Akhir-akhir ini dunia sedang digemparkan oleh merebaknya wabah virus Covid-19. Virus yang muncul pertama kali di Wuhan Cina pada awal Desember 2019 ini berawal dari sebuah pasar hewan di Huanan dan telah menyebar ke ratusan negara lainnya. Berbagai tindakan dilakukan guna mencegah penyebaran virus tersebut, salah satunya kebijakan semi-lockdown yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Solo. Tulisan ini hendak merespon, tepatkah tindakan Pemkot Solo yang salah satu poin pencegahannya adalah dengan memusnahkan binatang kelelawar?
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada hari Rabu, 11 Maret 2020, mengumumkan bahwa penyakit virus corona atau COVID-19 yang telah melanda setidaknya 114 negara dan membunuh lebih dari 4.000 orang secara resmi menjadi pandemi. Pengumuman ini sekaligus menjadi penanda bahwa keberadaan dan pencegahan penyebaran virus corona harus ditangani dengan serius.
Saat ini, himbauan untuk tidak berkumpul, mengurangi perjalanan ke tempat jauh, tetap berada di rumah, serta senantiasa menjaga kesehatan dan kebersihan tengah digencarkan guna mencegah penyebaran virus ini. Beberapa Pemda memerintahkan agar sekolah dan universitas diliburkan selama dua minggu agar para pelajar tetap berada di rumah.
Sayangnya tak semua kebijakan pemerintah dalam menanggapi isu ini tepat untuk dilakukan. Misalnya kebijakan Pemkot Solo yang melakukan pemusnahan kelelawar di Pasar Depok sebagai salah satu dari 13 poin pencegahan virus corona. Total 193 kelelawar dari pasar tersebut telah dibius, dibakar, dan dipendam karena diduga menjadi penyebab adanya virus corona.
Yang penulis agak herankan, bukankah hati kelelawar dapat dijadikan obat penyakit asma, ya? Asumsi ini penulis peroleh sejak kecil dan ketika seorang teman penulis juga mengonsumsinya sebagai obat asmanya. Salah satu suku di Palangkaraya, suku Dayak Manyan juga kerap mengkonsumsi kelelawar sebagai makanan khas mereka (borneonews.co.id/berita/48058-kelelawar-bisa-jadi-obat-tradisional-untuk-sakit-asma).
Berdasarkan berita yang beredar, memang belum jelas apakah benar kelelawar merupakan hewan yang menjadi penyebab utama adanya virus corona ini. Bahkan dikutip dari South China Morning Post, Selasa (25/2), penelitian yang dilakukan tim peneliti Xishuangbanna Tropical Botanical Garden di bawah pengawasan Chinese Academy of Sciences dan Chinese Institute for Brain Research di Beijing mengatakan bahwa virus tersebut berasal dari luar pasar Huanan Wuhan. Terlepas dari mana sebenarnya sumber utama virus ini, penelitian tersebut setidaknya menunjukkan pada publik bahwa kelelawar belum tentu dan kemungkinan bukan penyebabnya.
Kalaupun benar bahwa kelelawar mengandung virus yang dapat menular ke manusia dan membahayakan hidup manusia, pantaskah ia dipersalahkan dan dipaksa bertanggungjawab atas hal tersebut dengan cara dimusnahkan?
Ada artikel menarik di social.ecology.org yang menyebutkan bahwa masalah ini bukan terletak pada hewan tersebut, namun: “is the way that cutting down forests and expanding towns, cities, and industrial activities creates pathways for animal microbes to adapt to the human body” (adalah cara menebang hutan dan memperluas kota, dan kegiatan industri menciptakan jalur bagi mikroba hewan untuk beradaptasi dengan tubuh manusia). Bahwa kembali pada perilaku manusialah virus yang tadinya aman bagi para hewan liar tersebut menjadi berbahaya. Akibat apa? Kalau tidak habitatnya rusak akibat ekspansi kapitalisme ya masuknya para hewan ini ke pasar itu sendiri.
Dalam Islam sendiri, Allah sudah memberikan contoh yang baik melalui Nabi Sulaiman tentang bagaimana memperlakukan para binatang yang notabenenya makhluk ciptaan Tuhan yang senantiasa berdoa dan berdzikir. Salah satu kisahnya adalah ketika beliau merasa kasihan pada semut yang berdoa meminta hujan pada Allah SWT lalu menyuruhnya pulang. Salah satu riwayat menyebutkan bahwa semut itu berdoa:
“Ya Allah, sesungguhnya kami salah satu dari makhluk-Mu yang sangat memerlukan rezeki-Mu. Maka, jangan Kau binasakan kami sebab dosa-dosa anak cucu Adam (manusia).” (Imam Ibnu ‘Asakir, Tarîkh Madînah Dimasyq, 1995, juz 22, h. 287 dalam nu.or.id).
Kisah tersebut setidaknya telah mewakili ungkapan para hewan mengenai hidup mereka. Baik semut atau kelelawar tak semestinya menanggung akibat dari dosa yang dilakukan oleh manusia. Apalagi khusus dalam kasus Covid-19 ini, belum dapat dipastikan kelelawar menjadi penyebab utamanya.
LIPI dalam unggahannya di twitter menyatakan bahwa untuk mencegah virus corona kelelawar tidak harus dimusnahkan. Kelelawar merupakan bagian penting dari ekosistem hutan sebagai penyebar biji yang kemudian tumbuh menjadi pohon-pohon baru penyedia oksigen bagi manusia. Kalau demikian, bukankah sebaiknya kelelawar yang ada di pasar hewan itu dikembalikan pada habitat aslinya?
Hemat penulis, sebaiknya pemerintah jangan gegabah untuk memusnahkan kelelawar atau para hewan lain yang diduga membawa virus corona. Tindakan pemusnahan kelelawar, selain tidak tepat untuk mencegah virus corona, juga kemungkinan memicu tindakan yang sama oleh masyarakat pada umumnya yang hanya tahu bahwa kelelawar berbahaya bagi manusia karena virus corona yang mereka bawa. Akibatnya, ekosistem kelelawar akan terganggu.
Pemerintah lebih baik fokus kepada tindakan yang memang telah terbukti dapat mencegah penyebaran virus ini, seperti mengkampanyekan social-distancing dan self-isolation di masyarakat terutama yang masih awam mengenai informasi ini. Pemerintah juga diharapkan dapat menjamin kebutuhan pokok mereka yang harus meninggalkan pekerjaannya dikarenakan menjadi korban Covid-19.
Dan yang sangat penting, pemerintah harus melakukan tes massal untuk mengetahui persebaran virus ini sebelum benar-benar harus menerapkan kebijakan lock-down. Kita tentu tidak ingin tiba-tiba virus sudah kemana-kemana sedangkan kita semua tahu tak mungkin semua orang dapat ditampung di rumah sakit yang sangat terbatas jumlahnya di Indonesia.
#DirumahAja #JagaJarak