Saat ini fenomena hijrah digemari banyak orang. Bahkan, menjadi ajang festival (salah satunya, acara Hijrah Fest 2018). Orang yang berhijrah mempunyai beraneka ragam cara memulainya. Pertama, dari persepsi dirinya sendiri, ia mengevaluasi diri sendiri kemudian merasakan ada sesuatu yang kurang, kemudian melakukan hijrah. Kedua, mereka yang hijrah berangkat dari persepsi orang tentang hijrah, yang lebih banyak menyangkut simbol. Misalnya, yuk berhijrah dengan memakai hijab syar’i, berhijrah dengan memanjangkan jenggot, atau berhijrah dengan menggunakan simbol sapaan bahasa Arab, akhi-ukhti, afwan, serta banyak contoh lainnya.
Nah, kali ini penulis akan mengajak untuk memulai hijrah melalui cara yang pertama, yaitu melalui pengetahuan tentang diri sendiri. Abu Hamid bin Muhammad bin Muhamad al-Ghazali dalam kitab Kimya’us Sa’adah mengatakan, mengenal diri (ma’rifatun nafs) adalah kunci mengenal Allah Swt. Kenapa harus mengenal diri sendiri? Bagi penulis, diri sendiri yang melekat pada kita, tanpa mengenali diri sendiri akan sulit mengenal Allah Swt. “Gajah di pelupuk mata tidak kelihatan, sedangkan kuman di seberang lautan kelihatan.” Semboyan itu juga bisa menjadi landasan, kenapa penting untuk hijrah dengan memulai dari diri sendiri. Hijrah dengan mengenali diri sendiri, agar ketika kita hijrah tidak mudah menyalahkan orang lain atau mudah mengafirkan orang lain.
Sebelum kita mengikuti persepsi orang lain tentang hijrah—yang diidentikkan dengan simbol—lebih baiknya mengenali diri sendiri terlebih dahulu. Mengenal diri sendiri, dapat dilakukan melalui beberapa persepsi diri, refleksi, ataupun perbandingan sosial. Kenrick et al. (2002:43), menyatakan ada tiga macam sumber pengetahuan diri.
Pertama, seperti yang ditulis oleh Bem (1972) tentang teori persepsi diri yaitu self-perception process. Pada proses ini, bisa mempersepsikan dirimu dengan melihat perilaku-perilaku yang kamu tunjukkan sehari-hari. Orang bisa mengatakan kamu sebagai orang baik, apabila suka menolong orang lain tanpa memandang ras, suku dan agama. Begitu juga sebaliknya, orang bisa mempersepsikan kamu sebagai orang jahat apabila sering menebar kebencian karena perbedaan agama, bahasa atau budaya.
Penilaian orang lain atas perilakumu bisa menjadi landasan hijrah untuk menuju perilaku yang lebih baik. Misalnya, hari ini kamu masih melakukan penghakiman terhadap kepercayaan orang lain, mengatakan kafir, bid’ah hanya karena benci dengan keyakinannya. Kamu bisa hijrah untuk melakukan perilaku yang lebih baik lagi, misalnya menghargai perbedaan keyakinan orang lain.
Kedua, dikenal sebagai a reflected appraisal process (Mead, 1934; Sullivan, 1953, dalam Brehm dan Kassin, 1996). Pada proses ini, kamu bisa melakukan refleksi diri (berkaca) dengan mengobservasi atau berimajinasi terhadap apa yang dikatakan orang lain tentang diri sendiri. Pada proses ini, kamu sama halnya sedang bercermin di depan kaca untuk memandang apa yang ada dalam dirimu. Ketika bercermin, pastilah akan tampak apa yang ada dalam dirimu. Kamu bisa meminta bantuan orang lain untuk melihat dirimu, termasuk perilakumu selama ini.
Cara pertama dan kedua, memiliki kemiripan yaitu sama-sama memengaruhi seseorang dalam memandang dirinya sendiri. Cara pertama kamu bisa mengetahui dirimu atas perilaku yang kamu lakukan sehari-hari. Sedangkan cara kedua, kamu bisa meminta bantuan orang lain untuk menilai dirimu. Misalnya, ketika banyak orang mengatakan bahwa perilakumu banyak menyimpang dari etika sosial dengan melakukan kekerasan terhadap orang lain. Penilaian banyak orang tentang dirimu tersebut, bisa direnungkan dan menjadi bahan hijrah.
Terkadang, banyak orang melakukan ujaran kebencian karena merasa khawatir dengan kepercayaannya ternodai. Atau melakukan ujaran kebencian terhadap kelompok lain, karena merasa kebenaran pada dirinya sendiri dan kelompoknya. Orang semacam itu kalau tidak melakukan introspeksi diri atas perbuatan ujaran kebenciannya, ia tidak akan merasa bersalah dan kecil kemungkinan untuk melakukan hijrah agar tidak melakukan ujaran kebencian lagi.
Ketiga, adalah perbandingan sosial. Pada proses ini, kamu bisa membandingkan kemampuan, sikap, atau perilakunya dengan orang lain. Orang akan mengatakan dirinya berperilaku buruk apabila orang-orang di lingkungannya berperilaku baik. Orang tidak mengatakan dirinya buruk, pandai dan baik apabila tidak ada perbandingannya.
Sesekali kamu harus melihat perilaku orang lain untuk membandingkan dengan perilakumu sendiri. Pada proses ini, memang kita harus berpikiran luas, jangan menganggap bahwa diri kita sebagai satu-satunya entitas kebenaran. Mari kita mengevaluasi diri dengan membandingkan perilaku orang lain yang lebih baik.
Hijrah bukan hanya persoalan atribut atau simbol. Memang, atribut menjadi hal yang mudah terlihat oleh banyak orang, dan mudah untuk dilakukan. Dari yang tidak pernah memakai hijab kemudian berhijab, begitu juga seterusnya. Ada hal aspek lain yang harus diperhatikan ketika berhijrah, yaitu perubahan perilaku dan cara pandang yang baru. Awalnya kita membenci perbedaan, membenci keyakinan orang lain, dan suka menyalahkan orang lain, maka kita bisa berhijrah untuk meyakini bahwa perbedaan adalah rahmat dan karunia Tuhan. Dan, kita bisa hidup bersama-sama tanpa harus saling mencela dan merendahkan yang lain.
Perhelatan hijrah fest mungkin mudah dilakukan, dengan menarik banyak sponsor dan para ustadz-ustadz seleb. Lalu bagaimana dengan perjumpaan dan saling mengenal satu sama lain antar sesama umat Islam saat ini? Bila melihat di sosial media, sepertinya kita perlu melakukan banyak perjumpaan dan silaturrahim (face to face), supaya kemarahan dan luapan emosi belakangan yang terjadi tidak semakin menggunung. Wallahhu a’lam.
Nur Solikhin, Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Interdisciplinary Islamic Studies konsentrasi Psikologi Pendidikan Islam, dan Pegiat Komunitas Santri Gus Dur.