Bulan lalu saya menonton sebuah video di insta-story teman saya, kemudian melacaknya melalui Google. Tak memakan waktu lama, ketemulah video tersebut. Saya langsung berselancar di akun Instagram yang dimiliki oleh seorang pemuda yang tidak ingin mengklaim dirinya sebagai pendakwah tersebut. Ketertarikan saya bukan saja pada pesan yang disampaikan oleh sang video blogger (baca vlogger) bernama Munawwir Maulidin, namun sosok pendakwah yang masih berusia cukup muda.
Saya kemudian melanjutkan aktifitas berselancar di akun yang memiliki pengikut sudah menyentuh angka 134 ribu followers. Setelah menikmati dan menyimak beberapa video dakwah (atau video blog disingkat vlog) yang dilakukan oleh Munawwir Maulidin tersebut, saya mendapati bahwa sang vlogger tidaklah satu-satunya pembuat video yang cukup aktif di media sosial berbasis video tersebut.
Ada akun @hawariyyun yang juga sering berdakwah soal kritik terhadap pergaulan anak muda, persoalan agama, dan negara memiliki followers sebanyak 380 ribu dan @fuadbakh yang sering menyampaikan tema soal illuminati dan ancaman luar terhadap Islam, mempunyai followers 713 ribu, dan masih banyak lagi.
https://www.instagram.com/p/Bn7NDr2AdBW/?hl=en&taken-by=fuadbakh
Sedangkan, Munawwir Maulidin lebih sering menyampaikan persoalan perempuan dan perilaku para remaja. Setiap vlogger dakwah tersebut, mereka berjejaring antar sesama penggiat dakwah dengan sama-sama menuliskan tanda pagar (tagar) sebagai penanda identitas gerakan dakwah mereka.
Apa yang telah dilakukan oleh para vlogger dakwah ini sebenarnya mengkonfirmasi apa yang telah diramalkan oleh Bertolt Brecht, bahwa lahirnya teknologi media baru akan memberikan akses media kepada siapa saja. Apalagi dengan hadirnya teknologi komputer dan internet, akses media akhirnya tidak lagi dikuasai pemilik modal dan kekuasaan. Kehadiran media sosial yang akhirnya memberikan akses yang luas kepada siapa saja untuk memanfaatkan media digital.
Vlogger dakwah yang beraktivitas memanfaatkan media sosial berbasis video seperti Youtube dan Instagram benar-benar memanfaatkan kesempatan ini. Mereka meraih cukup banyak pengikut setiap mengupdate video, ini terbukti dari angka yang melihat atau menayangkannya bisa mencapai angka ribuan dalam waktu yang tidak begitu lama. Kreatifitas yang harus dimiliki untuk menyiarkan video dakwah kebanyakan oleh mereka yang berusia muda. Oleh sebab itu, masuk akal mengapa para pendakwah di media sosial masih berusia cukup muda.
Sebelum kita melanjutkan pembahasan soal vlogger dakwah, ada baiknya kita mengenal dulu apa itu budaya pop. Dalam kajian filsafat posmodern, budaya pop adalah budaya yang diproduksi dan dinikmati oleh orang kebanyakan. budaya pop memiliki sisi emansipasi dan resistensi di satu sisi dan dominasi dan ideologi di sisi yang lain. Budaya pop sebenarnya selalu terkait dengan apa yang namanya ekonomi politik dalam kebudayaan. Jadi, budaya pop adalah alat perlawanan bagi rakyat biasa melawan apa yang disebut sebagai budaya tinggi. Kehadiran budaya tinggi disebabkan adanya dominasi dalam kebudayaan, yang dibentuk melalui penguasaan legitimasi atas kebudayaan.
Perlawanan budaya pop ini juga bagian dari solidaritas dan emansipasi atas sindikasi untuk melawan budaya tinggi tersebut. Namun, perbincangan dualisme antara budaya tinggi dan budaya pop sudah tidak lagi laku, sebab sudah digantikan dengan dualisme baru yaitu kapitalisme ekonomi dan budaya, yang kemudian membentuk standar baru akan kebudayaan populer.
