Rudalku (Rumah Daulat Buku) adalah program deradikalisasi yang dilaksanakan oleh Lembaga Daulat Bangsa dengan membuat perpustakaan di rumah para Ikhwan yang pernah terpapar oleh paham radikalisme. Untuk ajang silaturrahmi para ikhwan, Lembaga Daulat Bangsa melalui program Rudalku, mengadakan pengajian Ushul Fiqih, yaitu pengajian dengan menggunakan Kitab Waraqot, sebagai kitab rujukan.
Pengajian dilaksankan di kantor pusat Lembaga Daulat Bangsa, yaitu di Komplek Jatipadang Baru G/ 3 Pasar Minggu Jaksel. Pengajian ini menurut Soffa Ihsan (pendiri Lembaga Daulat Bangsa), merupakan salah satu bentuk program deradikalisasi, karena radikalisme tumbuh kuat karena ditopang oleh paham agama. Rudalku memberikan pemahaman dalam prespektif yang berbeda, melalui kegiatan literasi, sehingga para ikhwan dapat dengan bebas bertanya atau menyanggah, sesuai dengan pehaman mereka, akan tetapi harus dengan rujukan pula.
Pengajian ini dibina oleh KH. Mukti Ali Qusyairi, MA, yang dilaksankan setiap bulan. Pengajian Ushul Fiqih dengan menggunakan Kitab Waraqat, menurut Mukti Ali terbagi ke dalam empat pembahasan. Pertama, pembahasan Ushul Fikih/Fikih yang berkaitan dengan narasi teks yang masih gelobal (ijmaliy). Jika ada ibadah dan berbagai perintah/larangan yang dalam teks dijelaskan secara rinci (tafshiliy), maka tidak bisa dikatakan sebagai fikih. Sebab fikih adalah dzhanny yang meniscayakan ijtihad. Jika hal yang dijelaskan secara terinci maka tidak butuh untuk diijtihadkan.
Kedua, pembahasan tentang kayfiyat al-istidlal (cara penggalian dan penalaran dalil), yaitu mendahulukan dalil khash (spesifik) atas dalil ‘am (umum), muqayyad (yang dibatasi) atas muthlaq (yang tak terbatas), nasikh dan mansukh, dan yang lainnya. Ketiga, ushul fikih membahas tentang sifat dan karakter seorang mujtahid.
Dalam disiplin ilmu ushul fikih dijelaskan hierarki kualitas keilmuan seseorang: Pertama, Mujtahid mutlaq, yaitu seorang yang menemukan metodogi istinbath/istidlal, hafal dan menguasa Al-Quran dan hafal ribuan hadits, dhabith, mampu memproduksi/mereproduksi pendapat. Yaitu Imam Malik, Syafii, Hanafi, Hambali.
Kedua, mujtahid madzhab/mutlaq yaitu seorang alim yang menguasai metodologi yang dirumuskan mujtahid mutlaq dan mampu menerapkannya dalam memproduksi pandangan keagamaan. Ketiga, Mujtahid fatwa dan keempat, Mujtahid tarjih. Ijtihad yang dulu bersifat pribadi, saat ini dikembangkan dengan ijtihad jama’iy (kolektif).
Keempat, pembahasan ushul fikih secara umum yang terkait dengan analisa linguistik, yaitu bahasa, kata, kalimat, dan huruf. Seperti kalimat haqiqah, majaz, kalimat perintah, kalimat larangan, kalimat yang mengandung tiga aspek yaitu mantuq (ujaran), mafhum (pemahaman) dan isyarat (simbol), dan yang lainnya.
Saepullah sebagai salah satu pengurus Lembaga Daulat Bangsa menegaskan bahwa peradaban Islam adalah peradaban teks; peradaban yang dibangun berdasarkan narasi dan kekayaan khazanah literatur. Untuk itu, dengan memahami Ushul Fiqih diharapkan para ikhwan dapat memahami pula bagaimana sebuah teks dalam al Quran maupun Hadis, tidak bisa bigitu saja dijadikan dalil, akan tetapi harus dipahami pula cara atau metode bagaimana sebuah teks dalam al-Qur’an dan hadis menjadi dalil, karena dalil adalah sesuatu yang menunjukkan kepada sesuatu yang dicari. Sebab dalil sejatinya adalah teks merupakan tanda/simbol yang menunjukkan pada sesuatu yang dicari. Sehingga jika berhenti pada teks/tanda tanpa menembus sesuatu yang tersimpan di balik tanda, maka tidak bisa disebut dalil.
Selain terkait bahasa, ushul fikih juga membahas tentang sumber hukum yaitu Al-Qur’an, hadits, al-atsar al-shahabah, ijmak (konsensus sahabat atau ulama), dan qiyas (analogi). Ustadz Mukti Ali mencontohkan al-atsar as-shahabah dengan ijtihadnya Umar bin al-Khatthab yaitu menghapus ghanimah (rampasan perang) dan harta orang kafir yang kalah perang dilarang dirampas dan dikembalikan kepada pemiliknya baik properti, rumah, tanah, ternak dan yang lainnya. Ijtihan Umar ini justru menuai simpati dan respek dari umat kafir dan mereka justru banyak yang masuk Islam secara suka rela. Sejak saat itu, umat Islam dilarang merampas harta orang kafir atas nama ghanimah atau yang lainnya seperti fai. Ini penting disampaikan kepada kalangan jihadis, agar tidak salah kaprah memahami ghanimah dan fai.
Ustadz Mukti mencontohkan soal kalimat larangan (nahi), yaitu tentang haram dan najisnya daging babi, ayat “hurrimat ‘alaikum maytatu, wad dam, wa lahmal khinzir”. Lalu terjadi diskusi hangat. Salah satu jihadis bertanya, “bagaimana dengan anjing?” Ustadz Mukti menjawab, bahwa para ulama berbeda pendapat soal apakah anjing najis atau tidak. Imam as-Syafii menyatakan bahwa anjing najis diqiyaskan dengan najisnya babi. Itu pun najisnya hanya pada mulutnya atau ketika basah. Kalau menyentuh harus membasuh tangan dengan air dicampur debu. Sedangkan mazhab lain seperti Imam Malik menyatakan bahwa anjing tidak najis. Akan tetapi seluruh ulama bersepakat membolehkan melihara anjing untuk dilatih yang nantinya bisa menjadi keamanan rumah, gedung, sawah, kebun, ternak, dan untuk berburu.
Pengajian yang ke 13 ini, dilaksankan pada hari Senin tanggal 22 Juli 2019, yang dihadiri oleh para ikhwan sebanyak 14 orang.