Teman-teman PCINU Belanda menggagas festival kesenian yg dinamai “Festival Islam Kepulauan” yang berlangsung dari 1 hingga 20 Mei 2024. Banyak acara yg diadakan dalam festival ini, salah satunya Islam Summit.
Sejumlah tokoh Islam di Belanda dan Eropa diundang, dua di antaranya adalah Shaikh Husamuddin Meyer, seorang mursyid Naqsyanadiyah dari Wiesbaden, Jerman, dan Syaikh Paul Salahuddin Armstrong, juga pengikut Naqsyabandiyah dari Inggris. Acara ini diadakan di Museum Bronbeek, Arnhem, pada 4 Mei.
Semula saya ingin ikut acara ini, tetapi gagal karena terlambat mengurus visa. Saya baru mendapatkan visa sehari sebelum acara itu, sehingga saya putuskan untuk tidak mengikutinya.
Acara lain yang juga menarik dalam rangkaian festival ini adalah pameran lukisan yang berlangsung pada 11 Mei di tempat yg sama: Museum Bronbeek. Ada empat pelukis yang ikut: Gus Mus, Nasirun, Jumaldi Alfi, dan Tisna Sanjaya.
Pameran ini dikuratori oleh Mas Ucok alias Aminuddin Th Siregar, dosen seni rupa ITB yg sedang menyelesaikan pendidikan doktoral di Leiden dan pernah menjabat sebagai Ketua Lesbumi NU Belanda.
Ada pula Mas Hairus Salim yg bertindak sebagai co-kurator dan pemandu bagi para pengunjung untuk melihat lukisan2 yg dipamerkan. Setelah itu diadakan diskusi yang amat menarik, dipandu oleh Mas Ucok.
Salah satu isu yang muncul dalam diskusi di Museum Bronbreek itu adalah soal dekolonialisasi. Dalam diskusi terpisah dengan Mas Adrian Perkasa, mahasiswa doktoral di Leiden Uni dan dosen Unair, saya dapat informasi bahwa tema dekolonialisasi ini menjadi bahan percakapan yang hangat di Belanda saat ini.
Dekolonialisasi memang merupakan tema besar saat ini. Pokok soal yang dipercakapkan kurang lebih seputar berakhirnya era kolonialisme pada tahun 50an dan 60an yang ternyata tidak berarti berakhirnya kolonialisme dalam pengertian sesungguhnya.
Sisa-sisa kolonialisme dalam pelbagai bentuknya terus bertahan hingga sekarang, karena masih bertahannya pola pikir lama tentang Eropa/Amerika sebagai pusat dan negeri-negeri lain di bagian Selatan sebagai “pinggiran”.
Di rumah Mas Adrian di Leiden, kami mendiskusikan tema ini kembali, disertai dengan semangkuk bakso yg lezat. Hujan turun di luar. Tetapi cuaca cukup hangat.
Saya sendiri, dengan jujur, mengatakan pada Mas Adrian bahwa dekolonialisasi ini jangan sampai membawa kita kepada kecintaan berlebihan pada budaya sendiri seraya menutup diri dan membenci budaya lain, terutama budaya dan peradaban Barat yang selama ini menjadi sasaran kritik para penganjur teori dekolonialisasi.
Saya sendiri, hingga sekarang, masih mengagumi Barat, terutama dalam pengelolaan negara dan penataan kota. Setiap berkunjung ke kota-kota di Eropa, terutama Leiden saat ini, saya selalu kagum pada cara bangsa Eropa ini mengelola “ruang hidup” sehari-hari: kota begitu tertib, bersih, transportasinya begitu bagus dan sangat bisa diandalkan, taman-taman hijau bertebaran di seluruh pojok kota, museum dengan pelbagai jenisnya ada di mana-mana, dsb.
Dalam penataan ruang hidup, saya kira Eropa adalah contoh yang bisa dipelajari. Ini tidak berarti bahwa Eropa adalah “utopia” dan sorga yang sempurna. Sama sekali tidak. Banyak kekurangan di sana-sini. Dalam aspek-aspek spiritualitas dan “kedalamam rohani”, Eropa memiliki banyak kekurangan, bahkan krisis. Tetapi ini tidak berarti Eropa harus disangkal sama sekali, bahkan ditolak.
Saya tidak setuju dengan “dekolonialisasi” yang menyangkal Eropa atau Barat. Dekolonialisasi, di mata saya, akan bermanfaat dan bermakna jika dilakukan dalam kerangka dialog antara budaya kita sendiri dengan Barat. Mengagumi budaya sendiri seraya menyangkal kemoderenan bisa berujung pada “atavisme” yg berbahaya.
Salah satu warisan penting peradaban Islam adalah semangat kosmopolitanisme dan sikap terbuka (al-infitah) kepada dunia luar. Di tahun 80an ada istilah yang dipopulerkan oleh Amin Rais dan berasal dari Jalal a-le Ahmad, seorang intelektual Iran: “gharbzadegi” (keracunan Barat atau “westoxification”).
Saya agak kurang sepakat dengan istilah ini, karena semangatnya yang cenderung menyangkal “yang lain”. Saya tahu, istilah mungkin tepat dan relevan dalam konteks Iran di zaman Shah Reza Pahlevi yang mengalami “pembaratan ekstrem”. Istilah ini adalah reaksi atas situasi yang “kebablasan”. Dan memang, setiap situasi ekstrem akan melahirkan keekstriman yang lain.
Setelah beberapa hari di Belanda, siang ini kami akan bergerak ke Belgia, naik bus dari stasiun Den Haag Centraal. Butuh waktu sekitar 3 jam untuk mencapai Brussels. Saya akan menginap di rumah Mas Bahtiar Hasan, Rois Syuriyah PCINU Belgia. Dia ini anak Bugis yg amat cerdas dan sudah bertahun-tahun bekerja di Belgia dlm bidang biostatistik. Insyaallah kami akan dijemput isterinya, Mbak LeLy N Tiar.
Terima kasih kepada teman-teman di Belanda yang telah menjamu kami selama di sana, terutama Mas Nur Ahmad yang telah memberi tumpangan kamar secara gratisan, Mas Ikhwan Zein (puteranya Pak Mahfud MD yang sedang belajar di Amsterdam) yang menjemput kami dari bandara, Kiai Nur Hasyim Subadi yang memberi tumpangan selama di Den Haag (di masjid al-Hikmah), Mas Ahmad Afnan Anshori dan isterinya, Mbak Zaimah Sa’diyah, yang menemai jalan-jalan selama di Belanda, Mas Syafiih Kamil dengan resto masakan indonya di Belanda, dan Mas Adrian Perkasa yang telah menjamu kami dengan obrolan yang mengasyikkan plus hadiah buku yang menemani perjalanan kami ke Belgia.
Insyaallah akan kembali ke taman-taman Leiden di lain kesempatan untuk JJS.