Dakwah Kultural Muhammadiyah: Peluang dan Tantangan [Bag-1]

Dakwah Kultural Muhammadiyah: Peluang dan Tantangan [Bag-1]

Istilah dakwah kultural ini lahir tahun 2002 pada Tanwir Denpasar. Maksudnya, supaya Muhammadiyah memberi perhatian terhadap budaya atau kultur yang ada di masyarakat dalam berdakwah, dan memperkuat gerakan dakwah di berbagai komunitas, baik komunitas marjinal, komunitas bawah, sampai komunitas virtual atau digital.

Dakwah Kultural Muhammadiyah: Peluang dan Tantangan  [Bag-1]
Ilustrasi orang yang sedang berdakwah.

Sejarah perkembangan Islam di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari peran organisasi Islam, terutama pada awal abad 20-an. Deliar Noer dalam disertasinya, diterjemahkan oleh LP3S tahun 1980-an dengan judul Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, menjelaskan pertumbuhan organisasi pada periode ini dengan sangat jelas.

Organisasi Islam ini kemudian melahirkan berbagai macam lembaga pendidikan Islam, mulai dari tingkat bawah sampai atas. Lembaga pendidikan ini menjadi tempat kaderisasi ulama. Umumnya, ulama atau intelektual muslim yang lahir setelah abad 20 biasanya pernah menempuh pendidikan di madrasah atau pesantren yang didirikan organisasi Islam. Tidak hanya itu, organisasi Islam juga berhasil membentuk majelis taklim dan pengajian yang menjadi panduan utama masyarakat umum untuk belajar agama. Organisasi Islam juga memproduksi bahan bacaan, seperti buletin, koran, majalah, ataupun buku, supaya ajaran Islam semakin tersebar luas di nusantara.

Dalam perjalanannya, organisasi Islam mengalami berbagai macam tantangan dan hambatan. Tidak semua organisasi itu bertahan sampai masa sekarang. Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Nahdlatul Wathan, Persatuan Islam, Persatuan Tarbiyah Islamiyah, dan lain-lan, termasuk dari sekian yang masih bertahan sampai sekarang. Merujuk survey Alvara tahun 2019, Nahldatul Ulama merupakan ormas dengan jumlah anggota paling tinggi (39,4 %), kemudian diikuti oleh Muhammadiyah (7,4 %), dan Nahldatul Wathan (1,8 %). Survey ini menunjukkan bahwa NU merupakan ormas yang memiliki anggota paling banyak, karena sebagian besar umat Islam di Indonesia merasa cocok dengan ajaran dan kultur NU.

Sebagai perbandingan, Denny JA juga merilis survey perbandingan antara NU dan Muhammadiyah. Seperti dikutip beberapa media, jumlah warga Muhammadiyah pada tahun 2005 sebanyak 9,4 % dari populasi penduduk Indonesia. Tahun 2023 menurun drastis menjadi 5,7 %. Sementara jumlah warga NU tahun 2005 sebanyak 27,5 %, tahun 2023 mengalami peningkatan menjadi 56,9 %.

Survey ini dikutip bukan untuk membanding-bandingkan, karena NU dan Muhammadiyah punya kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Keduanya ibarat saudara kandung yang harus saling mendukung dan membantu. Abdul Mu’ti dalam Mata Najwa Edisi Spesial Muktamar ke 48 Muhammadiyah mengatakan, Muhammadiyah menganggap NU sebagai adik bongsor. Sebab meski usianya 14 tahun lebih muda dari Muhammadiyah, tetapi memiliki anggota yang lebih banyak. Kalaupun ada persaingan antara keduanya, itu hal yang sangat biasa dan wajar. Mengutip teori psikologi sibling rivalry, “Persaingan saudara sekandung, supaya disayang, bukan saling membenci,” Kata Mu’ti.

Walaupun tidak sepenuhnya mencerminkan realita yang sesungguhnya, survey di atas tetap menarik untuk diperhatikan sebagai bahan evaluasi dan renungan. Sebab seperti yang dinyatakan kader Muhammadiyah Ahsan Jamet Hamidi, survey Denny JA tidak hanya menyajikan angka, dia juga menyampaikan pesan, bahwa penurunan itu berhubungan dengan sistem kaderisasi di internal Muhammadiyah. Sebuah pesan positif tentu. Naik-turunnya anggota atau jemaah organisasi sangat bergantung pada sistem kaderisasi, dan upaya yang dilakukan organisasi untuk membangun jemaah yang solid, kuat, dan konsisten. Di sinilah pentingnya membahas dakwah kultural sebagai salah satu jalan untuk membangun jemaah atau komunitas yang durable.

