Dunia maya sedikit heboh, ketika Presiden Jokowi menyampaikan filosofi Jawa seputar kepemimpinannya. Dalam wawancara eksklusif “Merajut Kembali Persatuan Bangsa” di Istana Negara itu, Pak De memberikan filosofi Jawanya saat menjawab pertanyaan reporter Retno Pinasti yang mewawancarainya:
“Lamun siro sekti ojo mateni – meskipun kamu sakti jangan suka menjatuhkan”.
“Lamun siro banter ojo ndhisiki – meskipun kamu cepat jangan suka mendahului”.
“Lamun siro pinter ojo minteri – meskipun kamu pintar jangan sok pintar”
Catatan kecil dari saya, “Mateni” secara harfiah adalah ‘membunuh’ – sengaja Pak De Jokowi memperhaluskannya.Sedangkan “minteri” juga berarti memperdaya atau mengakal-akali.
Bagi pecinta budaya Jawa nasehat itu tidak lah asing. Filofosi itu merupakan ajaran dari Sunan Kudus, yang ditularkan kepada murid dan disampaikan secara turun temurun.
Sunan Kudus dikenangkan sebagai sosok penyebar agama Islam yang menjunjung tinggi toleransi. Wilayah Kudus tempatnya berdakwah, merupakan bekas wilayah Kerajaan Majapahit yang didominasi pemeluk agama Hindu. Hal ini dibuktikan dengan peninggalannya yaitu Masjid Agung Kudus dengan Menara Kudusnya yang menggabungkan arsitektur Islam dan Hindu.
Masjid yang dibangun oleh Ja’far Shadiq di Al Quds tahun 1530 yang kini bernama masih bertahan hingga kini sebagai warisan peradaban untuk kita yang hidup.
Sunan Kudus – terlahir dengan nama Jaffar Shadiq – adalah putra Sunan Ngudung, panglima perang Kesultanan Demak Bintoro. Sunan Kudus pernah menjadi Panglima Perang untuk Kesultanan Demak dan pernah juga menjabat sebagai Hakim Pengadilan bagi Kesultanan Demak.
Ajaran yang disampaikan Sunan Kudus bemuara pada sikap mengalah, kerendahan hati, menghormati orang lain, tidak mementingkan diri dan sikap tidak menang sendiri, pamer, serta penghargaan atas hak-hak orang lain.
Warisan ajaran Sunan Kudus dalam toleransi tidak hanya berbentuk bangunan rumah ibadah – melainkan juga kuliner. Di wilayah Kudus lebih banyak dijumpai kuliner dari daging kebo. Sebab Sunan Kudus dulu melarang pengikutnya memotong sapi – sebagai penghormatan kepada umat Hindu yang memuliakan sapi.
Ada beberapa versi ajaran yang diajarkan oleh Sunan Kudus, sebagaimana dikutip Pak De Jokowi :
“Lamun siro landep, ojo natoni – Meski kamu tajam, jangan melukai”
“Lamun siro kebat, ojo nglancangi – Meski kamu cepat, jangan mendahului”
“Lamun siro mandi, ojo mateni – Meski kamu ampuh, jangan membuat mati”.
Pengetian ‘Landep’ alias tajam bukan hanya dalam senjata, melainkan dalam berkata kata atau di masa kini tulisan – surat keputusan dan kebijakan.
Sedangkan ‘mandi’ artinya ampuh atau sakti. “Dukunne mandi” artinya dukun yang sakti. “Obate mandi” artinya obatnya ampuh. Ces pleng.
Wasiat dan ajaran Sunan Kudus sangat relevan diterapkan di hari ini, yakni sikap toleransi di masyarakat Indonesia yang berslogan Bhineka Tunggal Ika.
Mekipun kamu mayoritas jangan memaksakan kehendak. Meskipun kamu menang pilpres jangan arogan – buru buru merayakannya.
