Pagi sekali, habis subuh, anakku, Falah, sudah curhat. “Yah, kenapa guruku tidak memahami toleransi beragama?”
Aku pun terhenyak. “Kenapa?” Tanyaku.
“Soalnya guru agamaku bilang tidak boleh mengucapkan selamat Natal. Karena orang Kristen kafir.”
“Terus kamu gimana?”
“Ya aku kritik. Kenapa memang nggak boleh. Bukankah manusia itu makhluk sosial yang harus saling menghormati antar agama?”
Dan, Gurunya diam tak mau menjawab.
Selepas kegiatan belajar di kelas. Beberapa kawannya meneriaki Falah kafir.
“Emang kamu tahu apa itu kafir? Kalau nggak ngerti nggak usah bilang begitu!” Jawab anakku, enteng.
.Berbeda dengan dirinya yang dikafirkan. Kawannya Carlos yang Kristen, selalu dipersalahkan oleh kawan-kawannya apapun yang dilakukannya, karena dia Kristen. Tak jarang dia menangis di belakang sekolah karena dibully kafir.
Suatu ketika si Falah bersolidaritas pada Carlos, kawan-kawannya meneriaki, “Oh ini gengnya orang-orang kafir ya?”
“Kenapa orang Kristen didiskriminasi?” Tanyaku pada Falah.
Ia tidak menjawab. Ya, anakku, bisa jadi karena mereka kristen dan berbeda di tengah masyarakat yang menginginkan keseragaman identitas dan kemurnian agama. Mereka dimusuhi karena banyak tokoh agama Islam mengajarkan kebencian rasial dan agama.
Kamu benar karena berani mengatakan yang benar apapun rosikonya. Sebab, apa yang benar dan baik tak cukup hanya dengan diyakini, tapi juga perlu diperjuangkan.
Sing waras ojo ngalah, jika tak ingin Indonesia seperti Jerman ketika wabah anti Yahudi sudah tak lagi bisa dibendung. Sejenak dia menerawang membayangkan kekejaman Nazi di Jerman seperti di buku yang Ia baca.
Padahal semalam merintih kesakitan setelah disunat. Pagi-pagi, Anakku, sudah ngajak diskusi berat.