Ada 5 hal yang selalu diinternalisasi kepada seluruh jamaah LDII saat mengikuti pengajian. Saya memahaminya sebagai sebuah doktrin dilengkapi dengan dalil-dalil yang bertujuan untuk mengikat supaya jamaah terus konsisten berada di dalamnya.
Baca tulisan sebelumnya: Ceritaku Masuk Jamaah LDII dan Kontroversinya di Mata Umat (1/2)
Doktrin yang ditanamkan itu antara lain,
- Ngaji
Dengan mengedepankan dalil tholabul ‘ilmi faridhotun ‘alaa kulli muslim
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
setiap jamaah diwajibkan untuk ngaji dengan cara manqul, musnad mutashil. LDII mengklaim metode inilah yang dianggap paling shahih untuk mengaji agama. Manqul artinya kita mendapatkan ilmu langsung dari guru (bukan buku atau rujukan lainnya ). Musnad – Muttashil artinya ilmunya bersanad dan riwayatnya bersambung sampai ke Rasulullah
- Ngamal
Maksudnya adalah mengamalkan ilmu yang sudah kita dapat pasca ngaji.
وَتِلْكَ الْجَنَّةُ الَّتِى اُوْرِثْتُمُوْهَا بِمَاكُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَ
Pada titik ini, dengan intensitas ngaji yang padat dan ilmu semakin banyak di dapat maka akan jadi tidak mudah. Tapi minimal kita sudah sah untuk mengamalkan karena kita sudah ngaji ilmunya dengan cara manqul, musnad, mutashil itu tadi.
- Mbela
Maksudnya adalah membela agama, dalilnya:
تُؤْمِنُونَ بِاللَّـهِ وَرَسُولِهِۦ وَتُجٰهِدُونَ فِى سَبِيلِ اللَّـهِ بِأَمْوٰلِكُمْ وَأَنفُسِكُمْ ۚ ذٰلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ
Setiap harta yang kita keluarkan untuk urusan jamaah akan dianggap sebagai pembelaan. Dalam prakteknya akan ditemui beberapa jenis pembelaan. Contohnya pembelaan untuk membangun atau merenovasi masjid. Infak untuk setiap rezeki yang didapatkan yang besarannya dibedakan antara jamaah satu dengan yang lain berdasarkan tingkat ekonomi masing-masung.
- Jamaah
Banyak dalil yang mengiringi konsep ini, di antaranya Man arodha buhbuhatal jannah falyalzamil jamaah
Ketika kita akan bepergian ke luar kota wajib hukumnya untuk melapor kepada pengurus setempat untuk kemudian dibekali dengan surat sambung. Fungsinya, dengan surat itu jika kita ngaji di kota tujuan kita pergi maka akan diterima dengan baik oleh pengurus di kota itu. Proses ini disebut sebagai sambung jamaah.
- Tho’at
Yaa ayyuhal ladziina aamanuu Ati’ullah wa ati’urasul wa ulil amri minkum…
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ…
Ayat di atas menjadi dalil dasar ketaatan seorang jamaah kepada pengurusnya. Menurut saya ini kunci dari semua doktrin. Karena taat hukumnya wajib selama tidak ada kemaksiatan. Jadi ketika sudah menceburkan diri dalam jamaah maka dalam keadaan apapun ketaatan kepada pengurus adalah sebuah keniscayaan.
Saya tidak akan mengupas lebih jauh tentang penggunaan beberapa dalil sebagai dasar ditetapkannya aturan tersebut. Bukan ranah dan kapabilitas saya membahas tentang legalitas penggunaan dalil, baik yang diambil dari hadis apalagi Al-Quran. Apalagi belakangan ini banyak oknum yang menggunakan dalil agama demi tujuan tertentu.
Sepeninggal Ibu, dibarengi dengan tuntutan pekerjaan yang semakin padat saya mulai jarang menghadiri pengajian. Pekerjaan yang membutuhkan mobilitas tinggi membuat saya tidak mudah untuk membagi waktu. Belum lagi ada aturan tidak tertulis jika untuk melakukan ibadah shalat Jum’at kita disarankan untuk shalat di masjid LDII. Ini membuat saya kesulitan karena menemukan masjid LDII tidak semudah menemukan masjid NU atau Muhammadiyah.
Karena sering absennya menghadiri pengajian membuat para pengurus berkali-kali datang untuk menasihati. Sampai pernah disarankan untuk pindah pekerjaan demi bisa lancar mengaji. Di titik ini saya mulai bertanya-tanya, karena mendapat pekerjaan yang mapan tidak segampang itu. Rasionalitas saya sebagai manusia biasa tidak bisa menuruti saran semacam itu.
Hingga akhirnya saya memutuskan untuk tidak mengaji lagi di LDII, bukan karena bermasalah dengan orang-orang di dalamnya. Karena sampai hari ini istri dan anak-anak sayapun masih intens mengaji bersama jamaah LDII. Bagi saya itu hanya sebuah perjalanan spiritual yang harus saya lewati. Seiring dengan kebutuhan spiritual yang semakin berkembang dan tidak terakomodir di LDII maka akhirnya saya memutuskan untuk berhenti ngaji di lembaga ini.
