Pengobatan masyarakat Arab pra-Islam berkaitan erat dengan beragam model terapi tradisional yang penuh dengan kepercayaan mistik. Saat Islam tiba, bukan berarti budaya itu serta merta terkikis. Meski Islam berinteraksi dengan banyak bangsa dan budaya, beberapa kalangan masih memegang tradisi pengobatan lama. Budaya terapi tradisional ini mendapat tandingan dari pengetahuan kedokteran yang diterjemahkan dari karya-karya Yunani di kemudian hari.
Terapi tradisional Arab ini tampak “berhadapan” dengan pengetahuan kedokteran dari budaya Yunani, Syria, maupun Persia. Karena sifatnya lebih rapi dan terstruktur, banyak simpati penguasa dan cendekiawan pada ilmu kedokteran terbaru ini. Demikian ulas Manfred Ullmann dalam Islamic Medicine.
Khazanah magis dan mistik ini bagai mundur alon-alon dari dinamika peradaban Islam. Penguasa Dinasti Abbasiyah mulai membuka bimaristan, cikal bakal rumah sakit, dengan mengadopsi pengetahuan dari Persia maupun Yunani, merujuk pada karya-karya ilmuwan Yunani yang kondang seperti Hippokrates dan Galen.
Alkisah, ketika imperium Romawi sedang berjaya, orang-orang memercayai terapi magis dengan menyebutnya sebagai physika, ‘obat alami’. Meskipun sebagian kalangan – terutama yang terpelajar – terpapar pengetahuan a la Yunani, para penguasa Romawi yakin bahwa banyak obat tradisional tetap perlu digunakan sebagai bentuk “penghargaan atas pengetahuan manusia” meski tak dapat dijelaskan mekanisme kerjanya.
Kala itu belum begitu jelas kriteria untuk membedakan obat yang berefek secara ‘alami’ dan secara ‘ajaib’. Kepercayaan ke terapi magis dan sihir tidak hanya disebabkan takhayul, namun juga karena keterbatasan pengetahuan medis. Eksperimen, terlebih dengan subjek manusia, belum pernah dilakukan. Bahaya seperti keracunan obat, penyakit tambah parah, tak dapat dihindari.
Salah satu karya ilmuwan Arab di bidang kedokteran adalah karya ‘Ali ibn-Sahl at-Tabari. Dicatat olehnya bahwa masyarakat banyak melakukan terapi magis dan obat lokal, beberapa diklaim merujuk pendapat tabib Yunani. Ali at-Tabari mencatat misalnya, “Jika kamu menaruh batu ke tangan seorang wanita dalam persalinan, itu akan membantunya dalam kelahiran yang sulit.” Ada juga keterangan, “Jika seorang wanita makan daging ketika menstruasi selesai, dia tidak akan menjadi hamil selama setahun penuh. ”
Belum lagi azimat menggunakan kadal, “Jika jeroan kadal digantung di dinding sekeliling wanita, itu mencegah keguguran” juga “Kadal yang dibungkus hidup-hidup dalam kain dan digantung di sekitar penderita demam, niscaya demamnya akan hilang.”
Masih banyak lagi model terapi mistik yang dilakukan masyarakat Arab dan masih dipercaya oleh para dokter, untuk dipraktekkan dalam beragam kasus penyakit atau masalah kesehatan. Perlu diketahui bahwa berbeda dengan era sekarang yang secara bahasa membedakan tabib dan dokter, dulu siapapun yang bekerja sebagai penyembuh adalah sama belaka. Hanya saja zaman berkembang, yang disebut dokter adalah orang yang belajar ilmu dalam tradisi pembelajaran Galen atau Hippocrates.
Bahkan beberapa bimaristan – yang dipandang sebagai cikal bakal rumah sakit – juga memberikan ruang untuk terapi mistik ini. ‘Ali bin Sahl at-Tabari mencatat, “Direktur rumah sakit di Jundishapur memberi tahu saya tentang sebuah keluarga di daerah Ahwaz yang menggunakan sebuah batu untuk melindungi janin. Jika digantung mengelilingi wanita hamil ia akan mencegah keguguran.” Namun agaknya belum jelas apakah ketika rumah sakit memperkenankan azimat tersebut kepada para pasiennya, para dokter telah menyiapkan edukasi dan counter-narration untuk mengurangi kepercayaan tersebut.
Kita mengenal Muhammad ibn-Zakariyya ar-Razi atau sering disebut ar-Razi saja sebagai ilmuwan kedokteran kesohor. Ilmu klinisnya diakui, tapi ia juga mendokumentasikan kekuatan gaib sebagai terapi. Dalam Al Hawi, ia merujuk pada Hermes, seorang ilmuwan Yunani Kuno.
