“Masjid yang megah adalah masjid yang menyebarkan iman dan kasih sayang bagi orang-orang di sekitarnya. Kemegahan masjid terutama bukan pada bentuk dan ukuran bangunan, melainkan pada rohnya,” kata Eyang Mus tokoh dalam Novel Bekisar Merah garapan Ahmad Tohari.
Ungkapan barusan mengingatkan saya atas hal lain yang sama penting dan esensialnya, yakni bagaimana rumah ibadah khususnya masjid bisa menjadi medium untuk pendistribusian Hak Asasi Manusia dalam artian luas tidak semata untuk rumah ibadah. Masjid harus jadi rumah disabilitas, mereka yang diberi cobaan fisik dan senantiasa beribadah kepada-Nya.
Ajaran-ajaran Islam mengatakan bahwa setiap manusia disamping memiliki hak kepada Tuhan, manusia juga memiliki hak kepada sesama manusia lainnya.
Bahkan jika mau kita renungi kembali, setiap hak manusia kepada Tuhan sejatinya akan berdampak baik pula kepada manusia lainnya.
Semisal, saat musim haji kita diminta untuk berkurban atau saat jelang Idul Fitri kita diminta untuk berzakat. Aktivitas-aktivitas barusan adalah bagian dari pemenuhan hak asasi manusia. Dengan berkurban dan berzakat, mereka orang-orang lemah, terpenuhi dan terbantukan kebutuhan hariannya. Keduanya berjalin kelindan satu sama lain.
Dalam lembaran sejarah, rumah ibadah khususnya masjid di era Nabi Muhammad, Masjid bukan hanya tempat ibadah hubungan manusia dengan Tuhannya melainkan juga masjid menjadi ruang perjumpaan sosial yang mengakomodasi kebutuhan kemanusiaan dalam berbagai dimensi.
Misalnya kelompok ashabus suffah, orang-orang Muhajirin yang ditampung Nabi Muhammad Saw di masjid Nabawi di Kota Madinah. Mereka-mereka ini adalah orang yang mendapatkan bantuan hak hidup, mereka tidak hanya dipenuhi hak sosialnya tetapi juga diajarkan banyak hal oleh Nabi Muhammad. Bahkan, bukan mustahil Nabi Muhammad mengajarkan cita-cita semangat membebaskan manusia.
Baca juga : Obrolan Menteri Agama dan Imam Besar Masjid Nabawi, Perkuat Hubungan antar Negara
Dalam konteks hari ini, fungsi masjid semakin membumi dan menemukan maknanya bila merepresentasikan semangat dan cita-cita yang diwariskan oleh Nabi Muhammad.
Masjid bukan hanya tempat untuk ruku’, sujud dan membujuk rayu Tuhan tetapi juga menjadi pusat pemberdayaan seluruh umat tanpa pandang bulu. Maka, celakalah mereka yang menodai masjid dengan perilaku yang jauh dari nilai-nilai kemanusiaan.
Hari ini di banyak tempat, kita sudah melihat masjid yang mulai bergerak ke arah semangat dan cita-cita masjid yang diwariskan Nabi Muhammad yakni masjid yang menjadi pusat pendidikan, pemberdayaan ekonomi, bahkan advokasi sosial. Namun, tantangannya masih besar, terutama dalam memastikan masjid tetap inklusif, ramah, aksesibilitas dan relevan bagi semua kalangan tanpa terkecuali.
Dalam pada itu, ketika membincangkan tentang pendistribusian hak asasi manusia melalui masjid, agaknya ada beberapa hal yang bisa dilakukan. Pertama, masjid harus menjadi tempat yang terbuka bagi siapa saja, terlepas dari latar belakang sosial, ekonomi, penyandang disabilitas atau mereka yang berbeda keyakinan. Semangat ini sejalan dengan prinsip Islam yang menekankan rahmat bagi semesta alam, rahmatan lil ‘alamin. Ternodailah semangat dan cita-cita masjid jika masjid tersebut eksklusif dan hanya bermanfaat untuk segolongan saja.
Kedua, masjid juga dapat mengambil peran aktif dalam membangun kesadaran kolektif tentang pentingnya keadilan sosial.
Mimbar-mimbar skhutbah Jum’at atau pengajian majlis taklim bisa menjadi ruang untuk menyuarakan isu-isu kekinian, misalnya perlindungan terhadap kaum marjinal, keadilan gender,advokasi lingkungan dan hak-hak bagi manusia lainnya. Dengan begitu, masjid tidak hanya mengajarkan ibadah ritual tetapi juga menyuarakan nilai-nilai universal yang menjadi inti ajaran Islam.
Ketiga, masjid bisa menjadi episentrum kegiatan sosial yang mendukung pemenuhan hak-hak dasar dan pemberdayaan masyarakat. Misalnya, program-program layanan kesehatan gratis, bantuan pendidikan bagi anak-anak kurang mampu, atau pelatihan keterampilan kerja bagi kaum muda. Langkah-langkah barusan adalah pemberdayaan untuk umat, agar umatnya bisa maju dan tidak tertinggal.
Baca juga : Marah-marah Soal Musik di Masjid: Ketidakpahaman yang Berujung Penghakiman
Untuk mencapai itu semua, agaknya perlu pengoreksian pribadi dalam diri setiap muslim. Maksudnya, dengan penyadaran bersama kalau demikianlah cita-cita dan semangat masjid idealnya akan terjadi pergeseran cara pandang dan pendekatan pengelolaan masjid. Para pengelola masjid perlu lebih peka terhadap kebutuhan masyarakat sekitar. Maka disinilah titik temu ucapan Eyang Mus seperti di atas. Kemegahan fisik masjid tidak akan berarti apa-apa jika fungsinya sebagai pusat kemanusiaan terabaikan.
Maka roh masjid adalah ruh kasih sayang, keadilan, dan kepedulian itulah yang membuatnya benar-benar megah di mata manusia dan di hadapan Tuhan.
Pada pokoknya, masjid adalah cerminan dari umat yang menghidupinya. Jika umatnya memiliki visi yang kuat tentang bagaimana Islam bisa menjadi rahmat bagi semua, masjid akan menjadi saksi nyata dari visi tersebut. Masjid tidak hanya menjadi bangunan indah yang berdiri kokoh, tetapi juga rumah besar yang mendekatkan kita pada Tuhan sekaligus memperkuat dan mendistribusikan hak asasi manusia lainnya. Kalau begini saya jadi ingat Gus Dur katanya “Agama jangan jauh-jauh dari Kemanusiaan,”