Gus Muwafiq kini sedang menjadi sorotan publik. Salah satu potongan ceramahnya tentang masa remaja Nabi Muhammad menuai kontroversi. Membelah publik di jagad media sosial menjadi dua: memberikan simpati/dukungan dan menolak sekaligus membully-nya. Hal serupa juga telah dialami oleh pendakwah lain semisal Ustaz Adi Hidayat, ustaz Abdul Shomad, KH. Said Aqil Siraj, ustaz Evi Effendi, dan lainnya. Dengan difasilitasi media sosial, kita kini disuguhi gebyar dakwah Islam sekaligus sisi gelap dunia digital yang tak pernah terpikirkan sebelumnya.
Apa yang kini menimpa Gus Muwafiq tersebut menyisakan tanda tanya besar tentang bagaimana otoritas keagamaan di media sosial dan terbelahnya masyarakat kita dalam menyikapi beragam wacana keagamaan yang digulirkan di sana.
Para Pendakwah dan Media Sosial
Beberapa tahun terakhir, kita menyaksikan hadirnya sejumlah pendakwah dan intelektual Islam di Indonesia membangun otoritas keagamaan mereka melalui media sosial. Dalam dakwah, beragam platform media sosial seperti Youtube, Instagram, Facebook, dan WA telah menawarkan peluang baru untuk merangkul dan menjangkau publik yang lebih luas dan beragam, terutama generasi millenial yang dikenal sebagai gadget-savvy. Tentu saja mereka harus mengemas ulang strategi dakwah, gaya, dan pilihan tema menyesuaikan dengan kebutuhan millenial agar apa yang mereka sampaikan mudah diterima.
Selain Gus Muwafiq, beberapa tahun terakhir ini kita menyaksikan sejumlah pendakwah yang membangun otoritas keagamaan melalui media sosial. Mulai dari Ngaji Ihya’ yang diasuh oleh Ulil Abshar Abdalla melalui akun Facebooknya, lalu diikuti oleh pendakwah muda dari NU lainnya seperti Nadirsyah Hosen, Gus Miftah dan Gus Baha’ atau yang berbasis Muhammadiyah seperti Ustadz Adi Hidayat.
Para pendakwah ini hadir, selain untuk membangun otoritas keagamaan, juga ‘berkompetisi’ dengan pendakwah lain yang dianggap telah berjasa dalam pertumbuhan radikalisme di masyarakat kita. Media sosial, dengan begitu, saat ini menjadi ruang pertarungan dalam memperebutkan tafsir terhadap ajaran agama: antara Islam kebangsaan vs khilafah, Islam tradisi vs reformis, dan lainnya.
Konsumsi Agama dan Otoritas Keagamaan
Harus diakui bahwa media sosial berjasa besar dalam meningkatnya konsumsi keagamaan di tengah masyarakat kita. Kepanikan moral dan goncangan identitas sebagai akibat modernisasi, urbanisasi, dan globalisasi, mengarahkan umat untuk mencari sumber-sumber bimbingan moral yang baru melalui agama (Fealy 2012, 26-27).
Jika generasi sebelumnya memperoleh pengetahuan keagamaan melalui lembaga-lembaga otoritatif seperti pesantren dan majelis taklim, kini, dengan difasilitasi media sosial, wawasan keagamaan itu bisa dicari sendiri, berdasarkan selera kita sendiri. Begitulah yang menjadikan kehidupan keagamaan kita kian riuh rendah.
Sebelum hadirnya beragam platform media sosial seperti saat ini, para sarjana seperti Eickelman (2003, 2004) dan Turner (2007) telah menyatakan bahwa munculnya pendidikan massal dan teknologi cetak serta digital akan menjadi tantangan yang signifikan bagi otoritas keagamaan tradisional. Elite agama, dan siapa saja, yang pernah belajar keislaman baik di pesantren maupun perguruan tinggi Islam, pasti merasakan tantangan ini.
Hal ini pula, saya kira, bisa menjelaskan kehadiran pendakwah seperti Gus Muwaffiq dan lainnya di media sosial. Tantangan itu tidak hanya dengan hadirnya pendakwah baru yang ‘tidak kompeten’, tetapi justru dari pendakwah profesional yang bertujuan menyebarkan ajaran Islam yang bertentangan dengan nilai-nilai keindoneisaan yang lebih dulu memanfaatkan media sosial sebagai medium dakwah mereka.
Meskipun kita seringkali ikut tersulut untuk meramaikan kontroversi yang ada, baik di pihak yang pro maupun kontra, sebenarnya hal itu wajar belaka. Hal ini juga dialami oleh masyarakat di belahan dunia lainnya. Sayangnya, perdebatan yang terjadi tidak dalam koridor perebutan wacana, tetapi justru caci maki dan cercaan kepada pihak tertentu di mana kontroversi itu diproduksi.Sebagian kita menjadi warga digital yang emosional, bukannya rasional, termasuk mereka yang dianggap sebagai tokoh agama.
Jika potret kehidupan dakwah di media sosial saat ini begini adanya, lantas apa yang akan kita lakukan? Beruntung kita hidup di Indonesia, jika hal serupa terjadi di Timur Tengah, di mana masyarakat sipil membangun milisi untuk kelompoknya, mungkin yang terjadi adalah pertumpahan darah.
Memang ini bukan persoalan mudah, dan harus terus dibicarakan bagaimana solusinya, tetapi paling tidak harus kita mulai dari diri kita sendiri untuk lebih bijak dalam menggunakan media sosial.