Sebagai seseorang yang senantiasa terhubung dan dibimbing langsung olehNya, Nabi sebetulnya punya kemampuan, privilege, dan kesempatan untuk, katakanlah, memonopoli Klaim Kebenaran Tunggal.
Tetapi, juga tentu atas bimbinganNya, Nabi dalam berbagai kesempatan justru menunjukkan tidak hanya apresiasi, tetapi juga legitimasi terhadap perbedaan.
Misalnya, ketika Abu Bakar dan Umar berbeda pendapat soal shalat malam. Abu Bakar melakukannya sebelum tidur, Umar memilih tidur dulu. Nabi bisa saja hanya membenarkan salah satu, baik Abu Bakar atau Umar pasti akan menerima, tapi Nabi memilih mengapresiasi dan membenarkan keduanya.
Ketika Nabi mengutus Muadz bin Jabbal ke Yaman, Nabi mewanti-wanti agar jika Muadz menemukan hal-hal baru maka Muadz diminta melakukan ijtihad. Jika ijtihadnya salah dapat satu pahala, jika benar dua pahala.
Dengan kata lain, ijtihad dilegitimasi oleh Nabi sendiri. Tentu Nabi sadar bahwa beda orang beda pemikiran dan ijtihad akan sulit untuk berakhir hanya pada satu kesimpulan, pada satu Klaim Kebenaran, sehingga Nabi menegaskan bahwa ikhtilaf, diversitas, kebhinekaan, itu rahmat. Karena ia rahmat, maka ia tidak usah dibentur-benturkan, dijadikan sumber percekcokan dan perkelahian.
Sayangnya, beberapa dekade belakangan muncul upaya pembaruan yang cupit-pikiran, yang merasa hanya pendapatnyalah yang paling benar. Atas dasar kegeeran itu mereka memonopoli Klaim Kebenaran Tunggal dan dengannya menganggap yang berbeda dengan mereka sebagai munafik, ahlul bid’ah, dan kafir.
Begitu kuatnya pengaruh ini sampai ada yang menolak menshalati jenazah muslim hanya karena beda pilihan politik, hingga ulama yang beda tafsir satu-dua ayat dikafir-kafirkan, dibully, difitnah.
Agak lucu jadinya ketika orang-orang ini mengklaim berhijrah kepada Muhammad, tetapi bertingkahlaku yang kontradiktif dengan Muhammad. Agak lucu ketika Rasul merangkul perbedaan, mereka malah alergi habis-habisan. []
Salam,
Irfan L. Sarhindi
Penulis “Mencintai Muhammad”, penggiat Salamul Falah