Ini cerita dari sahabatku beberapa waktu lalu ketika lebaran. Ia cerita, masih ada sekolah–tempatnya semacam SDIT (bukan semua)–dan mereka melarang siswa-siswinya nyanyi-nyanyian, upacara bendera dan, ehm, mengajari untuk mengafirkan orang lain. Hal itu sebenarnya tidak jadi soal, tapi yang penting, apa targetnya?
Ternyata, kata dia, terkait ‘nyanyi-nyanyian’ misi ujungnya ternyata menyanyikan lagu Indonesia Raya, karena memang di sana ada frasa “menyanyikan”, maka itu diberitahukan ke anak-anak bahwa hal tersebut bagian daripada nyanyian. Dan itu haram. Bumbu sedapnya adalah hormat bendera yang nggak boleh.
Di usianya yang masih terlalu dini, mereka diajarkan bahwa orang non muslim itu kafir, nggak boleh dekat-dekat dengan mereka.
Akhirnya, ada anak kecil, karena memang hidupnya di tengah kota yang heterogen masyarakatnya, dia yang sebelumnya berteman dengan non muslim, tiba-tiba, karena kepolosannya dia bilang ke temennya tersebut.
“Aku sekarang nggak mau temenan sama kamu, kata ustadzahku, kamu ini kafir,” katanya.
Anak kafir itu, karena anak kecil itu tidak tahu tanya ke kelurganya. “Eh, katanya saya ini kafir nggak boleh temenan sama si A. Apa sih kafir itu?”
Keluarganya bingung. Bagaimana menjelaskan dia yang masih bau kencur gitu tentang definisi “kafir”.
Ustadzahnya juga ada yang ‘ngeri’, katanya. Dia selalu pakai kaos tangan. Kalau salaman sesama wanita tapi bukan golongannya, dia tetap berkaos tangan. Tapi kalau sesama “balanya”, kaos tangan dilepas. Bagaimana perasaan sesama muslim yang tidak segolongan dengan dia coba? Meskipun, kubilang kepadanya, tidak semua seperti itu.
Di luar sana, anak-anak islam moderat seperti Muhammadiyah dan NU, atau orang-orang pesantren membahas tentang kafir-kafiran begini kalau sudah menginjak fase pelajaran pertengahan. Anak kecil itu kajiannya ya alif ba’ ta’, hafalan niat shalat, tata cara wudlu, setoran tasrifan dan lain sebagainya. Bukan diajari bagaimana cara membenci orang kayak gitu.
Lalu, saya pun bertanya, siapa yang salah?
Menurut saya orang tua. Orang tua yang nggak mau tahu, pokok asal sekolah Islam, asal berpendapat yang penting Islam, jangan salah, diakui atau tidak, teroris-teroris yang sudah ketangkap di Indonesia, mayoritas dari umat Islam. Islam yang mana?
Saya tidak mengklaim paling benar. Tapi saya menyadari Islam berhaluan garis keras itu ada. Kita, jangan menginvestasikan anak kita di lembaga-lembaga mereka. Dan, itulah yang kubilang ke sahabatku.