Dalam sebuah hadits qudsi dituturkan bahwa andaikan Allah SWT tidak berkehendak untuk menciptakan nabi terkasihNya yang bernama Muhammad, tentu saja Dia tidak akan repot-repot menciptakan alam semesta. Keberadaan segala sesuatu, dengan demikian, berarti juga bergantung pada kemunculan makhluk paling luhur sekaligus paling tinggi derajatnya tersebut.
Lantaran itulah kemudian ditandaskan dalam diskursus sufisme bahwa seluruh psrtikel di alam raya ini telah menerima syafa’atul kaun atau syafa’at keberadaan dari nabi pungkasan itu.
Tidak pelak lagi, nabi akhir zaman itu tak lain merupakan sumbu atau poros eksistensial yang dikelilingi oleh oleh seluruh partikel alam semesta. Dalam ungkapan Syaikh ‘Abdul Karim al-Jili didedahkan bahwa beliau adalah al-quthbul ladzi yaduru ‘alayhi aflakul wujud, yaitu sebuah kutub yang menjadi pusat atau titik tumpu bagi peredaran dan perputaran semesta. Hal itu mencakup tidak saja terhadap segala dimensi yang bersifat empiris, tapi juga merambah kepada seluruh dimensi spiritual.
Maka tak ayal lagi, dengan demikian dapat dipastikan bahwa seratus dua puluh empat ribu (124.000) nabi dan orang-orang suci di seluruh penjuru alam raya telah menerima piringan mas ruhani dari tangan kemurahan nabi pungkasan itu. Dimensi spiritual mereka adalah sesuatu yang bersifat partikular, sementara cakrawala spiritual Sayyidul Anbiya itu merupakan sesuatu yang bersifat universal.
Dengan meminjam ungkapan puitik Syaikh Muhammad al-Bushiri dalam Burdahnya, perbandingan di antara keduanya laksana sejumlah kecil tetes-tetes hujan dengan keseluruhan hujan yang pernah mengguyur bumi. Atau laksana seciduk air di hadapan samudra raya dengan gelombang yang bergemuruh dan menggetarkan jiwa.
Karena jelas merupakan sumbu semesta, maka dengan pasti dapat ditandaskan bahwa beliau tidak lain merupakan mahallu nazharillah fil ‘alam, yaitu titik fokus pandangan Allah SWT di alam raya. Itulah sebabnya, pendekatan apapun kepada beliau sebagai rasul terakhir di rentetan nabi-nabi adalah sama saja secara hakiki dengan pendekatan terhadap hadiratNya. Alasannya pasti: beliau merupakan representasi dan tajalli yang paling utuh dan cemerlang dari kehadiranNya di antara kepungan makhluk-makhluk yang tak siapapun selain Allah SWT sanggup menghitungnya.
“Sesungguhnya orang-orang yang berjanji setia kepadamu (wahai Muhammad), sebenarnya mereka (sama saja) dengan berjanji setia kepada Allah,” firmanNya dalam al-Quran surat al-Fath ayat 10.
Dalam konteks inilah relevansi kerasulan itu menemukan aksentuasinya. Andaikan beliau bukanlah cermin bening spiritual yang sanggup memantulkan nama-nama, sifat-sifat dan perilaku-perilaku Allah SWT, tentu saja tidak akan pernah terpilih sebagai orang kepercayaanNya untuk menyebarkan risalah, cinta dan kasih-sayang kepada segenap alam raya.
Sungguh sangat mengagumkan bahwa agama yang dijajakannya pada seluruh umat manusia dengan segenap kesungguhan dan ketulusan tidaklah merupakan gugusan ajaran-ajaran belaka, tidaklah semata himpunan dogma-dogma yang kering, akan tetapi terutama merupakan seabrek keteladanan yang benar-benar indah dan sangat terpuji.
Tidak tanggung-tanggung, bahkan Allah SWT sendiri merasa perlu turun tangan secara langsung untuk memberikan stempel paling sakral terhadap keteladanan nabi kelahiran Makkah itu dengan firmanNya: “Demi, sungguh telah ada untuk kalian semua teladan yang baik pada diri Rasulullah, yaitu bagi orang berharap (perjumpaan dengan) Allah, (keselamatan di) hari akhir, dan banyak dzikir kepada Allah,” QS. Al-Ahzab: 21.
Karena itu, tidaklah meleset jika Siti ‘Aisyah, istri beliau sendiri yang paling rupawan, dengan tegas menyatakan bahwa perilaku dan akhlak Nabi Muhammad SAW tidak lain adalah al-Quran. Dengan kata lain, beliau adalah al-Quran yang konkret yang tentu saja merupakan rujukan bagi seluruh pengamalan ajaran Islam.
“Katakanlah (wahai Muhammad), ‘Jika kalian mencintai Allah, maka ikutilah aku. Niscaya Allah akan mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian‘,” QS. Ali ‘Imran: 31.
Ayat di atas tentu saja mengandung makna filosofis yang begitu mendalam bahwa umat Islam tidak boleh tidak mesti dengan sungguh-sungguh dan penuh ketulusan menerjemahkan ajaran-ajaran agamanya ke dalam bahasa tindakan, perilaku, keputusan dan bahkan ke dalam sistem sosial di mana mereka tinggal. Sehingga adegium Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin (rahmat bagi seisi alam semesta) betul-betul tergelar menjadi permadani kenyataan yang begitu nyaman, indah dan menawan.