Teknologi informasi ternyata menjadikan banyak santri di pesantren kami mengalami gangguan kesehatan mental. Santri menjadi penyendiri, lebih asyik dengan dunianya sendiri dan bahkan menjadi asosial.
Selain itu, santri mengalami kecemasan tentang masa depannya karena begitu banyak informasi yang diterima tanpa memiliki kemampuan mencerna informasi secara kritis. Santri pun merasakan penurunan semangat dalam menjalani hidup.
Situasi ini tentu menjadi paradoks. Apalagi Pesantren Bumi Cendekia menyatakan diri sebagai lembaga pendidikan yang memiliki visi merawat tradisi pembelajaran klasik khas pesantren yang terintegrasi dengan kurikulum nasional.
Simak misalnya, pernyataan seorang pendiri Pesantren ini, Bumi Cendekia sebagai ikhtiar bersama untuk menyiapkan generasi santri yang dapat mengambil peran terdepan di berbagai sektor kehidupan di level nasional dan global untuk memberi manfaat seluas-luasnya bagi manusia dan alam sebagai perwujudan nilai Islam Rahmatan Lil Alamin.
Bisa dibilang Pesantren Bumi Cendekia merupakan pondok modern. Para santrinya diperbolehkan membawa gawai, handphone, laptop, dan tablet untuk mendukung proses kegiatan belajar mengajar.
Di akhir pekan, ketika kegiatan sekolah libur semua santri dapat menggunakan gawai secara bebas untuk keperluan apapun itu. Untuk santri setingkat SMP dan SMA, penggunaan handphone dimulai pukul 09.00-12.00, sementara akses terhadap laptop diperbolehkan sepanjang hari hanya bagi siswa tingkat SMA.
Pemberlakuan kebijakan berbeda ini berdasarkan pada harapan guru dan orang tua, diharapkan para santri bisa menggunakan gawai dengan baik, seperti mengembangkan ide, menulis esai, dan mencari referensi. Selain itu, santri tingkat SMA memang sering mendapatkan tugas yang memerlukan akses laptop untuk mengerjakannya, di antaranya membuat bahan presentasi, menulis esai, opini, dan cerpen.
Para guru juga menganggap santri SMA sudah memiliki pribadi yang mandiri, dan bisa bertanggung jawab. Walaupun mendapatkan kesempatan mengkases laptop setiap hari, mereka tetap bisa mengatur waktunya, kapan waktu salat, mandi, makan, istirahat, dan mengerjakan tugas.
Kebijakan mengakses laptop sepanjang hari itu, ternyata menjadikan santri menghadapi dua permasalahan kesehatan. Pertama, gangguan kesehatan fisik. Contohnya, sebagian santri mengalami nyeri punggung, leher, dan Pundak. Pasalnya, santri menggunakan laptop dengan posisi duduk yang salah, posisi duduk yang salah, bisa memengaruhi aliran darah, dan pada saat tertentu akan merasakan tubuh kaku.
Ketika menghadap ke layar laptop terlalu lama, kesehatan mata akan terganggu juga, misalnya, mata nyeri, kering, hingga iritasi. Apalagi sering menggunakan laptop dalam posisi tidur, sehingga tidak bisa mengatur jarak pandang dengan layar laptop. Secara perlahan pengelihatan akan terasa buram, dan mata menghadapi berbagai kemungkinan masalah, termasuk mata minus.
Kedua, penggunaan laptop secara terus-menerus menyebabkan santri menghadapi masalah kesehatan mental. Misalnya, mereka menjadi individualis, jarang berkomunikasi di antara mereka sendiri.
Komunikasi sosial mulai memudar. Sewaktu pulang sekolah, santri langsung sibuk dengan dunianya masing-masing dengan laptop. Sebagian bermain game, chating dengan teman atau kerabat, scroll media sosial, dan lain-lain. Dengan begitu, hampir bisa dipastikan santri tidak pernah mengobrol satu sama lain ketika berada di asrama.
