Maraknya hoaks di media sosial harusnya membuat kita semakin berhati-hati dan mawas diri dalam menerima dan menyebarkan berita. Penyebaran hoaks nyatanya tidak hanya dilakukan oleh orang awam hatta yang faham agama sekalipun, bahkan seorang profesor dan ulama pun beberapa kali mudah menyebarkan kabar hoaks. Terlebih jika kabar itu sesuai dengan preferensi politiknya.
Ilmu hadis memiliki beberapa istilah untuk kriteria orang-orang yang kredibel dan dapat dipercaya. Kriteria ini bisa kita gunakan untuk memilih berita mana yang bisa kita percaya dan dari siapa berita atau status medsos tersebut disebarkan.
Ada sekitar lima kriteria yang bisa kita gunakan untuk menilai seseorang apakah kredibel atau tidak, dan bisakah status atau berita yang diunggah di akun medsosnya bisa dipercaya.
Pertama, orang yang tsiqah. Orang ini adalah semua orang yang memenuhi kriteria adil dan dhabit. Baik itu ulama atau orang biasa. Adil kaitannya dengan tidak pernah berbohong dan tidak gampang melakukan hal-hal yang dilarang oleh agama.
Sedangkan Dhabit adalah orang yang kuat hafalannya. Kriteria ini kadang masih susah didapat sekarang. Hadis atau berita yang datang dari orang yang seperti ini, bisa dipercaya. Walaupun harus tetap dibandingkan dengan berita-berita lain yang berasal dari sumber yang mainstream.
Kedua, orang yang tsiqah tapi agak kurang dhabit, sedikit kurang bagus ingatan hafalannya. Hadis atau berita yang berasal dari orang ini bisa disebut hasan.
Ketiga, orang yang sering melakukan kesalahan dalam menyampaikan berita, dan sering lupa (fahsyul ghalat, katsratl ghaflah). Ulama seperti ini hadis atau beritannya mungkar (tergolong daif). Jika ia menyampaikan berita harus kita klarifikasi dahulu dengan sumber lain yang lebih sahih.
Keempat, orang yang sering berbohong, ulama ini disebut muttaham bil kadzab. Hadis yang diriwayatkan disebut matruk: daif parah. Karena sering bohong, ulama ini tidak bisa dipercaya dalam penyampaiannya, ditakutkan yang disampaikan juga kebohongan. Tinggalkan saja kalau dapat info dari orang seperti ini.
Kelima, ulama yang disebut kadzzab, sedikit-dikit kata Rasul, padahal Rasul tidak pernah berkata demikian. Ia sering membuat-buat atau membikin-bikin (al-muhtalaq al-mashnu’) berita palsu sendiri. Dalam konteks hadis, hadisnya disebut maudhu (palsu). Dan jangan pernah percaya sama sekali dengan ulama seperti ini.
Nah, lima kriteria ini mungkin bisa kita gunakan untuk memilah mana ulama yang perlu kita percayai. Terlebih di dunia medsos seperti ini.
Wallahu A’lam.