“Nurcholish Madjid,” ungkap Kyai saya, “adalah pemikir Islam, tapi tidak berkopiah atau berjubah.” Itu kali pertama saya mendengar nama Nurcholis Madjid. Setelah itu, nama Nurcholish Madjid tertumpuk dalam memori hingga saya membaca buku tentang aliran sesat di Indonesia. Di antara yang dimaksud dalam buku itu Nurcholis Madjid dan NU, organisasi yang pesantren saya anut.
“Jangan termakan isu,” jawab Abah Kyai, ketika saya mengadukan kegelisahan saya. “Itu pekerjaan orang kurang berilmu. Baru berilmu sedikit sudah menyatakan hanya dia yang benar. Jangan sungkan bertanya dan perbanyak baca buku dan kitab.”
Karena keterbatasan perpustakaan pesantren, saya tidak menemukan buku karangan Nurcolish Madjid di sana. Dan kesempatan untuk membaca karangannya datang pada saat masuk univeritas. Pertama sekali saya membaca Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan. Waktu terus bergulir dan kian banyak saya membaca pelbagai karyanya.
Ternyata, saya tidak menemukan ide-ide nyeleneh dalam karyanya. Bahkan, saya menemukan tafsir Islam ala santri modern dan sesuai untuk kemajuan umat muslim Indonesia. Beliau menawarkan pola keberagamaan yang tidak melulu monoton. Pendeknya, segar.
Ide-ide yang beliau tuturkan di setiap karyanya begitu mengalir karena bahasanya tidak meledak-ledak. Termasuk saat menulis tentang kepercayaan lain, malah simpatik. Tulisannya bertabur ayat, hadist atau aforisme yang berasal dari pengetahuan Islam klasik. Ungkapan seperti ridlâ al nâs ghâyat un lâ tudrak atau mâ lâ yudraku kulluhu lâ yutraku kulluhu yang dikutip dalam tulisannya karib di telinga saya.
Membaca tulisan-tulisannya seperti membaca banyak buku. Pasalnya, untuk mengukuhkan pendapatnya beliau fasih mengutip hujjah ulama atau filsuf muslim dan tidak sungkan mengambil pendapat intelektual Barat. Ia meyakini kebenaran terdapat di mana-mana, tidak hanya di Islam. Banyak buku rujukannya dan beliau mencantumkannya di catatan kaki.
Namun, bagi saya, sosok Cak Nur masih berbentuk fragmen, yakni dalam tulisannya beliau adalah sosok intelektual cerdas, sarat gagasan, juga santun. Pengetahuan saya tentang Cak Nur akan utuh menjadi bingkai ketika bertemu dan mengamati laku beliau secara langsung. Dengan begitu, saya bisa memberikan penilaian yang proporsional tentangnya.
Dan, kesempatan untuk mendengarkan ceramahnya secara langsung itu datang. Karena meruahnya informasi saya berkesempatan mendengarkan ceramahnya beberapa kali. Di setiap ceramah yang saya ikuti, beliau selalu menggulirkan pendapatnya dengan tenang dan artikulasinya jelas. Pembawaannya teduh dan alur berpikirnya sistematis. Tak jauh beda dengan tulisannya. Sebagai pendengar mudah bagi saya untuk memahami dan mengikuti cara berpikirnya.
Selain itu, ketika ada pertanyaan dari peserta yang emosional beliau menanggapinya dengan tenang, tidak tersulut emosi. Beliau tetap sopan menanggapi orang yang kontra kepadanya dan mencoba mengerti letak permasalahan utama dari sebuah pernyataan. Oleh karena itu jawaban yang beliau berikan tak urung selalu tepat dan memuaskan.
Dengan begitu, beliau sedang membangun pola berpikir yang sehat. Sikapnya ini sesuai dengan konsep perdebatan dalam salah satu ayat al-Quran yang kurang lebih artinya, “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik…(16:125).
“Sihir Nurcholish”. Sebuah istilah yang dikeluarkan para pengkritiknya untuk menyebut sikap Cak Nur yang simpatik. Bahkan, mereka menyebut bahwa “sihir Nurcholish” lebih memukau ketimbang sihir Harun Nasution. Hingga saat ini, saya belum bisa mencerna apa kiranya maksud mereka tersebut mengistilahkan demikian, yang pasti berbau negatif. Daripada berspekulasi yang bisa menghasilkan sudzan (persangkaan yang buruk) lebih baik saya tidak terlalu mempermasalahkanya.
Bahwa beberapa orang kecewa kepada Cak Nur karena tidak menanggapi kritik seperti penyebutan “sihir Nurcholish”, tentu bisa dipahami. Tak jarang Cak Nur dicap sebagai pengecut. Tapi, bagi saya justru ia intelektual muslim sejati. Ia tak menjawab pelbagai kritik yang dialamatkan kepadanya karena rata-rata kritikan itu bernada negatif. Bukan kritik membangun, namun merusak. Dengan kata lain bukan mengkritik (to critisize), tapi menghina (to insult). Cobalah tengok tulisan yang mengupas ide Cak Nur dalam buku Hartono Ahmad Jaiz, Sabili, Hidayatullah, dan media yang senada lainnya.
