Nama Bintang Emon nangkring di trending topic Twitter pada medio Juni lalu. Humornya yang disampaikan dalam waktu satu menit 43 detik menjadi tangga yang dijalankan publik dengan dukungan untuk membelanya melalui twit-twit. Sebab, mereka merasa humor tersebut mewakili perasaan dan kegeramannya atas kasus penyiraman yang menimpa penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan. Bagaimana tidak, tersangka kasus tersebut hanya divonis setahun karena unsur ‘tidak sengaja’ dan memberikan pelajaran. Alasan jaksa yang tidak masuk akal itulah yang menjadi bahan kritikan pria asal Kalideres, Jakarta Barat itu.
Katanya nggak sengaja, tapi kok bisa sih kena muka? Pan kita tinggal di bumi. Gravitasi pasti ke bawah. Nyiram badan nggak mungkin meleset ke muka. Kecuali Pak Novel Baswedan emang jalannya hand stand….
Frasa terakhir itu yang menjadi poin ironinya. Ia bisa memilih diksi yang tepat untuk menggambarkan ketidakmungkinan tersebut. Tentu tidak ada orang yang melangkah menggunakan tangannya untuk menapak di jalanan. Di situ, Bintang menekankan bahwa perlakuan yang dilakukan tersangka adalah sesuatu yang sangat disengaja, bahkan mempertentangkan cara jalan dengan hukuman atas kasusnya.
Terlebih dilakukan dalam waktu Subuh, suatu waktu shalat yang, katanya, godaan setannya paling kuat. Di sini, pria 24 tahun itu begitu cerdik memainkan wacana politik dan keagamaan dalam suatu humor. Mengutip Villy Tsakona dalam tulisannya yang berjudul Genres of Humor yang terkumpul dalalm The Routledge Handbook of Language and Humor (2017), meskipun dunia keagamaan tidak sesuai dengan humor, tetapi tidak selamanya bertentangan. Terbukti, Bintang bisa meramunya dengan baik tanpa menimbulkan ketersinggungan. Ia menyebut dirinya dan teman-temannya kerap terlewat untuk melaksanakan salah satu kewajiban yang dijalankan Muslim itu. Namun, ini ada orang yang bangun di waktu tersebut tidak untuk menjalankan shalat, tetapi menyiram air keras ke orang yang pulang melaksanakan shalat.
Langkah berani Bintang Emon ini sebetulnya telah dipilih KH Abdurrahman Wahid sebagai jalan menyampaikan kritik terhadap fakta sosial politik di masanya. Pilihan ini tentu bukan tanpa dasar mengingat setidaknya, kata Gus Dur dalam Melawan melalui Lelucon (1981), humor sebagai wahana ekspresi politis akan menyatukan bahasa rakyat banyak dan mengidentifikasi masalah-masalah yang dikeluhkan dan diresahkan. Benar saja, humor yang diembuskan pria peraih terbaik pertama dalam ajang lomba komedi tunggal itu menjadi suara bersama.
Humor sejatinya merawat demokrasi di negeri kita. Masyarakat yang tidak mampu mengekspresikan suara hatinya merasa terwakili. Suara-suara yang sebelumnya tidak keluar pun bisa turut muncul membagikan ulang humor tersebut. Di akun Twitternya sendiri, video Bintang Emon tersebut sudah ditonton lebih dari 5 juta akun. Hal itu belum menghitung penonton di akun lain dan media sosial lainnya.
Baca juga: Demokrasi bukan agama
Bentuk serupa juga yang coba dimainkan Gus Dur. Misalnya saja dengan mengeluarkan lelucon soal tentara paling berani. Ketika tentara Amerika diperintah Bill Clinton (presidennya saat itu) dan tentara Jepang diperintah Koizumi (perdana menterinya kala itu) berhasil berenang mengelilingi kapal di tengah kejaran hiu, seorang kopral Indonesia ketika diperintah untuk melakukan hal yang sama justru melawan perintah Gus Dur selaku presiden. Di situ, Gus Dur menunjukkan betapa beraninya Tentara Indonesia. Dalam lelucon lainnya, putra sulung KH Abdul Wachid Hasyim itu menyebut ada tiga polisi baik, yakni Jenderal Hoegeng, polisi tidur, dan patung polisi.
Lelucon itu muncul dengan latar belakang yang kuat mengenai dua profesi yang disebut Gus Dur tadi, yakni tentara dan polisi. Tentu saja, kiai yang pernah didaulat sebagai Ketua Pokja Forum Demokrasi itu memiliki maksud tertentu, yakni mengkritisi tindak-tanduk keduanya.