Dalam lingkungan LDII membaca literatur-literatur keagamaan merupakan larangan. Jadi jangan berharap ada kajian Ihya’ Ulumuddin-nya Al Ghazali atau Al Hikam-nya Ibnu Athaillah, dan literatur-literatur lainnya. Sampai sekarang saya tidak menemukan jawaban atas pelarangan itu. Saya yakin banyak jamaah LDII tidak berani menanyakannya karena 5 doktrin yang sudah terinternalisasi itu tadi.
Ketertarikan dengan filsafat Islam dan ilmu-ilmu tasawuf tidak bisa dipuaskan hanya dengan ngaji ilmu-ilmu syari’at yang selama ini dikaji di LDII. Bukan sedang menyalahkan ilmunya, tentu saja karena semua tata cara dalam beribadah dan sebagainya juga penting. Ini lebih pada ketertarikan saya pada sebuah ilmu dalam Islam yang selama ini tidak saya dapatkan di LDII, itu saja.
Hingga akhirnya saya rutin belajar Al-Hikam dengan KH. Imron Jamil, pimpinan pesantren Kyai Mojo, Jombang. Kebetulan beliau rutin datang setiap bulan di kompleks tempat tinggal saya. Mendengar pengantar bab awal Al Hikam ini saya sempat shock. Karena ternyata kita tidak boleh hanya bersandar pada amal saja. Bahwa surga bukan didapatkan karena amal-amal kita tapi karena rahmat Allah semata.
Sementara banyak kajian yang redaksinya mengiming-imingi surga untuk setiap amal yang kita buat. Bisa jadi karena salah dalam memahami, banyak di antara saudara kita merasa paling memiliki surga karena berhitung dengan amalnya. Padahal surga hanyalah ciptaan Allah saja, tidak layak untuk dijadikan tujuan akhir. Bahwa akhir dari semua perjalanan hidup manusia yang paling sempurna adalah bertemunya kita dengan Allah, ridho-Nya.
Sampai kemudian saya disadarkan kalau selama ini ibadah yang saya jalani masih tergolong ibadah transaksional. Beribadah supaya bisa masuk surga dan terhindar dari neraka. Bisa jadi kalau Allah tidak menciptakan surga dan neraka saya tidak akan beribadah. Ini menyentak kesadaran yang paling dalam, karena kalangan tasawuf menganggap ini sebagai ibadah dengan level paling rendah. Tapi masih tetap harus bersyukur karena diberi kesempatan untuk beribadah.
Sampai saat ini saya masih mengikuti kajian kitab Al-Hikam dan rutin mengikuti kajian online Ihya’ Ulumuddin-nya Gus Ulil Abshar Abdalla. Demikian juga istri dan anak saya, masih rutin ngaji bersama jamaah LDII. Dalam setiap kesempatan, saya juga menyampaikan ilmu yang saya dapatkan dari kajian yang saya ikuti. Istri, juga anak-anak saya juga tidak masalah jika menjadi makmum shalat.
Berawal dari pengajian beliau pula saya akhirnya kenal dengan bermacam-macam tariqat dengan segala cara dan keunikan masing-masing dalam rangka mereka mencintai Allah dan Rasulnya. Bukan perkara yang mudah jika kita tidak mau membuka cakrawala berpikir untuk melihat betapa luasnya khazanah Islam sesungguhnya.
Pada akhirnya saya menyimpulkan bahwa belajar mendalami agama benar-benar menjadi sesuatu yang sangat personal, tidak bisa diseragamkan antara satu orang dengan lainnya karena kebutuhan setiap orang juga tidak sama. Sepanjang kita menghormati cara aktualisasi orang lain dalam beribadah seharusnya perbedaan tidak akan jadi masalah.
Bagi saya, perbedaan adalah keniscayaan. Allah sendiri menciptakan mahluknya dengan latar belakang suku, bangsa dan agama yang berbeda supaya bisa saling mengenal. Padahal jika dikehendaki-Nya, bisa saja dibuat sama. Sahabat Ali bin Abi Thalib RA sendiri mengatakan, “Mereka yang bukan saudara dalam keimanan adalah saudara dalam kemanusiaan.”
Jadi, para sahabat sejak lama sudah menanamkan nilai-nilai positif untuk menyikapi perbedaan. Rasulullah SAW mencontohkan kita dengan beberapa kali menyuapi seorang Yahudi. Lalu mengapa kita hari ini mudah sekali judgemental kepada mereka yang berbeda ? Alih-alih menjadi panutan seperti Rasulullah SAW kita seharusnya bertanya kepada diri kita sendiri legacy apa yang akan tinggalkan kepada generasi selanjutnya? (AN)
Wallahu a’lam.