Tidak ada itikad baik para pengkritik itu hendak berdiskusi dengan sehat. Bagaimana bisa muncul tukar pikiran yang sehat jika belum apa-apa sudah dicap sesat atau kafir? Dalam diskusi seperti ini setiap orang ingin mengungguli pendapat lawannya. Padahal untuk ini al-Ghazali dalam Ihya Ulum al-Dinmenyatakan: diskusi yang bertujuan untuk saling menjatuhkan, menunjukkan kelebihan pribadi, dan meraih kemuliaan adalah sumber segala etika yang buruk. Karena, lanjut al-Ghazali, diskusi semacam itu akan melahirkan riya, sombong, dan hasud. Oleh karena itu, tindakan Cak Nur untuk tidak melayani kritik berbau negatif sudah tepat. Pepatah Arab tepat untuk ini: Tarku al-Jawab a’la al-Jâhili Jawabuhu (tidak menjawab pertanyaan orang “bebal” adalah jawabannya).
Ada baiknya kita renungkan sajak Syauqi Bek: kelestarian bangsa bergantung atas etika yang baik/ jika tidak kehancuranlah baginya. Betapa banyak suku Arab era Jahiliyah yang lenyap disebabkan pertikaian di antara mereka. Itu semua bermula dari moral mereka yang buruk seperti mabuk-mabukan, berjudi, dan mudah emosi. Saya kira, Cak Nur tidak ingin bangsa ini terbawa ke dalam lingkaran perseteruan yang tidak sehat dan rentan melahirkan anarki dengan mengabaikan kritik tidak membangun kepadanya.
Berakhlak baik. Itulah dari sekian ajaran yang ia wariskan kepada kita generasi selanjutnya. Ada banyak kesaksian yang keluarga, kolega, bahkan pengkritiknya, yang jujur tentu, kemukakan tentang sikapnya yang terbuka dan tawadlu. Makin berisi, padi makin merunduk.
Saya mendapat cerita dari senior. Dia pernah memohon rekomendasi dari Cak Nur untuk kuliah ke Leiden, Belanda. Setelah selesai dengan urusan rekomendasi Cak Nur mengantar sampai pinggir jalan, bahkan menunggu hingga Kang Deden naik bis. Padahal ketika itu keduanya tidak akrab benar. Lalu, siapa yang menolak bahwa perbuatannya ini mulia? Inikah “sihir Nurcholish” itu?
Setelah membaca karyanya, melihat sikapnya, dan mendengar kesaksian orang tentangnya, saya mendapatkan sebuah bingkai tentang Nurcholis Madjid: ia seorang terpelajar. Karena selain telah berbuat adil dalam pikiran yang nampak dalam tulisannya, juga telah menampilkan keadilan itu dalam perbuatan.
Bahwa ide pembaruan Cak Nur terus bergema, tentu sulit orang membantahnya. Namun, yang sangat disayangkan ternyata ide-idenya belaka yang mendapat sorotan dari pengikutnya ketimbang sikapnya yang arif. Hal itu terbukti dari para pengikutnya yang karena terlalu “bernafsu” menyegarkan pemikiran Islam tak jarang menggunakan bahasa propaganda. Baik dalam diskusi maupun tulisan. Dalam beberapa diskusi, misalnya, tidak jarang para pengikut Cak Nur ikut tersulut emosi jika dikritik pendapatnya. Karena tidak ada dokumentasi, saya mengakui kekurangan untuk menyodorkan data di sini. Namun, contoh yang jelas bisa dilihat dalam bentuk tulisan. Misalnya dalam Fikih Lintas Agama halaman 5 tertulis ”…karena Syafi’ilah pemikiran-pemikiran fiqih tidak berkembang selama kurang lebih dua belas abad.”
Saya sendiri tidak yakin betul ini pendapat Cak Nur. (Semoga sikap saya ini bukan pengkultusan yang Cak Nur kecam. Tapi, setidaknya saya masih meyakini Cak Nur sebagai pemikir Islam, bukan nabi.) Karena beliau tidak akan “kasar” menyudutkan Imam Syafi’i. Bahkan dalam penyebutan Imam Syafi’i, Cak Nur tidak lupa menaruh gelar Imam di depannya (silahkan lihat Ensiklopedi Nurcholish Madjid entri S).
Selain itu, Cak Nur tidak akan menyalahkan Imam Syafi’i, tapi lebih mengoreksi diri kenapa pemikiran Imam Syafi’i menjadi demikian. Apakah karena kemalasan umat untuk berpikir atau karena kecerdasan sang Imam yang tidak bisa kita tandingi. Jika umat malas berpikir, tak mengapa. Kan tugas kita sebagai terdidik untuk melakukan proses ijtihad sebagaimana Cak Nur ungkapkan dalam Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam. Marilah kita mulai memikirkan formulasi hukum Islam yang lebih baik dari yang telah dirancang Imam Syafi’i ketimbang memojokkannya.
Tapi, jika karena kecerdasan kita tak mampu mengungguli Imam Syafi’i lebih baik diam, tidak berkata apa-apa. Itu lebih terhormat. Karena, saya teringat percakapan antara Jean Marais dan Minke dalamBumi Manusia: “…seorang terpelajar harus juga berlaku adil sudah sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan.”