Menelisik fenomena vlog dakwah ini sebagai bagian dari budaya pop, memberikan penjelasan bagaimana keruntuhan otoritas dakwah yang selama ini dikuasai oleh para ulama bisa disingkirkan dengan kehadiran para pendakwah muda yang dianggap belum memiliki kapasitas dan kapabilitas yang cukup untuk menjadi otoritas keagamaan. Para pendakwah muda yang membikin vlog ini dalam waktu sekejap bisa terkenal dan video-videonya disebar dan dibagikan di berbagai laman media sosial, bahkan ketenaran dan kepopulerannya melebihi dari ulama yang selama ini sudah berkecimpung lama di dunia dakwah Islam.
Kepopuleran dakwah lewat video blog ini sedikit berbeda dengan apa yang dilakukan oleh para pendakwah selama ini, vlog dakwah ini selalu dibuat hanya memiliki durasi 1 menit. Dakwah yang selama ini cukup menyita waktu yang lama, sekarang sudah dikreasi dakwah yang pendek tersebut. Mengapa durasi pendek yang dipilih? Alasan yang saya temukan adalah alasan mudah diunggah ke laman media sosial dan bisa dibagikan kembali oleh para pengikutnya ke media sosial yang lain, yang biasanya diunggah untuk dijadikan status di Facebook atau Whatsapp.
Di sinilah keruntuhan otoritas dakwah yang selama ini dipegang oleh para ulama, sekilas terlihat sekilas penyebabnya adalah kegagapan teknologi. Tapi, jika kita melihat ketersingkiran dakwah dari para ulama tak sekedar kegagapan atas kemajuan teknologi media sosial tapi juga suara-suara dakwah dari mereka yang berbeda dengan mainstream selama ini terbungkam bisa berbicara melalui media baru, yang mendaulat mereka sebagai pesaing otoritas juga berperan tersingkirnya para ulama.
https://www.instagram.com/p/BniRp_nA5J3/?hl=en&taken-by=munawirmaulidin_
Selain itu, ada persoalan pengemasan konten. Konten vlog dakwah yang selama ini diproduksi oleh para pemuda tersebut cocok dengan apa yang disebut gaya berpikir masyarakat sekarang, yaitu singkat, padat dan menarik.
Dakwah akhirnya yang cuma berdurasi 1 menit tersebut bisa menggerus apa yang dikhawatirkan oleh Prof. Dr. Nadirsyah Hosen dalam salah satu ceramahnya mengatakan bahwa umat muslim sekarang sudah kurang menyukai kedalaman dan perbedaan yang ada dalam ajaran Islam. Akhirnya semuanya dikemas sebagai sebuah suruhan kepada umat ketimbang dakwah yang berusaha mencerdaskan dan mengajak umat melihat Islam lebih dalam.
Akhirnya, ajaran Islam mungkin saja akan terasa sangat dangkal dan sulit menerima perbedaan. Di sinilah peran kapitalisme ekonomi mulai masuk dalam dakwah sekarang ini, dengan segala keajaiban yang ditawarkan oleh kapitalisme akhirnya dakwah tidak lagi cuma sekedar yang penyampaian pesan agama tapi kemasan yang penting agar semakin banyak warga digital yang mengklik tombol “follow” di akun media sosialnya.
Ajaran Islam yang didakwahkan hanya bagian kecil yang muncul dalam setiap vlog dakwah, tapi lebih banyak dihiasi dengan tampilan sang dai yang dipermak agar enak dipandang, backsound yang membius dan pemandangan yang indah atau dalam bahasa sekarang instagramable. Dengan masuknya kemasan bagian yang diperhatikan, kapitalisme mulai memainkn perannya dengan masuk menawarkan pakaian yang bagus dan menarik saat membuat video. Saat vlog dakwah yang dilakukan lebih banyak berbungkus budaya pop, maka akan ada banalitas (pendangkalan) baik nilai atau ajaran yang ada dakwah. Banalitas atas dakwah akan terjadi apabila pendakwah melakukan simplifikasi (penyederhanaan) yang bisa membuat umat akhirnya lebih terbiasa berpikir dangkal dan bisa berakibat sulit menerima perbedaan. Pendakwah seharusnya bisa mempertimbangkan cara dakwah yang bisa mencerdaskan dan bisa arif dalam perbedaan pandangan dalam Islam.
Pertanyaan yang muncul adalah apakah dakwah 1 menit bisa melakukannya? Saya masih meragukan itu bisa dilakukan.
Fatahallahu alaihi futuh al-arifin