Antara Muslim Hijrah dan Muslim Pesantren, Apa yang Berbeda?

Antara Muslim Hijrah dan Muslim Pesantren, Apa yang Berbeda?

Antara Muslim Hijrah dan Muslim Pesantren, Apa yang Berbeda?
Seorang anak tertidur di samping kitab Amtsilatut Tashrifiyah di Tambakberas Jombang (foto: Elikragil)

‘Muhajirin’ merupakan terminologi yang disematkan pada orang-orang peminat aktivitas hijrah. Sebagaimana dijelaskan pada tulisan sebelumnya, aktivitas ini merupakan sebuah upaya untuk mengajak masyarakat muslim di kota untuk mengenal lebih dekat terhadap ajaran Islam, mulai dari yang wajib, sunnah, mubah, hingga haram. Dengan didampingi dan dibimbing ustadz, para muhajirin itu berusaha untuk senantiasa istiqamah atas setiap ajakan ustadznya, seperti ibadah-ibadah harian, penampilan dan model pakaian.

Meskipun berbeda dengan masyarakat Indonesia pada umumnya, terutama penampilan dan/atau pakaian, mereka tidak menggubris hal itu. Mereka mengerjakan sesuatu yang diyakini sebagai sebuah kebenaran, sebagaimana yang didakwahkan oleh ustadz mereka. Keyakinan tersebut lahir atas model dakwah para ustadz yang selalu menyitir nash (Al-Quran atau hadis) sebagai penopang argumen sehingga para jamaahnya semakin mantap untuk mengikuti dakwahnya.

Karena sebagaimana paradigma umat Islam pada umumnya bahwa Al-Qur’an dan hadis merupakan sumber utama dalam agama yang kebenarannya bersifat mutlak. Maka, ketika seorang ustadz mengutip keduanya atau salah satunya, masyarakat muslim akan langsung mempercayainya -apalagi masyarakat awam, seperti sebagian orang di kota.

Dengan begitu, para peminat hijrah makin percaya diri atas keyakinannya tersebut karena melihat model dakwah para ustadznya yang tampak selalu berpedoman pada Al-Qur’an dan hadis. Dengan metode pemahaman berdasarkan dalil nash, sehingga pemahaman tersebut ‘tampak’ benar dan tepat, meski disadari bahwa secara umum para muhajirin itu tidak akan mempertanyakan atau mengkritisi model pemahaman seperti itu.

Bukan karena merasa tidak etis atau masih tabu, tapi doktrin bahwa Al-Qur’an dan Hadis merupakan sumber utama ajaran Islam, sehingga apa saja yang tertera dari kedua sumber ini harus diyakini sebagai sebuah kebenaran absolut. Tak boleh dikritisi apalagi dibantah. Tidak perlu lagi melihat faktor eksternal yang melatari kelahiran sebuah nash, kecuali memang ada dasar Hadisnya. Maka dari itu, memahami nash dirasa cukup berdasarkan atas apa yang disuarakan. Bahkan, melalui cuitan di Twitter dengan lantang salah satu seorang ustadz dari mereka yang menegaskan bahwa memahami Al-Quran bisa melalui terjemahan.

Logika seperti itu menjadikan para jamaahnya tidak memiliki keberanian untuk menolak terhadap dakwah yang disampaikan sang ustadz. Tunduk dan patuh, serta konsisten untuk senantiasa mengerjakan ajaran dakwah ustadz menjadi komitmen yang tertancap di dalam sanubari. Model ibadah dan penampilan kerap kali menjadi tanda identitas mereka yang membedakan dengan kelompok Islam lainnya. Dengan berpijak pada bunyi nash, meskipun penampilan mereka terlihat asing bagi sebagian kalangan masyarakat muslim di Indonesia, mereka tidak memedulikan hal itu.

Meyakini sebagai sebuah kebenaran atas metode (manhaj) pemahaman seperti itu berimplikasi pada sikap eksklusif, sebuah sikap yang susah menerima kritikan dari yang lain. Sikap tersebut muncul akibat logika di atas, yang ditempa secara terus-menurus dengan disertai klaim kebenaran karena sudah menyandarkan setiap prilakunya pada nash.

Sebaliknya (mafhum mukhalafahnya), logika yang telah mengkristal tersebut akan menolak (bahkan bisa saja menyalahkan) secara otomatis akan ekspresi keagamaan yang seolah-olah tidak memiliki pijakan nash yang jelas nan tegas layaknya apa yang dilakukan mereka.