“Demam yang muncul berhari-hari bisa sembuh jika pasien mengenakan kaos yang tidak dicuci dan berlumur keringat wanita dalam persalinan.” (dalam hal ini keringat dan perbedaan jenis kelamin dipandang bisa mentransmisikan penyakit).
Di lain bagian, Ar-Razi juga mencatat pengobatan dengan kalajengking. “Jika seseorang makan kalajengking, itu akan memecah batu di kandung kemih.” Untuk sengatan kalajengking, Ar Razi menulis, “Jika Anda menumbuk kalajengking dan mengoleskannya di atas luka, ini akan menyembuhkan.”
Pendekatan magis, mistik, maupun model tradisional menunjukkan bahwa beberapa jenis terapi dan obat memerlukan kuasa dan “keteraturan” alam agar bisa bekerja pada manusia. Manfred Ullmann mencatat bahwa orang Arab – begitupun dipercaya para dokter kala itu– ketika berobat, mereka juga memerhitungkan perihal musim, waktu, dan posisi bintang-bintang di angkasa. Mereka akan memantang berobat pada bulan dan tanggal tertentu, karena “alam dan langit yang tidak berkenan.”
Salah satu contohnya adalah berobat dengan mandrake. Mandrake (Mandragora officinarum) adalah jenis tanaman bunga dengan bentuk akar yang unik, yang memiliki juluran akar menyerupai tangan dan kaki. Pengguna tanaman tersebut mesti mengetahui posisi planet Mars saat di orbitnya yang terjauh, serta masa edar bulan ketika beriringan dengan Mars. Para pemerhati ilmu bintang ini mengklaim bahwa akar mandrake (Mandragora officinarum) hanya dapat mudah dicabut jika bumi telah “melonggarkan diri” di momen itu.
Terapi magis dan mistik populer dalam khazanah literatur sastra Arab. Karya ulama, sastrawan, juga sufi menunjang eksistensi terapi semacam itu. Seperti orang mengenal al-Mujarrabat , dengan ragam instruksi menggantung dan membikin azimat-azimat tertentu, serta menyertainya dengan mantra, dzikir atau doa tertentu. Bagi sementara orang, metode ini terkait dengan ilmu hikmah.
Sikap para dokter Islam terhadap astronomi dan astrologi tidak tunggal, sebagaimana beragamnya kepercayaan mereka akan kekuatan gaib dan mistis. Ibnu Sina konon pernah menulis risalah yang menyangkal peran astrologi dalam kedokteran, dan masih diikuti beberapa kalangan dokter setelahnya. Mereka masih memercayai bahwa perkembangan janin berada di bawah pengaruh tata planet dan bintang alam semesta. Toh watak para ilmuwan muslim zaman dulu yang polymath, maka sangat mungkin seorang dokter juga jago ilmu perbintangan.
Para dokter yang tertarik pada astronomi dan astrologi konon menggunakan metode mereka sendiri, tak selalu sejalan dengan informasi dari karya Yunani. Namun, pada umumnya, kepercayaan akan hubungan ilmu perbintangan dan kesehatan tidak begitu populer dalam pengobatan Arab. Sebelum Eropa berada di masa Renaissance, orang-orang masih percaya bahwa siklus benda langit turut memicu wabah suatu penyakit.
Dalam kasus Indonesia di era kiwari, tak jauh berbeda dengan kepercayaan masyarakat Arab di masa lampau – mungkin juga saat ini, praktek tradisional yang beraroma magis tetap dilakukan di berbagai elemen masyarakat dunia, di perkotaan maupun oleh masyarakat adat.
Di balik praktek kedokteran modern yang kian pesat, kepercayaan pada alam, tatanan langit, serta peranan arwah leluhur menimbulkan penasaran: apakah ini wujud keterbatasan dan keterbelakangan pengetahuan mereka, atau ada sisi lain dari kepercayaan dan budaya masyarakat yang tak sepenuhnya bisa dipahami dengan mudah oleh sains? Barangkali ini perlu dicermati lebih lanjut.
Namun di balik segala klaim pengobatan tradisional populer yang gaib, klenik, bahkan irasional, kiranya kita perlu menyimpan tanya. Masalah berada pada basis ilmunya yang tidak bisa diukur dan teramati. Penulis pribadi berpendapat bahwa kendati manusia mesti percaya pada kuasa Tuhan, tapi manusia pun juga mesti bersandar pada ilmu yang jelas.