Dakwah Kultural, Membangun Jamaah

Ismail Fajrie Alatas dalam buku terbarunya, What is Religious Authority: Cultivating Islamic Community in Indonesia, mengisyratkan bahwa Islam berkembang di nusantara karena adanya komunitas atau jemaah yang dirawat terus-menerus oleh para ulama dari waktu ke waktu. Tanpa ada usaha merawat dan membangun komunitas atau jemaah, Islam tidak akan mungkin tumbuh besar seperti sekarang di nusantara.

Membangun jamaah bukan perkara mudah, butuh kerja keras dan keseriusan. Tidak cukup hanya dengan memiliki pengetahuan, tetapi juga harus menyiapkan diri secara total untuk melayani kebutuhan masyarakat. Karena itu, tidak mengherankan bila banyak ulama, waktunya lebih banyak habis untuk masyarakat, ketimbang keluarganya sendiri. Rumahnya menjadi ruang konsultasi masyarakat, tempat bertanya dan berkeluh-kesah tentang masalah apapun. Syekh Abu Bakar bin Salim (w. 1584) misalnya, seorang ulama besar di Yaman, dikisahkan bahwa keluarganya menyiapkan  seribu potong roti untuk orang miskin tiap harinya, ini belum termasuk makanan yang disiapkan untuk tamu yang datang silih berganti.

Hal ini sepertinya sudah menjadi fenomena umum di masyarakat Indonesia, di mana banyak rumah ulama/kiai/ustadz/pendakwah yang tidak pernah sepi dari tamu. Waktunya dihabiskan untuk berdakwah keliling, mendidik masyarakat, dan kadang uang pribadinya juga digunakan untuk kepentingan pesantren, majelis taklim, atau kebutuhan sosial lainnya.

Kerja keras dalam membangun jamaah ini diistilahkan Alatas dengan articulatory labor, kerja artikulatif. Kata “labor” digunakan dalam istilah ini untuk menunjukkan sebuah kerja terus-menerus yang membutuhkan waktu sangat lama. Kerja membangun jamaah seperti halnya seorang petani yang menggarap sawah: ia datang tiap hari ke sawah, memastikan padi tidak ada yang dimakan burung atau diganggu hama, dan tidak bisa juga dipastikan hasil panennya berhasil seratus persen.

Kerja artikulatif ini yang kadang jarang dilihat. Popularitas bukan sesuatu yang tiba-tiba turun dari langit. Kalau ada organisasi yang masih bertahan sampai sekarang, itu pasti karena pendiri dan pengurusnya melakukan kerja artikulatif terus-menerus, sehingga organisasi yang didirikan pada tahun abad 20-an misalnya, masih tetap dianggap relevan oleh generasi pada sekarang. Begitu juga dengan perkembangan Islam, ajaran yang dibawa Nabi Muhammad sampai sekarang masih terus relevan, karena ada living connector (penghubung yang hidup) antara masa sekarang dengan masa kenabian. Living connector inilah, meminjam istilah Alatas, yang melakukan kerja-kerja artikulatif supaya inti dari ajaran Islam diterima dan dipahami masyarakat lokal.

Maka dari itu, penguasaan terhadap lokalitas menjadi sangat penting dalam membangun jamaah. Alatas dalam bukunya mengambil contoh Habib Luthfi bin Yahya Pekalongan. Dulu Habib Luthfi tidak sepopuler sekarang ini. Ia juga bukan lahir dari keluarga yang populer. Habib Luthfi tidak seperti para habaib yang lain, yang belajar di Yaman ataupun negara Arab lainnya. Habib Luthfi belajar dengan ulama lokal. Beliau nyantri di Pesantren Benda Cirebon, dan setelah itu ngaji dari satu ulama ke ulama lain. Karena mengaji dengan ulama lokal dan berpindah dari satu wilayah ke wilayah lain, Habib Luthfi memiliki kemampuan bahasa lokal yang sangat baik. Dia fasih bahasa jawa dan sunda, sehingga ia mampu menyampaikan Islam dengan bahasa lokal dan mudah dimengerti masyarakat. Karena sering keliling, tidak belajar di satu tempat, pengalaman ini memperkaya wawasan dan mempertajam kepekaan Habib Luthfi terkait persoalan yang sedang dihadapi masyarakat.

Pengalaman lokalitas yang kaya itu membuat pengajian Habib Luthfi lebih mudah diterima masyarakat lokal, ketimbang para habaib lain yang berada di Pekalongan, yang tidak fasih menggunakan bahasa lokal, karena terbiasa menyampaikan dengan bahasa Arab. Dengan modal bahasa itu pula, Habib Luthfi memiliki kemampuan untuk menerjemahkan sunnah Nabi Muhammad agar sesuai dengan kebutuhan masyarakat lokal, tanpa mengurangi dan merusak substansinya.

