Rasanya jengkel sekali ketika situasi wabah yang semakin memburuk ini masih saja ada banyak pihak yang tidak memiliki empati sama sekali. Mereka berkonspirasi bahwa wabah ini dirancang untuk menghancurkan Islam dan pihak lainnya lagi mengatakan bahwa wabah ini adalah rekayasa perusahaan farmasi global.
Sikap tidak empatik itu mungkin masih bisa kita maklumi jika itu dilakukan di awal tahun lalu, ketika virus yang menyerang ini masih samar-samar kita ketahui identitasnya. Namun, hal ini menjadi sangat keterlaluan ketika sikap sosiopat itu muncul ketika jumlah kematian pasien terinveksi mencapai 60.000 orang lebih.
Jika saja kapasitas stadion Gelora Bung Karno itu adalah 80.000 penonton, maka korban wabah ini sudah hampir memenuhi stadion terbesar itu. Bayangkan saja, Anda sedang menonton timnas Indonesia melawan Malaysia pada perhelatan Piala AFF 2010 lalu. Anda tentu akan melihat seisi stadion itu penuh sesak manusia yang barangkali adalah teman, saudara atau tetangga kita. Situasi wabah kita saat ini telah menelan korban hampir satu stadion itu.
Sikap yang tidak empatik ini memang sangat mengherankan. Bukankah kebanyakan dari kita sebenarnya sangat takut untuk menghadapi kematian ya? Kita tak ada yang siap untuk mati dan tak siap juga orang terdekat kita meninggal mendahuli kita. Rasa kehilangan atas orang yang terkasih dan terdekat itu sebenarnya adalah musuh peradaban umat manusia.
Namun, mengapa masih ada saja yang memiliki sikap angkuh sehingga masih bersikap yang menyepelekan wabah bahkan tak jarang publik figur banyak yang membuat misinformasi atas situasi wabah yang membahayakan ini.
Dulu, di masa awal-awal wabah banyak publik figur yang membuat misinformasi masyarakat. Namun, akhirnya mereka merasakan sendiri ganasnya wabah ini dan akhirnya dengan sedikit demi sedikit merevisi pernyataannya dengan rasa malu.
Namun, mengapa lirik “yang patah tumbuh dan hilang berganti” ini juga berlaku kepada publik figur yang meremehkan wabah. Masih ada lagi saja yang meremehkan dan menuding kalau wabah ini adalah reka-reka. Seolah-olah, ide meremehkan wabah ini laksana risalah kerasulan yang terus-menerus memiliki aktor yang terus berganti.
Di Twitter beredar kicauan yang menceritakan cerita temannya yang bekerja sebagai sopir ambulan katanya disengaja keliling perumahan warga untuk memberikan teror dan menakut-nakuti warga. Cerita yang mendelegitimasi kenyataan wabah itu akhirnya menghasilkan korban. Sebuah ambulan berisi pasien yang sedang melintasi di sebuah desa di Klaten dilempari batu warga karena dituduh menyebar ketakutan.
Kita berharap risalah kesesatan informasi ini bisa lenyap dan aktornya lekas menginsafi kesesatannya. Ada kisah pertaubatan menarik di novelnya Albert Camus yang berjudul Sampar (The Plague). Kisah pertaubatan ini relevan dengan situasi wabah yang sedang kita alami seperti saat ini.
Saat itu, kota Oran di Aljazair terkena wabah sampar. Situasinya persis seperti yang sedang kita alami saat ini, banyak orang tiba-tiba sakit dan tiba-tiba meninggal dunia. Kematian telah membat seisi kota frustasi dan penuh keputusasaan. Di situasi yang mengkhawatirkan itu ada agamawan bernama pastur Paneleoux yang di setiap ibadah gerejanya selalu mengatakan bahwa “wabah ini adalah hukuman dari Tuhan”.
Pastur Paneleoux meremehkan kehadiran wabah. Ia terus-menerus mengulang-ulang khutbahnya bahwa kita telah dihukum Tuhan karena banyak dosa. Sampai akhirnya ia bertaubat ketika ia melihat dengan tatap wajahnya sendiri seorang anak kecil yang seharusnya tidak punya dosa juga meninggal karena sampar.
Pastur Paneleoux meratapi kematian itu dan sekaligus menyesali khotbah-khotbahnya. Ia telah menginsyafi bahwa selama ini dengan sembarangan menghakimi wabah dengan justifikasinya dengan kitab suci. Dan akhirnya ia tahu bahwa itu salah.
Kasus yang serupa itu belakangan juga terjadi di sekitar kita. Banyak orang tak memercayai adanya wabah dan menjustifikasi kesesatannya dengan dalil kitab suci maupun argumentasi sok kritis dengan menyebut wabah adalah ulah pebisnis farmasi.
Seyogyanya kita harus belajar dari puluhan ribu korban yang telah meninggal karena wabah ini. Lebih dari 60.000 wajah mereka harusnya menjadi pengingat kita untuk lebih empati dengan keadaan yang mengkhawatirkan.
Sebagaimana sikap empatik seorang dokter di novel Sampar itu yang begitu murung dan sedih ketika setiap ada kematian. Suatu waktu, sang dokter ditanya mengapa ia bisa sebegitu sedihnya dengan situasi dan kematian akibat wabah itu. Dokter Reux menjawab “karena penderitaan.”
Ya, karena mengingat penderitaan korbanlah seyogyanya kita lebih bersimpati. Untuk wajah-wajah yang penuh derita telah berjuang melawan wabah ini, mari kita bersikap lebih empati.