Bukan maksudnya mau ambil gampang. Sejarah pergerakan kebangsaan sejak semula adalah pergulatan dan persaingan dua kaum. Pada satu sisi pendukung nasionalisme kultural yang primordialis bercorak etnis atau religius, bisa juga gabungan keduanya. Berhadapan di sisi lain dengan pendukung nasionalisme politik yang pluralis yang berasal dari dinamika sejarah dan perubahan sosial.
Pada zaman Jepang kesempatan yang lama ditunggu pun tiba. Mereka berkumpul di dalam Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Sonder perlu takut lagi, mereka dibebaskan membicarakan soal konstitusi dan ideologi bagi “suatu komunitas yang dibayangkan”. Ketika 62 anggota badan itu pada 29 Mei 1945 mulai bersidang di gedung Chuo Sangiin, lantas ketua sidang, Radjiman Wedyodiningrat, membuka dengan pertanyaan pendek apakah dasar (beginsel) negara Indonesia merdeka kelak, nyatalah sudah suatu bangsa yang telah utuh ingin mengikat dirinya dalam suatu negara-bangsa yang berdaulat dan bersatu.
Sidang berakhir 22 Agustus 1945. Pancasila dan Pembukaan UUD 1945 yang dihasilkan bukan saja dianggap sebagai latarbelakang intelektual dari teks proklamasi dan konstitusi, tapi juga dokumen ‘kemenangan’ kaum nasionalisme politik. “Golongan nasionalis mendominasi badan itu bukan saja secara jumlah, tapi juga secara politis dan psikologis,” kata Bob Hering dan begitu pula mayoritas sejarawan. Lantas, apakah di badan itu otomatis ada hegemony of meaning yang menghilangkan coraknya nasionalis politik sebagai cultural bazaar, sebuah ‘pasar’ bagi setiap unsur kultural di luarnya tampil bersaing untuk mendapatkan pengakuan, dan terutama menjadi bagian dari proses pengayaan nilai-nilai yang akan menjadi dasar negara-bangsa baru yang sedang dalam proses pembentukan itu?
Ada orang pintar yang bilang setiap konstitusi adalah anak zamannya. Sebab itu memahami apa yang terkandung di dalam konstitusi harus dipahami alam pikiran sekitarnya, termasuk akar historis dan filosofi dasarnya. Cara tercepat memahami ketiganya adalah dengan melihat tokoh yang paling besar artikulasinya di dalam sidang. Sejarawan Anthony Reid menyimpulkan, “di badan itu mendominasi pemikiran Sukarno”. Ini tidak berlebihan karena Geoge Mc. T. Kahin dalam Nationalism and Revolution in Indonesia menyatakan konsepsi dasar negara yang dipidatokan Sukarno sejam tanpa teks pada 1 Juni 1945 mencerminkan sebuah refleksi mendalam dan menjadikan sangat jelas apa yang sebelumnya masih berupa “gambaran abstrak di kalangan terdidik Indonesia, di samping bahasa simbolisme yang digunakan juga mudah dipahami orang biasa”.
Klasik. Inilah kata yang tepat untuk pidato Sukarno itu. Itulah suluh dari gelap akan arah tujuan. Teks yang kreatif berdialog dengan lingkungannya, yaitu sebuah bangsa yang sedang membentuk dirinya dalam konteks kolonialisme. Sedikit sekali figur di dalam sejarah pergerakan yang mampu menghasilkan klasik. Sukarno salahsatunya. Ia pun tak cukup puas pada satu puncak. Pidato 1 Juni adalah puncak dari puncak demi puncak yang telah dibuat sebelumnya. Pidatonya menarik bukan saja karena berisi kilasan pemikiran puncak yang telah dicapainya, tetapi juga puncak-puncak pemikiran orang lain. Sebab itu dalam Pidato 1 Juni akan ditemui referensi dari Indonesia menggugat (1930) dan Mencapai Indonesia Merdeka (1933) berdampingan dengan pleidoi Mohammad Hatta, Indonesie Vrij (1928). Tidak melulu azas PNI yang berakar pada esei Islamisme, Nasionalisme dan Marxisme (1926/27), tapi juga tujuan Indische Partij (1912). Termasuk manifesto politik Perhimpunan Indonesia rumusan Hatta pada 1925.
