Dalam acara bedah buku berjudul “Deradikalisasi” karya Prof. AS Hikam yang digelar oleh International NGO Forum on Indonesian Development (Infid) beberapa hari lalu, terdapat sejumlah catatan penting atas fenomena proses radikalisasi yang ada di Indonesia.
Prof. AS Hikam memberi dua catatan penting terhadap lahirnya deradikalisasi di Indonesia. Pertama peran besar idoelogi atas lahir dan berkembangnya gerakan radikalisasi. Bahkan peran ideologi menurut penulis buku ini melebihi peran lebih dari pendidikan, ekonomi dan sosial-politik.
Ia memberi contoh, seseorang yang miskin yang lahir di lingkunan yang radikal tidak akan serta merta mengambil peran dalam radikalisasi tanpa adanya proses internaslisasi ide-ide radikal ke dalam pemikiran dan keyakinannya. Pada titik itu, AS Hikam menyebut bahwa faktor di luar ideologi sebagai faktor pendukung dari ideologi dalam melahirkan gerakan radikal.
Catatan kedua adalah sifat gerakan radikalisasi yang bersifat global. Dari hasi penelitiannya, AS Hikam yakin bahwa tidak ada gerakan radikal yang tidak terkoneksi dengan gerakan serupa di lintas teritori baik berskala region bahkan global. Singkatnya, gerakan radikalisasi di indonesia tidak bisa hanya bersifat ‘home ground teroris’ dan begitu saja terpisah dengan isu serupa di ‘dunia luar’.
Namun demikian, terdapat beberapa kekhususan gerakan di satu lokasi dengan lokasi lain. Misalnya gerakan radikal di Inggris memiliki sedikit perbedaan dengan gerakan di Indonesia. Jika di Inggris gerakan radikal ini mengimingi-imingi calon pelaku teror dengan challenge atau kesempatan untuk terlibat memperjuangkan sesuatu yang besar di level dunia melalui jihad, di Indonesia íming-iming’ itu umumnya ditambah dengan jaminan keamanan ekonomi keluarga yang ditanggung si ’calon mujahid’.
Selanjutnya AS Hikam membagi radikalisme menjadi dua kategori melalui perilakunya dalam menjalankan ide radikalisme. Kelompok-kelompok yang cenderung melakukan teror secara frontal seperti Isis dan Alqaeda dikategorisasi sebagai kelompok radikal keras. Sementara kelompok yang menggunakan erakan pemikiran seperti upaya menyelipkan nilai radikalisme di dalam UUD seperti yang dilakukan Rizieq Syihab melalui tulisannya dikategorisasi ke dalam radikalisme lunak.
Jenis radikalisme yang kedua ini cenderung lebih berbahaya terhadap keberlangsungan Indonesia, sebab ia tidak bisa serta merta dilawan dengan perlawanan fisik. Dan tentu saja, ia bisa dengan lebih mudah menjelma ke dalam instrumen-instrumen atau institusi kenegaraan.
Lantas bagaimana cara menahan laju radikalisme di Indonesia?
Upaya untuk menahan laju radikalisasi yang telah cukup jauh di Indonesia tidak bisa hanya diserahkan kepada pemerintah semata, tanpa melibatkan stakeholder yang lain seperti organisasi kemasyarakatan, keagamaan, lembaga pendidikan dan (atau) bahkan masyarakat secara langsung.
Keterlibatan masyarakat dalam upaya penanggulangan radikalisme merupakan salah satu ciri keberhasilan dari upaya-upaya tersebut demi terciptanya masyarakat yang imune terhadap isu radikalisme.
Langkah yang mesti menjadi pilihan dari upaya deradikalisasi harus berbeda dengan radikalisasi. AS Hikam memberi kritik terhadap sikap Ansor dan Banser yang ’terpancing’ melakukan aksi penghentian pidato Khalid Basalamah di Sidoarjo beberapa waktu lalu. Walaupun AS Hikam yakin, hal itu dipicu oleh absennya negara dalam kejadian itu, tetap saja hal itu merupakan preseden buruk yang tidak perlu diulang. Sama seperti pelarangan khutbah MTA di Solo, Kudus, dan tempat lain. Menurutnya, semua upaya deradikalisasi tidak dapat dilakukan dengan cara radikal.
Lebih jauh, gerakan radikalisasi haruslah menjadi kepentingan bersama dengan menjadikannya sebagai gerakan politik. Sehingga semua stakeholder terutama pemerintah berupaya menjadikan gerakan deradikalisi sebagai gerakan politik, dengan cara memasukkan gerakan ini ke dalam agenda besar pemerintahan.
Radikalisme dan Perebutan Kuasa di Media Sosial
Pembicara lain, Savic Ali direktur NU Online menghighlight maraknya radikalisasi di dunia online. Ia percaya bahawa menguatnya gerakan radikalisasi di dunia nyata dipicu oleh banyaknya konten pesan radikalisasi di dunia maya. Di sisi lain juga terdapat perebutan otoritas beasar di kalangan islam indonesia melalui dunia online.
Menurut data yang dia paparkan, mayoritas dari 20 situs agama yang paling banyak diakses di Indonesia merupakan situs-situ yang memiliki konten radikalisasi baik secara langsung berkaitan dengan lembaga seperti Isis dan Alqaeda atau tidak berkaitan secara langsung namun mendorong isu serupa. Dalam peta itu, situs Islam yang paling digandrungi yang mendorong Islam dalam lebih sedikit, seperi NU Online di urutan kelima antara situs yang paling diakses.
Sehingga Savic berkesimpulan, gerakan Islam yang menyurakan perdamaian tertinggal jauh dari pada kampanye Islam yang mengajak kekerasan. Lebih parah, katanya, , saat ini, warga Indonesia hidup di ‘zaman kebencian’ di mana orang lebih senang menabur benci di antara sesama warga melalui lama media sosial.