Selama masa pandemi, kemajuan digital menciptakan ancaman terhadap HAM bagi perempuan melalui peningkatan kekerasan berbasis gender online (KBGO). Data SAFENet mengungkapkan dari 677 total aduan kasus KBGO di 2021, sebanyak 508 adalah kasus penyebaran konten intim non-konsensual.
“Kekhawatiran terbesar adalah apabila hal ini tidak ditangani, maka ini menjadi kekerasan berjamak dan menjadi new normal penggunaan internet di era pandemi,” kata Damar Juniarto, Direktur Eksekutif SAFENet dalam Pra-Konferensi “Eskalasi Pelanggaran Hak Asasi Manusia Dampak dari Digitalisasi?”.
Konferensi ini merupakan salah satu rangkaian diskusi yang diselenggarakan menuju Konferensi SDGs & Sidang Umum Anggota INFID pada 19-20 Juli mendatang.
Menurut Andi Yetriyani, Ketua Komnas Perempuan yang juga menjadi pembicara pada acara tersebut, persoalan KBGO idealnya harus dikelola dengan regulasi yang memadai.
“Terobosan yang hadir dalam UU TPKS yang harapannya dapat diserap dalam RKUHP, Revisi UU ITE maupun RUU Perlindungan Data Pribadi,” ujar Andi.
Andi melihat bahwa, harapannya hal itu menjadi basis perlindungan baru bagi korban dan saksi.
“Sambil menunggu RKHUP, revisi UU ITE dan RUU perlindungan data pribadi, mari kita tingkatkan pengetahuan mengenai literasi digital, kita kawal penanganan pengimplementasian UU TPKS dan mari kita tata ulang dan mulai memikirkan agar tata kelola digital bisa lebih banyak diakses oleh masyarakat,” lanjutnya.
Dalam diskusi ini, setidaknya ada beberapa hal penting yang dapat mencegah pelanggaran HAM di era digital. Pertama, penguatan partisipasi dan komitmen multi-pihak pada transparansi dan demokratisasi data. Kedua, membentuk kerangka regulasi data dan digital yang berorientasi kemanusiaan, bukan profit ataupun kekuasaan politik. Ketiga, meningkatkan pendidikan soal privasi dan wawasan keadilan gender di ranah digital. Keempat, menyediakan kerangka aturan untuk pengawasan etika ataupun batasan kampanye politik berbasis data. (AN)