Akun youtube Zavilda TV memancing polemik publik. Baik di twitter ataupun di Instagram, tidak sedikit akun yang menggugat konten produksi Zavilda TV karena diduga melakukan pemaksaan berjilbab.
Ketika beberapa waktu lalu kita menggugat pemaksaan penggunaan jilbab di ranah pendidikan, lalu melihat konten Zavilda TV masih merasa baik-baik saja, bukankah itu sama saja melanggengkan perbuatan orang lain yang sedang mencuri otoritas Tuhan?
Terus terang saya cukup geram dan kesal menyaksikan bagaimana video tersebut mempertontonkan banalitas orang agama.
Baru lihat. Serem banget 😣😣 https://t.co/Lg5cFF1nEq
— Kalis Mardiasih (@mardiasih) August 27, 2022
Sebagai perempuan yang lahir tahun 90-an, saya merasakan betul bagaimana kewajiban berjilbab di sekolah tidak seperti sekarang. Paling tidak, saya melihat kakak-kakak SMP dan SMA, bebas memilih untuk berjilbab atau tidak.
Saya suka sekali melihat di balik jendela rumah, ketika siang hari, ada banyak siswa dan siswi pulang sekolah, dengan beranekaragam pakaian. Wacana tentang pendisiplinan tubuh melalui pakaian, sama sekali tidak terpikirkan pada waktu itu. Ibu dan bapak pernah bertanya tentang pakaian apa yang akan saya kenakan suatu saat nanti ketika berada di SMP atau SMA.
“Senyamannya aja nanti,” jawab seorang anak kecil yang secara spontan sedang berhadapan dengan orang tua.
Namun, pada saat saya mengenyam pendidikan di sekolah dasar, ibu sudah membelikan pakaian panjang beserta jilbab. Kata ibu, jenis pakaian ini cocok untuk tubuh dan wajah saya.
Akhirnya, saya menjadi satu-satunya orang di sekolah yang berjilbab. Apakah saya merasa terpaksa dengan upaya yang dilakukan oleh orang tua? Justru tidak. Dalam pikiran anak kecil yang sedang berumur 7 tahun, saya suka dengan penampilan berbeda itu.
Saya nyaman dengan pakaian tertutup karena tidak kepanasan. Waktu itu, jarak antara sekolah dengan rumah jauh sekali. Mengayuh sepeda ontel sangat melelahkan. Kadang, kalau pas pulang sekolah jilbab itu saya lepas supaya tidak gerah.
Di balik pembiasaan itu, saya justru berpikir tentang pola yang cukup unik yang ditampilkan oleh orang tua. Bapak dan ibu saya mengenalkan dengan cukup komperehensif tentang menutup aurat. Sebagai konsekuensi, aya pun jadi antusias dengan pembiasaan yang saya lakukan sejak kecil.
Tidak pernah sedikitpun ada kalimat yang muncul dari ucapan ibu bahwa saya harus mengenakan jilbab. Praktik tersebut saya maknai sebagai salah satu upaya penanaman akidah yang dilakukan oleh orang tua sebagai masyarakat muslim.
Lambat laun, sampai hari ini ketika sudah dewasa, pola pakaian seperti apapun, baik penggunaan jilbab ataupun penggunaan pakaian, orang tua tidak pernah protes, yang penting sopan.
Sejalan dengan itu, pilihan untuk berjilbab seperti yang sudah diajarkan oleh orang tua sejak kecil itu saya jadikan pedoman hidup. Persoalan berapa panjang baju dan ukuran jilbab yang saya kenakan, orang tua tidak pernah protes.
Satu hal yang masih saya ingat dari kalimat seorang ibu yang tidak pernah mengenyam pendidikan. Mereka bilang, setiap perempuan itu baik, jangan pernah menilai dari penampilannya.
Sambil memegang segumpal nasi, lalu memasukkan makanan ke mulut saya, ibu berbicara pada waktu itu dengan berkaca-kaca, mengingat kejadian kemarin, si Ani, anak gadis Ibu Silvi, muslimah yang menggunakan pakaian syar’i, rumahnya bersebelahan dengan kami, baru dipukul orang tuanya karena hamil di luar nikah. Berita itu geger seantero kampung.
Saya tidak ingin mendebat tentang kewajiban berjilbab dalam agama. Diskusi tentangnya telah selesai pada masing-masing hidup masyarakat muslim, baik laki-laki dan perempuan.
Namun, pemaksaan jilbab yang dilakukan untuk tujuan komersil itu jelas melanggar kebebasan berekspresi beragama setiap orang. Kasus Zavilda TV adalah suatu perbuatan yang sangat tidak manusiawi untuk dilakukan oleh seorang muslimah.
Lagian, apa tujuannya memaksa orang lain untuk berjilbab? Toh, kalau mau masuk surga, tidak perlu memaksa. Lebih dari itu, siapakah yang bisa menjamin orang berjilbab masuk surga? Situ panitia surga?
Berjilbab atau tidak, adalah pilihan secara sadar yang dilakukan oleh masing-masing perempuan. Kita perlu melihat fenomena itu sebagai keragaman pemahaman, budaya yang terinternalisasi pada setiap orang.
Baik atau buruk seorang perempuan, tidak bisa diukur hanya dari salah satu aspek saja, yakni berjilbab. Ada banyak aspek yang bisa dilihat dalam aspek manusia untuk melihat seseorang baik atau tidak.
Baca juga, Sejarah Panjang Jilbab dan Kuasa atas Tubuh Perempuan
Kalau memang tujuannya adalah dakwah, Rasulullah sendiri tidak pernah mengajarkan dakwah dengan cara memaksa. Sebaliknya, Nabi SAW justru mengajarkan pendekatan persuasif lewat keteladanan dan mendahulukan sikap damai dalam menyuarakan kebenaran.
Lagipula, Islam menganjurkan untuk berlomba-lomba dalam berbuat kebaikan, bukan berlomba-lomba untuk memaksa orang lain berbuat kebaikan. Menggunakan jilbab adalah perbuatan yang baik. Tapi, memaksa orang lain untuk berjilbab bukanlah perbuatan mulia. Wallahu a’lam