Luas wilayah Indonesia lebih dominan perairan ketimbang daratan. Bila diasumsikan secara sederhana luas daratan yang kita punya hanya tiga puluh persen. Sisanya merupakan wilayah perairan. Secara keseluruhan luas daratan maupun lautan Indonesia menurut kementerian koordinator bidang kemaritiman dan investasi adalah 8.300.000 Km2, dengan perbandingan satu banding tiga. Tentunya dengan kreatif dan inovatif, aktivitas-aktivitas pembangunan, ekonomi, sosial difokuskan ke wilayah perairan.
Uniknya, jumlah penduduk Indonesia menempati peringkat keempat terbanyak di dunia. Dalam hal ini Pulau Jawa merupakan pulau yang paling padat dihuni penduduk dibandingkan pulau-pulau lainnya. Anehnya, dengan wilayah daratan yang lebih kecil, beberapa aktivitas yang bisa disebut penghancuran lahan masif terjadi, yang paling mencolok sudah tentu deforestasi.
Pengertian deforestasi menurut ilmu kehutanan dimaknai sebagai situasi hilangnya tutupan hutan beserta atribut-atribut nya yang berimplikasi pada hilangnya struktur dan fungsi hutan itu sendiri.
Penyebab deforestasi terbagi ke dalam dua kelompok, yaitu penyebab langsung (direct causes) dan penyebab dasar atau tidak langsung (indirect causes). Penyebab langsung didefinisikan sebagai aktivitas yang berdampak langsung dalam perubahan tutupan hutan, lebih jelasnya adalah kegiatan pembukaan hutan dan pemanenan kayu hutan alam. Penyebab dasar atau tidak langsung adalah kekuatan nasional atau daerah yang dapat mendorong terjadinya kehilangan hutan, terutama pada tataran kebijakan pemerintah dan penyalahgunaan wewenang.
Dalih alih fungsi lahan menjadi “biang kerok” kehancuran hutan sampai saat ini, di mana swasta maupun korporasi yang ditopang oleh investor asing adalah pemeran utamanya. Gembar-gembor jargon dan slogan para penguasa pada saat kampanye tertunduk di hadapan pemodal.
Pada prinsipnya, ada tiga hal yang menyebabkan terjadinya degradasi atau kerusakan lingkungan. Yang pertama adalah adanya eksploitasi berlebihan terhadap sumberdaya alam baik yang terbaharui maupun yang tak terbaharui, yang meliputi eksploitasi bahan bakar fosil, eksploitasi hutan untuk bahan bakar kayu, dan alih fungsi hutan untuk lahan pertanian dan industri. Yang kedua adalah terjadinya pembebanan terhadap alam yang melebihi kapasitas atau daya dukungnya, misalnya adanya akumulasi berlebih dari logam berat di tanah dan terlalu tingginya konsentrasi gas rumah kaca di udara. Yang ketiga adalah terus berlangsungnya pengrusakan ekosistem untuk berbagai kepentingan manusia, misalnya untuk lahan pemukiman penduduk, tanaman industri dan berbagai pembangunan infrastruktur (Bruhl dan Simonis 2001).
Tak heran jika kepunahan beberapa jenis makhluk hidup, munculnya badai tropika, kekeringan dan banjir, hilangnya keragaman hayati (biodiversity) serta berbagai bencana lain menjadi ancaman menakutkan yang sering mengintai.
Kemajuan zaman serta kecanggihan teknologi bukan merupakan jaminan bahwa “manusia modern” dapat menjaga alam dengan baik. Hal ini sesuai dengan ayat Allah SWT dalam Al-Qur’an surat Ar-Rum ayat 41 yang artinya: “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut karena perbuatan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (dampak) perbuatan mereka, semoga mereka kembali (ke jalan yang benar)”.
Celakanya, manusia modern sering cuek dan masa bodoh bila diajak merawat alam, khususnya pembalakan hutan serta pengerusakan-pengerusakan lainnya.
“Ibu bumi wes maringi”
“Ibu bumi dilarani”
“Ibu bumi kang ngadili”