Pada saat yang sama, ketika membuka laptop dengan mengakses internet setiap hari, mereka menerima serangkaian informasi seumpama bah yang tak bisa ditolak. Misalnya, dalam waktu lima menit saja, sudah bisa menerima sebanyak 5 sampai 15 informasi melalui media sosial, Instagram, Twitter, Facebook, Tiktok, dan grup WA.
Ketika santri terlalu banyak menerima informasi dalam waktu yang cukup pendek, mereka menjadi sulit untuk memeriksa validitasnya. Ambil contoh, ketika seorang santri menerima informasi berupa video melalui Tiktok yang menginformasikan orang-orang yang sukses itu lahir pada bulan tertentu. Sementara bulan kelahiran santri itu ternyata tidak termasuk dalam bulan yang melahirkan orang sukses.
Saat santri tidak bisa mencerna informasi itu secara baik pemikirannya secara perlahan akan terganggu oleh satu video yang tidak valid informasinya itu. Santri mulai memikirkan tentang masa depannya, seperti mengajukan pertanyaan, “aku bakal sukses enggak ya?”, “besok aku jadi apa ya?”, dan “besok aku bakal kerja apa ya?”
Jika berbagai pikiran itu terus menganggu, dan berputar di pikiran, akan menganggu kesehariannya, entah saat belajar sekolah, mengaji, belajar di asrama, dan mengobrol dengan teman. Akibat yang paling buruk, ketika menjadikannya malas menjalani hidup. Sebab, di postingan itu menyatakan bulan lahirnya ternyata tidak melahirkan orang sukses.
Detoks Digital
Semakin menguatnya gangguan kesehatan santri dengan penggunaan laptop tanpa batas itu, pesantren memberlakukan kebijakan detox digital. Program yang menjadi upaya menghindarkan santri dari problem kesehatan fisik dan mental. Bentuknya, setiap hari Selasa, mulai pukul 16.00, semua laptop dikumpulkan, dan boleh diambil keesokan harinya.
Meski baru diberlakukan sehari dalam seminggu, kebijakan ini sangatlah berpengaruh besar. Sebelumnya, sepulang sekolah santri langsung sibuk dengan dunianya, sekarang santri menghabiskan waktu sorenya dengan mengobrol, membaca buku, berolahraga seperti voly, badminton dan sepak bola.
Walaupun tidak semudah itu santri beradaptasi. Para santri merasa sakaw, suatu situasi yang biasanya ada tetapi tidak ada dalam kondisi tertentu. Santri merasa kekurangan atau kehilangan sesuatu yang seharusnya ada di situasi tersebut.
Kebijakan yang lain, ketika pembelajaran kelas tidak menggunakan laptop, semua wajib mematikan dan memasukkan ke laci meja. Santri hanya membuka laptop saat guru memintanya, dan menggunakan sesuai dengan kebutuhannya, misalnya, mencari referensi atau sumber belajar yang lain.
Sebelumnya, sebagian santri memanfaatkan kesempatan membuka laptop untuk kepentingan yang lainnya, bukan untuk tujuan belajar. Akibatnya, terjadi distrac, belajar mereka terganggu dan tidak fokus belajarnya. Sedikit-sedikit melirik ke layar laptop, dan terus seperti itu hingga proses pembelajaran selesai.
Begitulah, satu situasi kehidupan santri di era digital, era atau zaman yang menjadikan begitu mudah mendapatkan informasi. Namun, pada saat yang sama menghadapkan orang pada berbagai dampak buruk, manakala tak mampu mengelola atau mengendalikannya.
Langkah strategis lain dalam membekali santri hidup dalam era digital dengan informasi tanpa batas, yaitu melakukan literasi digital kepada santri. Membekali santri dengan pengetahuan dan keterampilan dalam memanfaatkan berbagai alat komuikasi dan media digital, termasuk pemanfaatan internet dengan cerdas dan tepat.
Literasi digital ini juga mencakup soal kecakapan memilih sumber informasi yang bisa dipertanggungjawabkan saat berselancar di internet, dan kemampuan melakukan pemilahan atau memverivikasi informasi yang valid dengan kritis saat mengakses internet dan media sosial sehingga akan terjaga kesehatan mental santri.