Berkat kemajuan teknologi, cara bergosip juga kian berkembang. Dulunya, gosip atau gibah hanya dilakukan lewat obrolan langsung, kini acara gosip-menggosip dapat ditonton melalui tayangan Infotaiment di televisi. Seiring perkembangannya, gosip juga dilakukan di media sosial. Akun-akun gosip di Instagram, Twitter, dan media sosial lainnya kian subur dan menjamur.
Alamiah saja, manusia pada dasarnya suka menggosip. Soal ada orang yang berusaha menghindari ‘gosip’, ya itu pilihan. Yang jelas, sebagai makhluk sosial, dengan membincangkan orang lain, baik itu keburukan atau sisi baiknya menjadi semacam penanda interaksi sosial ke depannya. Yuval Noah Harari dalam Sapiens (2011), umpamanya, menuliskan bahwa gosip merupakan perekat sosial untuk membangun ikatan kelompok.
“Penting bagi mereka [homo sapiens] untuk tahu siapa membenci siapa, siapa yang jujur, dan siapa yang penipu,” tulis Harari. Berkat gosip inilah, manusia menandai kelompoknya, terutama orang-orang yang bisa dipercaya dan yang tidak untuk melakukan kerja sama.
Homo sapiens menggunakan gosip sebagai penghubung interaksi sosial. Dengan gosip, seseorang dapat mengetahui contoh tentang hal-hal apa saja yang dapat diterima secara sosial dan yang tidak di kelompoknya. Dengan pembicaraan baik dan buruk jugalah, tatanan sosial masyarakat dapat terbangun.
Hal yang sama juga sebenarnya dilakukan oleh para perawi hadis di zaman dahulu, ketika menyebutkan bahwa perawi hadis tertentu pernah berbohong, atau sering kali berdusta (kadzzab), ingatannya lemah, pernah menipu, hingga kurang sopan santun atau tidak menjaga muru’ah-nya. Dari sinilah, riwayat hadis mereka ditakar, bisa diterima atau ditolak.
Di konteks di atas, gibah atau gosip memiliki peran penting untuk memilah hadis sahih, hadis lemah, serta hadis palsu dari perawi-perawi yang bertanggung jawab dan yang tidak.
Untuk mengklasifikasi orang yang bisa dipercaya dan yang tidak ini, tentunya harus melalui gibah atau gosip. Karena itulah, kendati tergolong dosa besar sebagaimana tertera dalam surah Al-Hujurat [49] ayat 12, namun sebenarnya tidak selamanya gosip itu dilarang.
Pembahasan gosip yang mubah sudah dibahas Imam Nawawi dalam kitab Al-Azkar (1971) bahwa terdapat enam jenis gibah yang tidak dilarang. Pada intinya, gosip boleh dilakukan asalkan memberikan maslahat besar, bukan dengan maksud mengolok-olok atau merendahkan orang lain.
Kendati sudah diberi batasan khusus, gosip mana yang diperbolehkan dan mana yang tidak, namun harus diingat, membicarakan keburukan orang lain tidak boleh dilakukan secara berlebihan, apalagi sampai membuang-buang waktu, dan merugikan orang lain.
Karena itulah, tayangan Infotaiment gosip di televisi, yang tergolong gibah sudah diharamkan MUI dan NU. Selain itu, akun-akun gosip di Instagram seperti Lambe Turah, Lambe Nyinyir, dan lain sebagainya pun masuk dalam kategori ini.
Oleh oknum tertentu, gosip bahkan dijadikan lahan untuk mengeruk keuntungan, kendati tidak semua muatan gosip adalah berita negatif, namun, sering kali, akun-akun tadi membeberkan borok dan keborokan orang lain.
Jika dilihat dari sisi buruknya, gosip sebenarnya punya dampak negatif yang dominan. Orang yang jadi sasaran gosip negatif mengurangi intensi kerja sama anggota kelompok lain terhadapnya.
Lalu gosip seperti apa yang tidak bernilai negatif? Dalam artikel ilmiah bertajuk “The Virtues of Gossip: Reputational Information Sharing as Prosocial Behavior”, Robb Willer, profesor sosiologi dari Universitas Stanford menuliskan bahwa salah satu bentuk kepedulian sosial adalah dengan menceritakan nilai negatif dari orang yang tak bisa dipercaya. Tujuannya adalah untuk membantu pihak lain karena alasan moral. Gosip semacam itu disebut Robb Willer sebagai “gosip prososial”, dengan maksud mengingatkan orang lain. Selain itu, gosip juga memiliki efek terapeutik: meredakan rasa frustasi dan meringankan emosi negatif.
Namun, perlu diingat bahwa gosip bukanlah fitnah. Hasan Al-Bashri, seperti dikutip At-Thabari dalam kitab Jami’ul Bayan ‘an Ta’wili Al-Qur’an (1992) menuliskan bahwa gosip atau gibah berasal dari fakta buruk mengenai seseorang. Jika mengada-ada, bukan gosip namanya, melainkan fitnah.
Karena itulah, apa yang membuat gosip itu haram atau mubah, bukan dari isi informasi yang disampaikan, melainkan dari cara kita menafsirkan, konteks ketika gosip dibicarakan, serta cara menggunakan informasi tersebut.
Namun, tentu saja, tidak semua orang adalah penggosip yang baik. Ada juga orang yang tidak bijak, menggunakan gosip untuk meraih keuntungan pribadi, menaikkan reputasi sendiri, kalau perlu dengan mengorbankan kepentingan orang lain.