Seorang ustaz populer pernah berujar, “jika potongan video ceramah ini muncul di beranda anda, maka bisa jadi ini adalah jalan hidayah dari Allah Swt.” Mungkin kalimat ini juga pernah muncul di linimasa media sosial kita, entah di platform mana pun. Bahkan, beberapa hari lalu, saya menjumpai video serupa, namun berlatar kota Mekah yang menyebutkan bahwa video tersebut tanda kerinduan kita atas tanah suci.
Ya, hari ini, agama manapun tidak bisa dilepaskan atau benar-benar lepas dari teknologi. Bahkan, kita pun sering tidak menyadari perjumpaan atau irisan agama yang kita peluk telah “dipengaruhi” atau “terpengaruh” oleh teknologi. Memang, pengalaman beragama kita terkait perjumpaan dengan teknologi acapkali berbeda-beda.
Tapi, teknologi sudah menjadi bagian dari agama kita. Bahkan, jauh sebelum kita benar-benar menyadari fakta tersebut. Ungkapan di atas hanya secuil dari impak kehadiran teknologi dalam agama.
Buktinya, dulu sekali, entah hari ini masih ada atau tidak, kita pernah disuguhi bel rumah yang berbunyi, “Assalamualaikum”, atau telpon genggam yang berdering dengan rekaman azan di Mekah sana. Bahkan, tidak sedikit orang yang dulu bangga sekali dengan nada dering tersebut.
Fakta bahwa agama kita mengikuti perkembangan teknologi sudah tak terbantahkan lagi. Terlebih dalam dua dekade terakhir, media sosial muncul dengan sebuah pengaturan rumit bernama “Algoritma,” yang kemudian diterjemahkan atau berkelindan dengan unsur-unsur agama, seperti jawaban doa dari Tuhan hingga impian keberagamaan yang sedang terpendam lama.
Adaptasi, Negosiasi, hingga Apropriasi Muslim di Tengah Kemajuan Teknologi
Memang, Islam telah sejak lama berkelindan dengan teknologi. Sebagian besar masyarakat muslim, entah sadar atau tidak, menjadi saksi bagaimana teknologi telah mengubah wajah keberagamaan kita, mulai dari beragam tradisi baru hingga intelektual-intelektual baru yang turut mewarnai keberagamaan kita. Sejak awal persentuhan Islam dan internet, masyarakat Muslim telah berdebat, beradaptasi, bernegosiasi, hingga bersilang pendapat terkait kehadirannya.
Namun, semenjak saat itu pula kita, sebagai muslim, telah menghabiskan beradaptasi dan hidup dalam berbagai perubahan dalam agama kita akibat dari kemajuan teknologi tersebut. Di antara buktinya, banyak artis hijrah memulai pelajaran agamanya lewat Youtube dari para pendakwah populer, macam Felix Siauw, Oemar Mitha, hingga Weemar Aditya.
Kelompok Muslim Tradisionalis pun tak ketinggalan. Lihat saja di berbagai platform media sosial, mereka cukup aktif menghadirkan beragam ritual keagamaan. Dengan sokongan anak-anak muda dan kelas menengah Muslim Tradisionalis, banyak aktivitas dan ritual keagamaan yang selama ini bersifat lokal menjadi global dan bisa diakses di mana saja sejak bersentuhan dengan internet.
Namun, jika kita berkaca pada perjumpaan di kalangan tradisionalis, khususnya pengalaman masyarakat Banjar, di masa-masa awal kehadiran internet tidak mulus atau mengalami pasang surut. Bahkan, lebih banyak respon negatif ketimbang positif pada kehadiran internet tersebut. Lihat saja, perbincangan awal terkait internet
Perbincangan terkait hukum, keberkahan, hingga adab dalam masyarakat Muslim Banjar mungkin saja juga terjadi di masyarakat muslim lainnya. Sepertinya, hal ini cukup lumrah terjadi pada awal kehadiran internet di masyarakat Muslim tradisionalis. Sebab, bangunan dan logika keberagamaan yang dibangun selama ini banyak mendapatkan tantangan dari kehadiran internet. Diantaranya, konsep berkah dan adab terhadap ulama yang harus beradaptasi dan negosiasi dengan internet.
