Seorang laki-laki tiba-tiba mengumpat dengan keras. Ia hampir saja membanting smartphone yang dari tadi ia mainkan. Saya yang duduk di sampingnya sempat kaget mendengar ia mengumpat, begitu juga pemilik warung kopi tempat saya dan laki-laki dadi nongkrong. Hidayat nur wahid
Teman si laki-laki itu berusaha meredam amarahnya dengan sesekali melempar pertanyaan, “Kenapa, Loe?”
Laki-laki tadi kemudian menjawab dengan lekas, “Ini nih, masak ada pejabat negara kayak gini, suka provokasi, ngutip berita dari situs nggak jelas. Bukannya meredam suasana, malah ‘manas-manasin’.”
“Oh, wakil ketua MPR ini, bukannya dia juga mantan dosen UIN Jakarta, ya?” jawab teman si laki-laki. Obrolan mereka berdua semakin panjang dan berlanjut membahas masa lalu sang wakil ketua MPR. Namun saya tidak hendak menulis obrolan kedua laki-laki di Warung kopi ini tentang masa lalu sang wakil ketua MPR ini.
Walaupun tidak disebutkan namanya, saya sudah bisa menebak siapa yang dimaksud dengan wakil ketua MPR oleh teman si laki-laki itu. Anggapan saya ini ternyata seratus persen benar setelah mendengar mereka menyebut sebuah nama. Saya pun mulai melacak akun Twitter centang birunya, penasaran dengan tweetnya. Anda pasti faham siapa nama pejabat ini, karena saya juga telah menulis namanya di judul tulisan ini.
“Kita berduka, atas tragedi genocyda di Wamena.32 Orang Tewas&Ribuan Mengungsi. Sebagian Besarnya Warga Pendatang. Pemerintah Tetap Harus Selesaikn Kabut Asap, Sikapi Bijak Demo2, Tapi Tak Boleh Remehkan Tragedi di Wamena. Kelanjutan NKRI Taruhannya,” tulis Hidayat Nur Wahid (HNW).
Twit HNW ini tak pelak memancing banyak komentar kontra. Ulil Abshar misalnya, menyayangkan penggunaan diksi yang kurang tepat, yaitu genosida. Menurut Ulil, HNW ngawur jika menyamakan kerusuhan di Papua dengan Genosida.
Kita berduka, atas tragedi genocyda di Wamena.32 Orang Tewas&Ribuan Mengungsi. Sebagian Besarnya Warga Pendatang. Pemerintah Tetap Harus Selesaikn Kabut Asap, Sikapi Bijak Demo2, Tapi Tak Boleh Remehkan Tragedi di Wamena. Kelanjutan NKRI Taruhannya. https://t.co/DDQcvjgtcq
— Hidayat Nur Wahid (@hnurwahid) September 28, 2019
Tak hanya Ulil, Komisioner Komnas HAM, Beka Ulung Hapsara juga turut berkomentar. Menurut Beka, HNW tak cermat menggunakan kata genosida untuk kasus kerusuhan di Wamena karena kejadian tersebut tidak sesuai dengan maksuda atau definisi dari genosida yang tertuang dalam UU No 26/2000 tentang Pengadilan HAM
“Pak, sebaiknya bijak dalam menyimpulkan sebuah peristiwa. Kita semua berduka dan marah terhadap tragedi kemanusiaan di Wamena tetapi tidak lantas dengan mudah menyimpulkan itu genosida. Rujukannya UU No 26/2000 tentang Pengadilan HAM,” protes Beka melalui akun Twitternya.
Dalam pasal 8 UU No 26/2000 tentang Pengadilan HAM menyebutkan, “Kejahatan genosida sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 huruf a adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama.”
HNW memang tidak sekali ini salah menggunakan diksi, sebelumnya ia juga sering menyebarkan berita hoaks melalui akun Twitternya. Sayangnya, ia sama sekali tak pernah meminta maaf. Saat tahu kalau unggahan twitnya itu hoaks, ia hanya menghapusnya dan berharap warganet melupakannya begitu saja.
Kesalahan HNW menggunakan diksi genosida ini bisa jadi karena dua hal: pertama, karena dia memang tidak tahu definisi genosida yang sebenarnya, atau kedua, dia memang sudah tahu definisi genosida, hanya saja ia memang sengaja mengunggah diksi itu dengan berbagai tujuan, semacam memperbanyak follower misalnya, atau menguji pemahaman warganet tentang kata genosida. Kita husnudzon saja, lah.
Jika kita analogikan twit HNW ini dengan hadis dan HNW sebagai perawinya, tentu dan sudah pasti ditolak bilittifaq, karena sebuah hadis (dalam hal ini twitnya HNW) tertolak jika perawinya sering berbohong atau sebar hoaks.
Dalam ilmu hadis, perawi seperti HNW ini tergolong perawi yang matruk, perawi yang terlalu sering berbohong sehingga masyarakat tidak bisa memilih mana ucapannya yang bohong dan tidak. Perawi matruk seperti ini tidak bisa dikutip ucapannya. Dalam segi diksi twit yang disampaikan juga ia salah. Dalam ilmu hadis, kasus semacam ini bisa disebut mungkar, yakni ketika seorang perawi sering melakukan kesalahan dalam menyampaikan berita. Perawi mungkar seperti ini juga tidak bisa dipercaya.
Lalu yang jadi masalah adalah, jika pejabat negara tidak bisa dipercaya, kita harus percaya dengan siapa lagi?