Laiknya manusia biasa, Nabi Muhammad SAW juga pernah jatuh cinta dan patah hati. Itu terjadi ketika beliau masih muda. Cinta pertama. Namun bukan Siti Khadijah yang menjadi cinta pertama beliau, melainkan seorang gadis asal suku Quraisy bernam Fakhitah. Siapakah gadis itu?
Waktu itu paman sekaligus pelindung nabi paling gigih, Abu Thalib, memiliki tiga orang putra dan beberapa orang putri. Beberapa ada yang sebaya dan menjadi teman sepermainan nabi seperti anak tetua Abu Thalib yang bernama Thalib, Aqil yang berusia empat belas tahun dan Ja’far yang lebih muda. Nabi senang bermain bersama mereka, ditambah mereka juga pribadi-pribadi yang cerdas.
Di antara anak-anak Abu Thalib ini ada salah satu yang menarik perhatian nabi. Ia adalah putri keempat Abu Thalib yang bernama Fakhitah ibn Abu Thalib atau yang kerap dipanggil dengan Umm Hani’. Perasaan cinta pun tumbuh di antara mereka berdua.
Muhammad muda pun menemui pamannya itu. Beliau pun yakin bahwa perasaan cinta ini bukan main-main belaka. Beliau pun ingin meyakinkan Abu Thalib untuk segera menikahkan mereka berdua. Lagi pula, keduanya juga telah mencapai usia nikah. Namun, Abu Thalib sudah punya rencana lain.
Jika saja waktu itu Muhammad datang lebih cepat menemui Abu Thalib, bisa jadi ceritanya akan lain. Ternyata, sebelum Muhammad datang menemui pamannya itu, Umm Hani’ telah dilamar oleh seseorang. Pria itu juga memiliki kemampuan yang istimewa di mata Abu Tholib dan tampak mencintai putri kesayangannya tersebut.
Pria itu bernama Hubayroh, putra saudara ibu Abu Thalib yang berasal dari Bani Makhzum. Ia sendiri juga bukan sekadar pria yang kaya, tapi juga berilmu, bijak dan juga seorang penyair berbakat, sama seperti halnya Abu Thalib sendiri. Ditambah, kekuasaan bani Makhzum di Mekah demikian meningkat seiring dengan kian merosotnya kekuasan Bani Hasyim.
“Pamanku,” kata nabi,”mengapa kau tidak menikahkannya padaku?” tanyanya, lembut.
Tatkala keponakannya itu kembali mendekati, Abu Tholib hanya tersenyum dan menjawabnya,”Mereka telah menyerahkan putri mereka untuk kita nikahi.”
Perkataan itu merujuk pada ibunda nabi sendiri, Aminah ibn Wahab, yang juga merupakan gadis dari suku yang sama dengan Hubayroh.
“Maka, seseorang pria yang baik haruslah membalas kebaikan yang sama dengan apa yang telah mereka berikan pada kita,” tambah Abu Thalib.
Akhirnya, kepada pria tersebut Umm Hani’ dinikahkan. Dan nabi menerima dengan lapang menerimanya. Beliau sadar bahwa Umm Hani’ memang bukan ditakdirkan oleh Allah untuk bersanding bersama dirinya. Bahkan, nabi berdoa untuk kebahagiaan mereka berdua.
Kelak, beliau akan menemukan perempuan tangguh yang sangat ia cintai. Sebuah cinta sejati. Dan cinta sejati itu bernama Khadijah. []
*Diceritakan ulang oleh Dedik Priyanto dari buku Martin Lings, Muhammad: His Life Based on The earliest Sources diterjemahan oleh Qomaruddin SF Muhammad (2013) dan Muhammad ibn Saad dalam Kitab al-Tabaqat al-Kabir, vol. 8. Translated by Bewley, A. (1995), The Women of Madina.