Di samping itu, humor juga hadir untuk meruwat demokrasi sebuah negara. Gus Dur menegaskannya dalam Kata Pengantar yang ia tulis untuk buku Mati Ketawa ala Rusia (1986), bahwa humor merupakan senjata ampuh untuk memelihara kewarasan orientasi hidup sebuah masyarakat, jika dengan itu mereka dapat menjaga jarak sehat dari keadaan yang dinilai tidak benar. Dengan humor, secara psikologis, orang akan lebih cair dan menerima.
Sebaliknya, humor bukan justru membuat ruwet demokrasi Bumi Pertiwi. Sebab, ternyata sampai hari ini, masih ada juga yang mempermasalahkan humor. Sebagaimana kita ketahui, ada yang mengembuskan isu negatif terhadap pelawak tunggal bernama lengkap Gusti Muhammad Abdurrahman Bintang Mahaputra itu dengan menyebutnya pengguna narkoba jenis sabu-sabu.
Hal demikian mengindikasikan adanya ketidakterimaan suatu pihak atas sindiran tersebut mengingat isu itu muncul tak berselang lama setelah namanya menjadi pemuncak klasemen trending topic media sosial berlogo burung itu. Artinya, ada serangan yang sengaja dilancarkan mengingat isu tersebut juga naik di pucuk topik yang paling banyak dibicarakan.
Jika humor masih dianggap sebagai sebuah hal yang membuat ruwet sehingga menimbulkan represi dan resepsi kekerasan, baik verbal, psikis, maupun fisik, itu mencederai demokrasi sendiri. Sebab, di antara kriteria demokrasi yang diajukan Gwendolen M. Carter dan John H. Herz, sebagaimana dikutip R. Eep Saefulloh Fatah (1994), adalah adanya sikap toleransi terhadap pendapat yang berlawanan dan adanya penghormatan terhadap hak rakyat untuk menyatakan pandangannya betapapun tampak salah dan tidak populernya pandangan itu.
Fakta demikian seharusnya semakin meneguhkan jalan kita untuk melanjutkan perjuangan Gus Dur untuk menegakkan demokrasi. Sebab, Gus Dur sendiri terang-terangan menegaskan dalam tulisannya yang berjduul Masa Depan Demokrasi di Indonesia (1998), demokrasi Indonesia tidak dapat ditegakkan setelah pemilu yang akan datang (1999). Hal itu terjadi jika tidak ada perubahan mendasar yang dilakukan. Pasalnya, Gus Dur mengungkapkan bahwa membuat demokrasi bukanlah pekerjaan sehari dua hari. Artinya, tidak bisa instan dalam mewujudkan harapan tersebut. Kita butuh waktu yang panjang sehingga perjuangan untuk menegakkan demokrasi harus terus dilakukan.
Lebih dari itu, sebagaimana dikutip Syaiful Arif dalam Humanisme Gus Dur (2013), Gus Dur menyatakan dalam makalahnya yang berjudul Demokrasi, Sebuah Pertanggungjawaban (1992), bahwa demokrasi sebetulnya merupakan suatu proses terus-menerus yang tidak ada henti-hentinya sehingga perlu senantiasa didorong prosesnya secara bersama-sama. Bahkan, Gus Dur menyebut bahwa demokrasi selalu dalam proses menjadi, tidak bisa dipandang sebagai sebuah sistem yang selesai atau sempurna.
Humor menjadi salah satu jalan yang patut dipilih dan dipertahankan untuk mendayaupayakan, meminjam istilah Gus Dur, proses demokratisasi secara bersama-sama. Mengutip Koordinator Nasional Jaringan Gusdurian Alissa Wahid, Gus Dur sudah meneladankan, saatnya kita melanjutkan.
Oleh karena itu, humor tak perlu dipertentangkan sedemikian rupa sehingga melahirkan represi. Bahkan sebaliknya, humor justru harus terus hidup dan dihidupkan. Sebab, ia merupakan tabib yang akan terus merawat dan meruwat demokrasi kita kala sedang sakit. Anggapan ia menjadi peruwet demokrasi harus dilawan kita sebagai orang-orang yang masih merasa waras. Jika tidak, pembiaran kita menyebabkan penyakit bangsa ini tidak akan pernah sembuh dan demokrasi yang dicita-citakan tidak akan pernah tercapai.
*Tulisan ini merupakan 1 dari 10 esai terpilih Lomba Menulis Esai #HarlahGusDur bertema “Kita Butuh Islam Ramah, Bukan Islam Marah”, hasil kerja sama gusdurian.net, islami.co, dan nu.or.id.