Tagar #sekadarmengingatkan sempat menjadi trending topik di media sosial beberapa waktu yang lalu. Tren ini muncul karena segelintir warganet di media sosial menegur para perempuan untuk menggunakan kerudung. Teguran tersebut kemudian diakhiri dengan kalimat “Maaf, sekadar mengingatkan” agar terkesan tak menghakimi.
Uniknya, teguran sekadar mengingatkan ini seringkali ditujukan pada orang-orang yang belum pernah bertemu secara offline. Bahkan tak jarang pula mereka salah sasaran karena yang ditegur ternyata non-muslim yang tak berkewajiban menggunakan kerudung.
Fenomena menasihati dan mengingatkan melalui komentar atau direct message di media sosial memunculkan budaya baru yang dalam ilmu komunikasi disebut etnografi virtual. Budaya menyampaikan pesan dakwah saat ini tidak hanya secara offline, tetapi juga online. Sebelumnya, pendakwah Aa Gym telah lebih dulu memulai dakwah berbasis teknologi melalui SMS, mengingat SMS adalah media dakwah baru yang paling dekat dengan khalayak kala itu.
Dalam buku “Muslimah yang Diperdebatkan,” Kalis Mardiasih mengungkapkan bahwa fenomena dakwah “sekadar mengingatkan” dibangun oleh kelompok muslim agresif yang selalu berekspansi dakwah. Dalam dunia digital, kelompok ini menganggap gawai yang ada di tangan mereka seumpama pengganti senjata perang. Aktivitas mengomentari unggahan orang lain dianggap sama dengan mengambil peran membela agama.
Para aktivis dakwah digital merasa memiliki kewajiban menasihati dan menegur siapapun yang ditemuinya di media sosial. Selanjutnya, mereka tidak hanya mengomentari kerudung, tetapi juga pakaian, ucapan, dan lain sebagainya. Sayangnya, nasihat plus teguran ini justru lebih sering menyakiti hati orang yang dituju, bukan malah membuatnya sadar.
Akibat pesan dakwah yang tak sampai, tren dakwah ini justru menjadi bahan bercandaan hingga muncul beragam meme “sekadar mengingatkan,” disertai gaya khas emoji tangan tertelungkup seperti meminta maaf.
Meme sekedar mengingatkan ini muncul disebabkan interaksi antar pengguna media sosial yang menghasilkan dimensi lain seperti budaya. Dalam era budaya baru di dunia virtual dikenal apa yang disebut sebagai participatory culture atau budaya partisipan, artinya warganet bisa aktif berpartisipasi dan melakukan sirkulasi terhadap suatu konten, begitu pula meme sekadar mengingatkan ini (Rully Nasrullah, 2017).
Dalam ilmu dakwah, sampainya pesan da’i kepada mad’u merupakan unsur yang penting. Namun sayang, dakwah “sekadar mengingatkan” ini nampaknya belum bisa menjangkau mad’u untuk tergerak hatinya, yang ada justru lebih sering menyakitkan hati dan membuat orang lain lari.
Buktinya, kita bisa melihat kasus Salmafania Sunan, seorang selebgram yang memutuskan untuk melepas jilbabnya, ia pernah membuat pernyataan “Kalau mau unfollow silahkan, tidak usah pakai afwan-afwan, tapi ujungnya nyakitin hati orang lain.” Ya, Salmafania lebih rela kehilangan followers daripada harus dihujani komentar hujatan yang diakhiri dengan kalimat “Maaf, sekadar mengingatkan.”
Aktivis dakwah digital sebaiknya mengevaluasi diri, apakah gaya dakwah sekadar mengingatkan baik dan layak untuk dilanjutkan. Jangan sampai justru membuat orang-orang benci dan lari dari agama.
Dalam sebuah kajian di Jakarta, Ulil Abshar Abdala pernah menyampaikan fenomena kemunculan kaum “munaffirin,” yaitu orang-orang yang membuat orang lain lari dari agama. Sejak masa Nabi dahulu, Nabi sudah memperingatkan bahwa di antara umat muslim akan ada kaum “munaffirin,” Nabi bahkan pernah sangat marah saat seorang sahabat membuat orang lain lari dari agama.
Dalam hadis riwayat Abu Mas’ud al-Anshari, dikisahkan bahwa seorang laki-laki mengadu pada Rasulullah SAW “Wahai Rasulullah, aku mengakhirkan shalat shubuh berjamaaah karena fulan memanjangkan bacaan saat shalat dengan kami.” Rasulullah SAW kemudian marah, hingga Abu Mas’ud berkata “Aku belum pernah melihat Rasulullah SAW marah dalam memberi pelajaran melebihi marahnya pada hari itu.”
Rasulullah SAW kemudian bersabda:
إِنَّ مِنْكُمْ مُنَفِّرِينَ، فَأَيُّكُمْ مَا صَلَّى بِالنَّاسِ فَلْيَتَجَوَّزْ، فَإِنَّ فِيهِمُ الضَّعِيفَ وَالكَبِيرَ وَذَا الحَاجَةِ
Sungguh di antara kalian ada orang yang dapat menyebabkan orang lain berlari memisahkan diri. Maka bila seseorang dari kalian memimpin shalat bersama orang banyak, hendaklah dia melaksanakannya dengan ringan. Karena di antara mereka ada orang yang lemah, lanjut usia dan orang yang punya keperluan.
Hadis ini diriwayatkan oleh banyak imam, termasuk Imam Bukhari dan Imam Muslim. Berdasarkan hadis tersebut, seorang muslim dianjurkan untuk berdakwah dengan riang gembira, tidak mempersulit orang lain, sehingga tidak membuat orang lain jengkel dan lari dari agama.
Begitu pula dengan berdakwah melalui media sosial, sebaiknya gunakan kata-kata yang baik, tidak menghakimi dan menghujat, juga tidak mempermalukan orang lain, apalagi media sosial adalah ruang publik yang dapat dilihat oleh orang-orang dari berbagai penjuru dunia.
Wallahu a’lam bisshawab
Artikel ini diterbitkan kerja sama antara islami.co dengan Direktorat Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kemkominfo