Basis keberagaman masyarakat Muslim tradisionalis yang lekat dengan kultur setempat dan kedekatan dengan otoritas lokal, tentu mengalami “guncangan” yang cukup keras. Usaha anak-anak muda Muslim tradisionalis dalam beradaptasi dengan kehadiran internet dalam keberagamaan mereka, sebenarnya sedikit demi sedikit mulai kelihatan dapat “mendamaikan,” bahkan berhasil mengakselerasikan proses habituasi kultur digital di masyarakat.
Jangan-Jangan Kita Hanya Sering Membuat Hukum Belaka
Menariknya, dampak negatif media sosial yang turut mempengaruhi agama yang berkelindan di dalamnya malah mulai tidak lagi diperbincangkan. Dulu, mungkin pernah ada diskusi agama yang semakin mendangkal karena kehadiran teknologi di dalamnya. Namun, pembicaraan tersebut perlahan memudar seiring kehadiran teknologi yang niscaya dalam agama. Hari ini, kita lebih banyak merayakan kehadiran teknologi ketimbang mendiskusikan dampak negatif dari teknologi tersebut.
Ceramah agama terkait model-model komunikasi yang “seharusnya” ada dalam interaksi di media sosial, sudah ratusan kali rasanya saya dengar atau baca. Selain itu, ada berbagai nasihat atau produk hukum dari dinamika negatif tersebut. Haram ini, haram itu, halal ini, dan halal itu juga sudah ribuan kali rasanya kita dengar dan rasakan kehadirannya.
Padahal, dampak negatif dalam media sosial cukup rumit untuk diselesaikan atau dihadapi manusia jika hanya bermodalkan dalil teologis belaka. Sebab, dampak negatif dari teknologi dalam kehidupan manusia sangatlah kompleks.
Film “The Social Dilemma” yang pernah tayang di Netflix sempat menjadi perbincangan publik, pernah membongkar dampak negatif dari media sosial. Mulai dari interaksi individu yang kian menurun, kesehatan mental yang terganggu, maraknya berita yang tidak valid dan provokatif, serta beredarnya informasi yang tidak etis berkaitan dengan kenegaraan.
Ya, sisi negatif tersebut tidak hanya sekedar permasalahan komunikasi belaka. Bahkan, kehadiran teknologi sudah masuk jauh dalam sendi-sendi kehidupan kita sebagai manusia. Bagaimana kehadiran Islam di tengah dampak negatif dari media sosial ini?
Entahlah. Tapi satu hal yang pasti, Islam masih terus berkembang dan beradaptasi dengan kemajuan teknologi ini. Tentu, kondisi ini juga mengharuskan masyarakat Muslim bersentuhan dengan berbagai berbagai persoalan tersebut. Terlebih, masyarakat Muslim urban mengalami peningkatan pesat, tentu sebagian kehidupan mereka berkelindan dengan teknologi, termasuk dampak negatif teknologi.
Jelas, kehadiran Islam sebagai agama progressif tentu sangat diharapkan untuk menjadi pembela bagi pemeluknya, di tengah berbagai dampak negatif kehadiran teknologi. Bukan saja dalam mengisi permasalahan hukum, namun juga menjadi pelindung yang kokoh atas serangan media baru dan teknologi.
Oleh sebab itu, kehadiran Islam progressif sangat dibutuhkan masyarakat muslim di tengah isu-isu yang lekat dengan teknologi, seperti pemecatan para pekerja digital, perundungan di media sosial, sumpah palsu di kanal-kanal Youtube, hingga “lumpen-intelegensia” yang mulai merusak tatanan keislaman yang damai dan sejuk. Akankah ini terwujud?
Fatahallahu alaina futuh al-Arifin