Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) adalah organisasi yang didirikan para tokoh pesantren dan aktivis sosial untuk mengembangkan pemikiran keislaman dan pemberdayaan masyarakat pesantren di Indonesia.
Untuk merespon persoalan pesantren dan kondisi sosial politik kontemporer, P3M akan menyelenggarakan kegiatan Halaqah Nasional Pengasuh Pesantren di Pondok Pesantren Al-Muhajirin Purwakarta Jawa Barat pada tanggal 22-24 September, yang akan dihadiri oleh sekitar 1000 pengasuh pesantren dari berbagai daerah seluruh Indonesia.
“Acara ini juga akan dihadiri oleh tokoh nasional, di antaranya Presiden RI, Menkopolhukam Mahfud MD dan Ketua Umum PBNU KH. Yahya Cholil Staquf, Kapolri, dan lain-lain,” tutur Nyai Ifa Faizah, mewakili panitia dari pesantren al-Muhajirin Purwakarta.
Pada halaqah nasional tersebut akan dibahas permasalahan terkait kemandirian pesantren, di antaranya inkubasi bisnis pesantren dan keadilan pajak bagi pesantren.
“Halaqah juga akan membahas masalah kebangsaan, antara lain: etika politik kyai, strategi pencegahan kekerasan berbasis agama, netralitas penyelenggara dan aparat dalam pemilu, stabilitas nasional, dan pengembangan wawasan kebangsaan melalui kurikulum pesantren,” imbuh Nyai Ifa Faizah.
Keadilan Pajak untuk Pesantren
Di tengah gencarnya ajakan pemerintah agar masyarakat patuh membayar pajak, satu isu kontroversial mengemuka, yakni kebijakan Tax-Holiday atau pembebasan pajak bagi investor asing di sejumlah sektor strategis, termasuk pembiayaan IKN.
Dasar hukum Tax-Holiday di Indonesia adalah UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, PMK Nomor 130 Tahun 2011 tentang Pemberian Insentif atau Pengurangan Pajak Penghasilan Badan, dan PMK No. 130 Tahun 2020 tentang Pemberian Fasilitas Pengurangan Pajak Penghasilan Badan.
Melalui kebijakan tersebut, Pemerintah bersikukuh, kebijakan Tax-Holiday ini mampu mendongkrak investasi dan menyerap lapangan kerja demi kesejahteraan rakyat. Akan tetapi, banyak ahli yang justru mempertanyakan efektivitas Tax-Holiday dalam menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Mengapa demikian? Sebab seringkali insentif fiskal ini justru dimanfaatkan perusahaan asing untuk meminimalkan pembayaran pajak di Indonesia. Praktik Tax-Holiday ini jelas berpotensi merugikan pendapatan negara, di satu sisi.
“Di sisi lain, muncul pertanyaan, mengapa pemerintah begitu gencar memberi insentif berupa Tax-Holiday kepada investor asing, sementara lembaga pendidikan seperti pesantren dan madrasah yang secara historis memiliki andil besar dalam mencerdaskan kehidupan berbangsa dan bernegara, malah diminta membayar pajak? Bukankah sudah selayaknya negara memberikan insentif serupa kepada pesantren agar lebih mandiri dan berdaya saing memberdayakan masyarakat?” tutur Sarmidi Husna selaku Direktur P3M. S
aat ini banyak pesantren diminta membayar pajak penghasilan (PPH) maupun pajak bumi dan bangunan (PBB) terkait aset dan aktivitas komersial yang dijalankan.
Tentu saja kebijakan ini menuai protes dari banyak kalangan. Pasalnya, selama ini pesantren dikenal sebagai lembaga nirlaba yang menjadi tiang pendidikan umat Islam Indonesia. Ribuan pesantren tersebar di pelosok Nusantara menjadi benteng moral dengan andil besar mencerdaskan putra-putri bangsa.
“Negara seharusnya memberikan insentif serupa agar pesantren dapat mandiri dan terus berkontribusi membangun negeri melalui pendidikan. Apalagi mengingat peran vital pesantren sebagai pusat pengembangan nilai-nilai moderasi, toleransi dan cinta tanah air,” tambah Sarmidi Husna.
Fiqih Siyasah dan Etika Politik
Di sisi lain, Pemilu 2024 akan segera digelar. Sebagai lembaga Islam tertua di Indonesia, pesantren memiliki pengaruh signifikan dalam masyarakat. Dalam perhelatan Pemilu yang akan datang, para pengasuh dan kyai perlu lebih mengedepankan sosok sebagai teladan kesadaran dalam etika berpolitik untuk mencegah politisasi agama, politik identitas dan ujaran kebencian yang berpotensi bisa memicu konflik sosial.
Pengalaman praktik politik identitas dan politisasi agama dalam pemilu sebelumnya sangat berbahaya, karena dapat memecah belah kerukunan umat beragama dan antar golongan. Pesantren sebagai pusat pengembangan nilai-nilai toleransi dan kearifan lokal dituntut untuk menampilkan etika politik yang santun, bijak dan humanis.
Pesantren merupakan basis sosial-keagamaan yang sangat kuat di masyarakat Indonesia. Kharisma dan otoritas kyai masih dihormati oleh sebagian besar umat Islam Indonesia. Oleh karena itu, dukungan kyai terhadap calon atau partai tertentu kerap dimanfaatkan dalam pemilu. Namun, imparsialitas kyai penting untuk menjaga kredibilitas dan wibawa pesantren itu sendiri.
“Pasalnya, Indonesia tengah menghadapi ancaman polarisasi dan primordialisme yang cukup tajam. Politik identitas, politisasi agama dan ujaran kebencian meningkat tajam di media sosial”, imbuh Sarmidi Husna.
Di sinilah pesantren dan kyai dapat berperan sebagai kekuatan moderat yang meredam konflik dan mengedepankan persatuan bangsa. Sikap netral kyai akan memperkuat demokrasi sehat yang toleran terhadap perbedaan.
Melalui pendekatan keagamaan dan kebangsaan, para kyai diharapkan dapat meredam potensi konflik sosial dan menjaga keutuhan NKRI menjelang dan paska Pemilu 2024. Dengan demikian, pesantren dapat memainkan peran vital dalam menjaga stabilitas nasional di tengah gejolak politik yang semakin memanas.
Oleh karena itu, menurutnya, sudah saatnya pemerintah meninjau ulang kebijakan perpajakan agar lebih berkeadilan sosial. Sebagai bentuk afirmasi, insentif seperti Tax-Holiday sebaiknya diberikan kepada pelaku usaha kecil dan lembaga strategis seperti pesantren, bukan hanya kepada korporasi asing.
“Pesantren dan kyai perlu mengedepankan etika politik luhur demi mewujudkan demokrasi yang sehat dan mensejahterakan rakyat. Dengan kebijakan perpajakan serta etika politik yang adil dan bijaksana, Indonesia dapat mewujudkan cita-cita menjadi bangsa yang maju, mandiri dan sejahtera,” pungkas Sarmidi.
(AN)