Presiden RI ya
ng dekat dengan budaya Jawa bukan hanya Joko Widodo. Dulu, Presiden Soeharto juga dikenal sebagai penghayat nilai nilai luhur dan budaya Jawa . Bahkan sebelum hijrah dan naik haji bersama Ibu Tien, Soeharto dijuluki sebagai “Presiden Kejawen” dan penganut kebatinan.
Sedangan Bung Karno, sebagai nasionalis, lebih menekankan kepada identitas keindonesian, dengan pidatonya yang tegas:
“Kalau jadi Hindu, jangan jadi orang India. Kalau jadi Islam, jangan jadi orang Arab. Kalau jadi Kristen, jangan jadi orang Yahudi. Tetaplah jadi orang Indonesia dengan adat budaya Nusantara yang kaya raya ini.”
Dari Pak Harto sejumlah ungkapannya, yang dikutip dari leluhur Jawa dan sering dismapaikan adalah “Ojo Dumeh” (jangan mentang-mentang), dengan pemaparan empat “ojo” lainnya, yaitu: “Ojo Gumunan” (jangan mudah kagum), “Ojo Kagetan” (jangan mudah kaget), “Ojo Getunan” (jangan mudah menyesal), dan “Ojo Aleman” (jangan manja/kolokan/cengeng).
Petuah leluhur Jawa lainnya yang dipopulerkan Pak Harto adalah “Ojo mung rumongso biso, nanging ora bisa rumangso” – “Jangan hanya ‘merasa bisa’, melainkan ‘bisa merasa’..” – Kalimat itu diucapkannya saat menyindir John Naro (politisi PPP) yang nekad maju menjadi calon Presiden RI.
Meski falsafah yang dipetuahkan oleh Soeharto sungguh mulia, namun tidak dalam praktiknya. Dalam perjalanan kekuasaannya, Soeharto dikenal sebagai penguasa yang bengis dan tangan besi. “Adigang , Adigung, Adiguna” yang berarti mengandalkan kekuatan, kekuasaan, dan kepandaian yang dimiliki – demi melanggengkan kekuasan, memeperkaya diri dan mensejahterakan anak anaknya.
TENTU SAJA saya gembira dengan kembalinya Jokowi kepada budaya Jawa. Dalam pemerintahannya selama ini, Pak De Joko Widodo mewujudkan sikap pemimpin yang tenang dan rendah hati, dan terus menyatukan antara ucapan dan tindakan segabaimana pernah disebut oleh para leluhur:
“Antenging jatmika ing budi, upayanen nyawijining ukara lan trapsila”
Dengan segala fitnah dan cemooh, Pak De mewujudkan impian semua rakyat, pembangunan yang merata di seluruh pelosok. Ketekunan menjadi dasar mencapai tujuan. Sebab, siapa yang bersungguh sungguh bakal mendapatkan (“Sing sapa temen, bakal tinemu”)
Dengan kelembutannya Pak De Jo menghadapi lawan politik yang hanya bermodal percaya diri namun tanpa perhitungan. (“Kaduk wani kurang duga”). Juga menghadang polititi ambisius dan menyerang dengan menghalalkan segala cara, menyebabkan dirinya sendiri lupa; “Melik nggendong lali”
Setelah memenangkan Pilpres 2019, Jokowi mampu menahan nafsu ketika dalam kebahagian. Sebagaimana tidak larut dalam kesedihan ketika sedang disudutkan. Senantiasa mengingat pada Yang Memberi Hidup;
“Sing bisa prihatin sakjroning bungah. Sing bisa bungah sakjroning prihatin. Tansah emut marang Kang Murbeng Gesang”.
Pujangga mashur, Raden Ngabehi Ranggawarsita, pun mengingatkan, seberuntung-beruntungnya orang yang lupa, lebih beruntung yang selalu sadar dan waspada.
“Sabegja-begjane wong kang lali, luwih begja wong kang eling lan waspada” ***