Pada 2013, mama saya bergabung dalam pengajian komunitas salafi dan mulai menggunakan niqab. Sebuah keputusan yang sempat—atau barangkali hingga sekarang masih—bikin geger keluarga. Saya anggota keluarga yang paling pertama menyatakan tidak keberatan pada keputusan mama berniqab. Saya pula yang pertama bersedia mengantarnya pergi ke tempat pengajian.
Alasan saya sederhana, jika saya tidak mempersoalkan perbedaan agama bahkan atheisme, mengapa saya harus mempersoalkan keputusan mama saya berniqab? Teman saya banyak yang beragama lain dan menyatakan tidak mempercayai tuhan (baik karena sistem negaranya maupun pencariannya sendiri), mengapa saya harus berkeberatan pada cara mama saya merayakan apa yang ia yakini benar?
Tentu ini proses penerimaan yang penuh dengan tarik-ulur. Ada kalanya saya merasa tidak sreg dengan apa yang diajarkan pengajian salafi pada mama saya. Kadang saya juga jengkel ketika saya dikeluhkan “selalu membaca buku-buku komunis yang tidak ada ruh-nya” oleh mama. Kok pilihan bacaan saya tidak diterima olehnya padahal saya dapat menerima pilihan mama berniqab. Tapi ya begitulah hidup. Seringkali kan tidak berjalan mulus dan ideal seperti yang kita harap.
Kasus mama saya ini bertolak-belakang dengan asumsi rezim-rezim sekuler barat yang menganggap seorang muslimah menutupi kepala dan wajahnya lantaran kekangan komunitas agamanya. Harus diakui memang ada sebagian muslimah yang menutupi kepalanya lantaran kekangan komunitas. Namun dalam kasus mama saya, sebagian besar keluarga malah keberatan dengan keputusannya berniqab. Masyarakat sekitar pun jarang yang mengenakan niqab. Jadi mama saya berniqab bukan karena kekangan keluarga atau masyarakat. Tempat pengajian pun dia yang pilih sendiri. Poin saya, ada beragam alasan para muslimah mengenakan atau tidak mengenakan penutup kepala.
Namun banyak media massa tidak mau ambil pusing, atau justru ikut ambil bagian dalam meneguhkan narasi yang menggambarkan kaum muslimah sedunia sebagai kemonotonan yang tertindas dan butuh dibebaskan. Sila buka laman pencari gambar Google, lalu ketik “muslim women” dalam kolom pencarian. Saat saya membukanya sebelum menulis catatan ini, sepuluh dari 15 gambar pertama menampilkan perempuan dari jazirah Timur Tengah lengkap dengan burqa atau niqab.
Rasanya tidak berlebihan jika gambar-gambar yang ditampilkan mesin pencari Google ini disebut sebagai bentuk pembunuhan karakter terhadap kaum muslimah sedunia. Warna-warni busana kaum muslimah sedunia dihilangkan oleh Google Image, dianggapnya sebagian besar muslimah dunia menutupi wajah dengan burqa atau niqab berwarna hitam.
Padahal dalam penelitian yang dipublikasikan PEW Research pada 2014 tentang pakaian yang dianggap paling pantas bagi perempuan muslim, hanya dua persen menjawab burqa dan delapan persen menjawab niqab. Sisanya menjawab chador, jilbab, kerudung, atau tidak menutup kepalanya sama sekali. Penelitian PEW Research ini hanya melingkupi negara-negara Arab dan tidak menyertakan Indonesia. Jika Indonesia masuk, presentasi mereka yang menganggap burqa dan niqab adalah penutup aurat yang paling kaffah mungkin akan lebih terkikis lagi.
Bagi saya, gambar-gambar yang ditampilkan Google tentang kaum muslimah hanya salah satu dari banyak kesalahpahaman media terhadap kaum muslimah. Akibat kesalahpahaman yang terus direplikasi ini, warga dunia global di luar komunitas muslim jadi menyeragamkan kaum muslimah sebagai kaum tertindas yang dipaksa menutup rambut dan wajahnya. Banyak yang bahkan tak peduli pada bedanya kerudung, jilbab, chador, atau bentuk penutup kepala lain. Seolah-olah semua muslimah itu dalam posisi tertindas hanya karena dia memeluk Islam—dan harus “dibebaskan” dengan cara dipisahkan dari nilai-nilai Islam yang ia yakini.
Pelarangan burkini di pantai-pantai Prancis yang ramai diberitakan minggu lalu merupakan salah satu akibat dari kesalahpahaman akut terhadap kaum muslimah. Rezim sekuler secara sepihak dan sembrono “membebaskan” muslimah dari penutup kepala yang dianggap simbol ketertindasannya.
Ada dua permasalahan mendasar dari pelarangan burkini. Pertama, kedangkalan rezim sekuler yang—dengan cara yang paling serampangan—menyamakan cara berpakaian sebagian muslimah sebagai wujud ketertindasannya. Di sini rezim sekuler yang mengaku berjalan seiring dengan demokrasi dan kebebasan malah membungkam narasi kaum muslimah yang menjalankan keyakinannya. Artinya, pelarangan menggunakan simbol keyakinan yang dilakukan rezim sekuler sama tidak demokratisnya dengan mewajibkan penggunaan simbol agama yang dilakukan rezim teokratik.
Kedua, pelucutan paksa burkini juga menandakan betapa perempuan tidak diperhitungkan agensinya untuk berposes secara mandiri. Saya tidak menafikkan keberadaan muslimah yang mengenakan penutup kepala dan/atau penutup wajah lantaran dipaksa oleh lingkaran sekitarnya, entah itu negara, masyarakat, atau keluarga.
Dalam konteks semacam ini pun pelucutan paksa bukanlah “pembebasan”, bukan jawaban demokratis. Pelucutan paksa justru dapat memperparah keterisolasian muslimah yang dipaksa menutup kepalanya. Muslimah dalam konflik batin harus diterima sebagaimana adanya, dihormati untuk berposes secara mandiri sebagai agen bagi dirinya sendiri yang utuh dan sadar. Tidak ada metode instan atau jalan pintas untuk konteks semacam ini.
Dengan menyadari dua permasalahan mendasar (terutama permasalahan mendasar kedua) dari pelucutan paksa burkini oleh rezim sekuler, kita dapat lantang menolak pelucutan paksa sebagai tindakan yang berkecenderungan fasis namun di sisi lain kita juga mengakui adanya sebagian muslimah yang masih terkekang oleh paksaan menutupi kepalanya. Jika kita tidak mendiskon konteks dan pengetahuan, kita dapat bersikap kritis baik terhadap rezim yang melucuti dengan paksa atau rezim yang menutupi dengan paksa. []
Azhar Isfansyah, alumnus Hubungan Internasional FISIPOL UGM.