Tagar #pulangkajian mendadak viral. Rupanya, video seorang TikToker, Clara Shinta, balik dari kajian keislaman dari hotel berbintang, memakai mobil mahal yang atapnya bisa terbuka, dan memakai lagu Danza Kuduro menjadi pangkalnya. Video tersebut ditonton hingga jutaan kali di akun TikTok pebisnis ekspor-impor ini.
Dalam waktu sekejap, video Clara kala balik kajian tersebut diduplikasi banyak netizen, terutama perempuan. Video Clara pun mendadak menjadi vibes baru di TikTok. Inilah salah satu wajah Islam digital kita.
Clara sebagai TikToker dan tren kajian keislaman menggambarkan kepada kita bahwa internet telah menjadi bagian dari perjumpaan budaya populer dengan Islam.
Budaya Populer dan Mualaf Generasi Baru
Sulit rasanya kita bisa mengingkari perkembangan media, termasuk teknologi digital dan internet, menjadi bagian tak terpisahkan dalam keberislaman. Media seakan “memberikan” atau “membuka” ruang baru beragam ekspresi keberislaman. Sebelum konten balik kajian, Clara Shinta menjadi perbincangan netizen terkait kisahnya kala pindah agama ke Islam (baca: mualaf).
Clara beberapa kali diundang dalam konten siniar. Di sana dia bercerita bagaimana dinamika dan gelombang yang dihadapi kala memutuskan untuk memeluk Islam, hingga mendapatkan ‘restu’ orang tuanya. Perjalanan spiritual Clara sebagai mualaf mendapatkan atensi publik sebenarnya bukan barang baru dalam lintasan sejarah Islam di Indonesia.
Beberapa mualaf sebelum Clara malah ada yang didaulat sebagai bagian dari otoritas di agama barunya, yakni Islam. Selain perjalanan spiritual yang tidak sedikit mengadung beragam kesulitan dan drama, para mualaf tersebut biasanya “dianggap” memiliki pengetahuan agama mereka terdahulu, khususnya yang memiliki “nilai” rahasia atau “kelemahan” jika dibandingkan dengan agama yang sekarang mereka peluk.
Tak pelak, Islam dihadirkan “sangat superior.” Agama dijadikan ajang tanding saling mengalahkan atau mana yang lebih hebat. Nama-nama mualaf pendakwah menjadi cukup tenar, bahkan hari ini masih menjadi otoritas agama, seperti Irene Handono dan Felix Siauw.
Hew Wei Weng, akademisi asal Malaysia, pernah membandingkan dua pendakwah beretnis Tionghoa. Dalam kajian Weng, begitu panggilan akrabnya, saya mendapati bahwa selera masyarakat Muslim urban adalah salah satu unsur pertimbangan para pendakwah populer, termasuk para mualaf, ini dalam menampilkan dakwah mereka.
Nah, kehadiran Clara dengan konten-konten nge-pop yang relate dengan masyarakat kelas menengah Muslim, bisa menjadi “arah baru” dalam kehadiran para mualaf di formasi sosial kita hari ini.
Bisa jadi, mereka tidak lagi “tertarik” atau “didorong” menjadi otoritas agama, namun telah berubah arah menjadi influencer.
(Tidak) Matinya Kepakaran dan Agama di Jari Para Influencer
Kala orang-orang mencibir internet karena telah melahirkan kondisi yang kita kenal dengan “Kematian Kepakaran.” Fenomena Clara di atas memberikan gambaran bagi kita sebagai pemeluk agama, bahwa kehadiran media sosial telah melahirkan unsur baru dalam keberagamaan kita, yakni para influencer.
Selama penelitian dalam beberapa bulan terakhir, saya mendapati bahwa para influencer ini mulai melekat dalam agama kita. Konten-konten agamis yang diproduksi oleh para influencer bisa jadi memiliki wajah yang berbeda jika mereka “benar-benar menjadi” otoritas agama. Konten mereka lebih bersifat kehidupan pribadi dan berbingkai budaya populer. Memang, konten-konten ini cukup “menarik” jika dibanding dengan wajah agama.
Di salah satu konten media sosial, saya mendapati pengikut menyebut seorang influencer di Banjar dengan panggilan, “Selebriti Haul.” Jika dilihat dari sisi Clara, maka bisa saja kita menyematkan “Sosialita mualaf” yang lebih banyak menghadirkan perjalanan spiritualnya dalam konten-konten yang lebih dekat dengan budaya populer, ketimbang narasi segregatif yang dulu disebarkan.
Apakah kehadiran mualaf generasi baru ini bisa mengancam otoritas agama. Mungkin kita perlu mendiskusikan ulang soal kepakaran di ranah internet. Kepakaran di ranah internet, menurut saya, paling tidak belum mengalami kematian.
Ia hanya sedang menghadapi sesuatu yang belum pernah dilihat sebelumnya, yakni pertarungan sengit untuk menghadirkan “kebenaran” di ranah digital. Sebab, strata sosial yang selama ini ada “dirusak” oleh media sosial dengan membuka “ruang” untuk siapa saja mengklaim kebenaran miliknya.
Di kondisi di atas, agama tidak hanya menghadirkan ruang yang serupa, namun di saat bersamaan juga menghadirkan aktor-aktor baru dalam agama. Apakah aktor-aktor ini mengancam kehadiran ulama? Mungkin iya juga mungkin saja tidak. Sebab, hari ini, ulama diharuskan, bahkan “dipaksa,” beradaptasi dengan kondisi tersebut.
Influencer agamis atau Selebriti Haul di atas tidak benar-benar “mengugat” beragam narasi agama. Namun, mereka lebih banyak menghadirkan agama dalam bingkai budaya pop yang tentu saja menarik untuk dikonsumsi.
Apakah kebenaran agama menjadi terancam? Belum tentu. Sebab, wajah agama dalam budaya populer ini bisa jadi berbeda dengan sisi spiritualitas yang selama ini menjadi salah satu unsur utama agama.
Fatahallahu alaina futuh al-arifin