Hal tersebut akan berbeda cerita jika cara mempelajari agama tidak langsung mengkaji sumber utama tadi. Tapi dimulai dari kitab-kitab karya para ulama yang sudah memiliki kapasitas untuk mengkaji Al-Qur’an dan Hadis. Sebab melalui karya mereka lah orang awam akan terbantu untuk mengetahui dan memahami ajaran (normatif) Islam. Melalui karya-karya tersebut masyarakat muslim yang ingin mengenal lebih dekat terhadap sumber utama tersebut bisa lebih mudah.

Bagi orang pesantren, alur mempelajari syariat tidak bisa dengan hanya membaca Al-Qur’an dan hadis kemudian mencetuskan sebuah hukum, apalagi secara serampangan dengan tanpa seperangkat alat ilmu. Ditambah lagi dengan hanya berdasarkan terjemahan, yang kemudian dijadikan metode untuk menciptakan hukum.

Cara seperti ini, dapat dipastikan, menjadikan norma hukum yang diproduksi akan amburadul dan kacau. Ditambah dengan keyakinan yang melampaui batas, yang hakikatnya tidak memiliki pijakan yang kuat dan argumentatif. Biasanya, kalimat yang digunakan untuk membela pendapatnya berupa: “pokoknya kata Al-Qur’an/ hadis begini begini..

Oleh karena itu, pesantren selaku lembaga pendidikan yang memiliki orientasi memperdalam ajaran agama, para kiai tidak mencontohkan dan mengajak santri-santrinya untuk langsung mengkaji Al-Qur’an dan hadis secara langsung. Untuk bisa sampai mengkaji kedua kitab babon ajaran agama ini harus melewati proses yang sangat panjang. Tidak cukup setahun dua tahun. Bisa saja sampai di atas 10 tahun. Itu pun tidak semua santri dianggap layak untuk melangkah pada tahap tersebut.

Ketika baru masuk pesantren, biasanya para santri akan disuguhkan kitab-kitab tipis karya ulama terdahulu yang berisikan aturan-aturan dasar dalam beragama seperti akidah, fikih, dan ilmu alat selaku instrumen utama dalam memahami kitab-kitab tersebut. Pada kitab-kitab itu pun ada banyak tingkatannya. Jadi, para santri ditempa sedemikian lama demi mematengkan kualitas ilmu keagamaannya. Mereka diajak mengarungi samudra keilmuan yang terdapat dalam Islam. Mereka digodok secara bertahap guna menegaskan identitas mereka sebagai umat Islam dan orang Indonesia.

Maka, ekspresi keagamaan yang ditampakkan oleh orang pesantren cenderung berbeda dengan para aktivis hijrah tadi. Dalam ritual ibadah, misalnya, orang pesantren tidak begitu menggembor-gemborkan di depan publik.  Mereka hanya berusaha membiasakan diri untuk mengerjakan ibadah sejak usia dini, baik yang wajib maupun yang sunnah. Karena bagi orang pesantren, pada dasarnya ibadah merupakan pekerjaan yang berhubungan dengan Tuhan, sehingga tidak mesti dipublikasi di depan khalayak. Pun seandainya dengan niat mengajak dan/atau memberi teladan, lantas tidak dengan menganggap lebih baik ketimbang masyarakat muslim yang ibadahnya sekedarnya saja.

Termasuk juga dalam hal berpakaian. Orang pesantren tidak muluk-muluk soal ini. Bagi mereka, asal menutup aurat saja sudah cukup. Pembahasan batasan aurat sudah dibahas panjang lebar di dalam literatur klasik, yang menjadi makanan sehari-hari orang pesantren. Sehingga mereka mampu membedakan mana yang syari’at dan mana yang budaya, ‘sunnah’ mana yang berupa anjuran (sebagaimana dalam term usul fikih) dan yang hanya sekedar kebiasaan suatu masyarakat.

Maka dari itu, pimpinan pesantren, yang biasa disebut kiai dan bu nyai, jarang menentukan model pakaian yang mesti digunakan para santri, baik putra maupun putri. Selama sudah sesuai dengan aturan-aturan dasar syari’at dalam berpakaian, maka sah-sah saja digunakan. Biasanya, pakaian yang dipakai menyesuaikan dengan budaya masyarakat setempat.

Dengan tujuan memberikan kesadaran kepada para santri bahwa mereka sama dengan masyarakat yang tidak di pesantren, mereka berasal dari masyarakat yang akan kembali lagi pada masyarakat. Maka untuk diterima oleh masyarakat, para santri mesti mengikuti kebiasaan masyarakat dari hal-hal sederhana seperti model berpakaian, sehingga bisa peka atas persoalan yang dihadapi.

Seandainya terdapat sebagian kebiasaan masyarakat yang bertentangan dengan syari’at, termasuk dalam berpakaian, maka tugas santri untuk mengingatkannya, dengan cara-cara yang sebisa mungkin menghindari kegaduhan dan konflik. (AN)

Wallahu a’lam.