Berlatarbelakang itu, Pancasila yang berakar dari pidato 1 Juni dan sebab itu disebut the intellectual history of Pancasila bukanlah ideologi negara, melainkan ideologi nasion Indonesia. Dalam sejarah politik gagasan-gagasan tentang nasion mendahului dan menjadi dasar serta memotori terbentuknya “komunitas yang dibayangkan” pada 1945. Pidato itu juga representasi ideal-ideal pokok tentang raison d’etre atau alasan menjadi nasion Indonesia dan demokrasi. Teranglah betapa telah jadi keyakinan politik kaum nasionalis bahwa bangsa dan masyarakat baru yang akan mereka bentuk itu harus bersifat multi etnik serta multi kultural yang hanya mungkin tumbuh berkembang dalam tataran sosial juga politik yang bercorak demokratis.
Sejak 1920-an, Sukarno telah tumbuh sebagai simpul sejarah. Pidato 1 Juni contoh bagaimana dalam tempo mendesak dan perang yang gawat, ia tampil sebagai contoh dari sebuah prinsip yang begitu tegas menjelaskan sintesa antara pikiran demokrasi Barat, Marxisme dengan gagasan-gagasan komunalistik dari tradisi demokrasi desa di Indonesia juga Islam. Wajar ada yang bilang tidak jelas negara jenis apakah yang ingin dibangun Sukarno. Pahamnya campur baur segala-galanya, mulai sosialis hingga teokrasi. Pidato yang kemudian dititeli “Lahirnya Pancasila” itu banyak kontradiksi. Namun, pesan Sukarno sangat jelas, yaitu betapa saat itu ia sedang berusaha mencoba mengatasi pelbagai hal yang paling bertentangan yang dihadapi Indonesia.
Sejak BPUPKI akan bersidang, Sukarno sudah meraba kontradiksi yang bakal terjadi, terutama dengan kelompok Islam. Tapi ia optimis, seperti tulisnya pada artikel ‘Erat Seerat-eratnya’, Oktober 1944, “persatuan di antara pemimpin Islam dan nasionalis sangat padu bagai batu karang”. Dalam sidang ke-7 semacam dewan, Chuo Sangiin, Februari 1945, baik kaum Islam maupun nasionalis menyetujui apa yang dikatakan Sukarno itu. Para pemimpin Islam pun melibatkan diri bersatu dalam pergolakan politik mencapai Indonesia merdeka bersama kaum nasionalis.
Tapi, Wahid Hasjim pemimpin Masjumi pada 25 Mei 1945 menyatakan, “…pertanyaan yang penting bukanlah dimana akhirnya tempat Islam di dalam negara itu, akan tetapi dengan jalan manakah akan kami jamin tempat agama kami di dalam Indonesia merdeka?” Ini menegaskan betapa sejak pertama kali identitas keindonesiaan mencuat bersama pertanyaan Abdul Rivai pada 1900, “siapakah kita?”, politisi Islam selalu menjawab sama. Indonesia adalah Islam.
Ini buat Sukarno tantangan. Selama sebulan sejak 1 Maret 1945 diumumkan pembentukan BPUPKI, ia memilih menyendiri. Ia tidak mengikuti perjalanan ke Banjarmasin bersama Hatta, bukan saja karena ayahnya meninggal pada 8 Mei 1945, tetapi ia mempersiapkan dirinya. Ia harus membebaskan diri dari ketakutan-ketakutan terhadap Jepang untuk menuntut kemerdekaan dan meyakinkan kawan-kawannya bahwa kemerdekaan tak perlu menunggu kesiapan, sekaligus membuat ajakan politik (political appeal) yang menengahi pemutarbalikan, pembelokkan, dan ketiadaan hasrat akan kesatuan pendapat.
