yang dipakai memang sangat unik dan khas generasi millenial.
Beberapa diksi dari game Mobile Legend hingga lirik Deddy Kempot ditulis sangat gamblang di poster mereka. Bahkan, beberapa narasi kritik yang bisa membuat kita tersenyum juga muncul. Seperti, narasi sunblock yang mahal harus dihabiskan karena harus ikut demo hingga mengkritik RUU KHUP yang mengancam keberadaan K-Popers perempuan, karena bisa dipenjara akibat telat sampai rumah sebelum jam 10 malam. Masih banyak narasi lain yang tidak lazim ditemui di aksi massa sebelumnya.
Dalam fenomena narasi unik dari generasi millenial ini, walau tidak massif, memunculkan asumsi bahwa pengaruh media sosial dan model berbahasa di generasi millenial dalam menyampaikan aspirasi mengalami perubahan besar. Kehadiran media sosial memang tidak bisa dibantah memang mengubah model berkomunikasi masyarakat, terutama generasi millenial. Karena, mereka adalah kalangan yang paling banyak terpapar media sosial, sebagai bagian dari kehidupan mereka.
Apa yang berubah dari model berkomunikasi dari warganet? sehingga bisa mempengaruhi narasi kritik yang muncul di demonstrasi beberapa hari kemarin. Apakah ini bentuk perlawanan dari narasi-narasi kritik pada penguasa yang hingga sekarang masih tidak mendengarkan atau menyerap aspirasi mahasiswa? atau apakah ini model sarkasme model baru?
Komunikasi dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat tidak hanya berinteraksi secara fisik tapi juga non-fisik (baca: daring). Dalam komunikasi daring, warganet memiliki pola komunikasi yang lebih banyak perbedaan ketimbang perbincaraan sehari-hari. Di media sosial, warganet terlihat lebih berani berinteraksi dengan diksi yang lebih vulgar bahkan muncul dalam perbincangan masyarakat beberapa lema pasca interaksi tersebut.
Ungkapan kata-kata kritik unik dari generasi millenial tersebut kemungkinan besar adalah bagian dari apropriasi dari mereka atas suara kritis atas kekuasaan, yang selama ini beredar di kehidupan mereka. Apropriasi adalah proses pembentukan kembali bahasa yang selama ini dianggap baku. Ada proses kreatif dengan penerapan dan pembentukan ulang bahasa baku yang selama ini dipakai, ke dalam bentuk-bentuk pemakaian baru yang sekaligus di saat bersamaan ada pelepasan (baca: pemberontakan) dari model bahasa kritik yang selama ini ada.
Memang, narasi unik tersebut terlihat ‘receh’ jika dilihat sekilas dari sudut pandang aktivisme yang selama ini biasanya mengusung kata-kata yang cukup keras dan spesifik dalam titik kritiknya. Namun, fenomena ini memang rentan menjadi alat serang dari kalangan yang tidak setuju atas aksi massa kemarin, karena dianggap sebagai bukti dari ketidakpahaman generasi millenial terhadap kondisi sebenarnya bangsa ini.
Padahal, kehadiran generasi millenial di aksi massa kemarin adalah bagian dari usaha untuk memahami kondisi bangsa ini. Apropriasi yang mereka lakukan atas poster kritik kemarin juga bisa dimaknai sebagai kemuakan atas suara kritis mahasiswa sekarang tidak ditanggapi oleh penguasa. Sekali lagi, apropriasi merupakan proses penyerapan dan pembentukan ulang bahasa agar dapat ‘menanggung beban pengalaman kultural seseorang’, atau dalam bahasa mudahnya adalah proses apropriasi bahasa kritik generasi millenial adalah usaha mereka menyampaikan kritik melalui bahasa yang didalamnya ada semangat dan spirit yang dimiliki seseorang dan tidak ada di orang lain. Jadi, narasi dan model diksi unik adalah usaha dari generasi millenial menterjemahkan kondisi bangsa.
Adapun mahasiswa millenial juga harus berhati-hati karena jika ini terjadi pendangkalan spirit karena proses copy-paste atau peniruaan yang massif, maka narasi unik tersebut bisa saja malah tenggelam dalam ‘kerecehan’ yang dituduhkan generasi ‘old’. Oleh sebab itu, ayo terus munculkan narasi unik dan berikan semangat perlawanan yang kental atas kondisi ketidakadilan di negeri ini.
Kata-kata puitis dan sastrawi bernada perlawanan milik Widji Thukul yang sering dikutip memang masih bertahan di dalam aksi massa, bisa digantikan kapan saja dengan bahasa sarkasme milik generasi millenial yang dicontohkan juga di aksi massa kemarin.
Sebab, narasi unik tersebut bisa digolongkan dalam sarkasme model millenial karena hal tersebut adalah model dari ironi dan sarkasme yang mungkin dapat mendefinisikan tipe budaya atau kepribadian yang “lebih tinggi” atau “lebih dekaden” atau setidaknya penggunaan bahasa yang dibatasi secara geografis dan temporal untuk melakukan agresi verbal terhadap kebakuan narasi kritis. Semoga suara atau narasi kritik yang telah disampaikan bisa ditanggapi positif oleh penguasa.
Ayo seluruh elemen bangsa, teruslah berjuang mengawal perjuangan ini.
Fatahallahu alaihi futuh al-arifin