Melalui analisa Alatas ini, dapat dipahami bahwa wawasan lokalitas sangat diperlukan dalam membangun jamaah. Seorang figur mesti memahami masyarakat yang menjadi sasaran dakwahnya secara baik. Pentingnya memahami kultur, budaya, dan lokalitas itu sejak dulu sudah ditekankan para ulama. Ibnu Qayyim al-Jawziyyah misalnya,  mengkritik mufti yang mengeluarkan fatwa tanpa memperhatikan kondisi sosial, tradidi, dan budaya yang berkembang di dalam suatu masyarakat. Mufti yang berfatwa hanya dengan modal kitab, tanpa melihat kondisi sosial dan budaya masyarakat, itu sama seperti dokter yang memberi resep obat tanpa memeriksa kondisi pasien terlebih dahulu.

Memahami realita sosial dan kultur masyarakat tidak bisa sekeder membaca buku. Para intelektual mesti turun gunung, berbaur langsung dengan masyarakat. Pengurus Muhammadiyah mesti kembali ke akarnya, yaitu jamaah atau komunitas yang menjadi tempat awal tumbuhnya organisasi. Antara pengurus dan jamaah harus berdekatan, supaya mengetahui betul permasalahan apa yang dihadapi masyarakat.

Dalam perjalanannya, ada kesan yang ditangkap sebagian orang bahwa Muhammadiyah masih menjaga jarak dengan masyarakat bawah. Seperti yang ditulis Suparto, Muhammadiyah terjebak dalam penyakit elitisme. Muhammadiyah dianggap organisasi kaum bourgeois yang belum mengakar dan diterima oleh masyarakat luas. Elitisme itu pun terlihat pada sikap dan perilaku sebagian anggotanya yang sok priyayi dan enggan bergaul dengan masayrakat setempat, baik secara kultural ataupun sosial. Alih-alih merangkul hati masyarakat melalui organisasi ini, Muhammadiyah dipandang gerakan nyleneh yang salah mangsa karena perilaku segelintir Muhammadiyahis yang tidak luwes dan akomodatif.

Masalah selanjutnya, menurut Suparto, adalah Muhammadiyah dipahami sebagian masyarakat sebagai gerakan ganyang TBC (Tahayul, Bid’ah, dan Churafat). Sebenarnya Muhammadiyah bukan gerakan pemberontakan budaya, tapi karena sifat Muhammadiyah yang anti pati terhadap budaya lokal menjadikan organisasi ini tampak tidak berpijak pada realitas budaya. Kuntowijo, sebagaimana dikutip Suparto, menyebut gerakan ini sebagai “gerakan kebudayaan tanpa kebudayaan”.

Dalam beberapa hal, sebagian orang juga menyamakan Muhammadiyah dengan wahabisme. Keduanya disamakan karena terkesan memusuhi tradisi dan budaya lokal. Azyumardi Azra dalam pengajian Ramadhan PP Muhammadiyah tahun 2005 di UMY menepis tuduhan ini. Menurutnya, Muhammadiyah bukan salafisme wahhabiyah, bukan juga salafisme Abduh yang menekankan rasionalitas, bukan juga salafisme Ibnu Taimiyyah yang polemis, ataupun salafisme Ibnu Abdul Wahhab yang reaksioner dan pro kekerasan. Salafisme Muhammadiyah ialah salafisme wasathiyyah, yaitu sebuah pemahaman memurnikan akidah, namun tetap berkarakter wasathi (tengahan/moderat) sesuai dengan realitas historis dan  sosio-religius masyarakat Islam di kawasan Nusantara.

Pengurus Muhammadiyah tampaknya sudah sadar dengan beberapa catatan ini, mulai dari anggapan elitis sampai disamakan dengan wahabisme. Sebab itulah, gerakan dakwah kultural perlu diperkuat dan ditanam hingga benar-benar kokoh. Seperti disebutkan dalam TOR Pengajian Ramadhan Pimpinan Pusat Muhammadiyah 2024, istilah dakwah kultural ini lahir tahun 2002 pada Tanwir Denpasar. Maksud dari istilah ini supaya Muhammadiyah memberi perhatian terhadap budaya atau kultur yang ada di masyarakat dalam berdakwah, dan memperkuat gerakan dakwah di berbagai komunitas, baik komunitas marjinal, komunitas bawah, sampai komunitas virtual atau digital.

Artikel bagian dua klik di sini