Sukarno berhasil membuat keer punt atau suatu titik balik dari segala masalah tentang apa itu dasar negara, sebab dalam pidatonya dengan berani tapi cerdas menyinggung kontradiksi-kontradiksi yang cenderung dihindari anggota lain. Ia mengekplorasi weltanschauung atau pandangan tentang dunia dan kehidupan atau yang disebutnya philosophische grondslag, filosofi bersama yang melandasi, merekatkan dan memayungi ‘le desire d’etre ensemble’ serta schiksalgemeinshaft atau hasrat untuk bersama juga solidaritas umum. Tapi awas, ini jangan ditafsirkan suatu kebersamaan yang kukuh dan kaku macam Orde Baru. Dalam pandangan Sukarno itu ada tempat bagi percaturan politik. Ia dengan gagah menyebutnya “suatu kawah candradimuka yang mendidih dimana pelbagai paham beradu di dalam badan perwakilannya. Tak ada negara yang dinamis kalau tidak ada perjuangan paham di dalamnya”.
Pandangan itu diarahkan Sukarno agar politisi Islam tentram seraya insyaf agar menerima berdirinya sebuah negara yang “satu untuk semua, semua untuk satu”. Pesannya, tinggalkanlah egoisme Islam. Namun, bukan tak mungkin di Indonesia berlaku hukum Islam, jika politisi mereka mengisi mayoritas kursi badan perwakilan. Artinya bagi Sukarno perjuangan ke arah hegemoni diakui sebagai sesuatu yang wajar dan sah. Alhasil menjadi Indonesia merujuk pidato 1 Juni itu adalah proses negosiasi terus menerus bagi setiap unsur kultural.
Sidang BPUPKI selanjutnya PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) mencerminkan proses negosiasi itu. Pidato 1 Juni memang sangat berpengaruh, namun tidak diterima bulat-bulat. Ada kritik dan pengayaan terutama dari wakil pangreh praja, Soepomo juga dari kaum nasionalis sendiri, Hatta. Mulai persoalan batas negara, hak asasi manusia, sistem perekonomian, sampai hubungan negara dengan agama. Mayoritas pemikiran dalam sidang memang dipasok kaum nasionalis, namun ada sikap menjauhi hegemony of meaning. Malahan terkait negara dengan agama, pada 22 Juni 1945, Sukarno mengalah. Saat itu politisi Islam berkeras soal: “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam” dan “Presiden harus orang Indonesia asli yang beragama Islam”. Lebih jauh ia juga meminta tokoh Kristen mau menerimanya. Ini berhasil. Sampai pada 18 Agustus 1945, Hatta meminta peninjauan kembali perumusan itu sebab dapat berita rakyat Kristen di bagian timur menolak masuk RI jika dipertahankan. Politisi Islam setuju.
Deliar Noer dalam klasiknya Partai Islam di Pentas Nasional menilai itulah moment kejernihan pikir dan kemanusiawian politisi Islam yang tepat datangnya. Sebagaimana mereka percaya bahwa mereka adalah pimpinan umat Islam dengan integritas moral yang kuat, begitu juga menganggap para pimpinan lain, termasuk yang nasionalis. Lebih jauh mereka mengerti betul prioritas yang harus segera diselamatkan dari ancaman kembalinya Belanda adalah negara-bangsa yang baru saja lahir yang sejak lama menjadi impian historis mereka juga.
Saat itu, belum genap setahun Wahid Hasjim, tokoh Islam paling terkemuka di zaman Jepang, menandatangani surat edaran pengurus besar Masjumi yang bertitimangsa 1 November 1944 dan berbunyi: “kita semua orang-orang Islam, kita semua adalah nasionalis dan patriot”. Pagi hari, 18 Agustus 1945, ketika sejarah pergerakan kebangsaan telah memasuki ‘pintu gerbang kemerdekaan’ dengan berdirinya sebuah negara nasional, politisi Islam menunaikan kata-kata itu.
Sebuah moment of the truth, detik kebenaran bagi kaum Islamis, begitu pula bagi nasionalis tentang arti nasionalisme dan patriotisme yang diwariskan mereka sebagai monumen serta dokumen buah kerja yang jadi amal tiada akhir.[]