“Drrrt…drrrt…drrrt…drrrt”. Seperti biasa, hape penulis bergetar untuk kesekian kalinya meski jam masih menunjukkan pukul 07.00. Setelah dibuka dan di-scroll, ternyata ada pesan dari salah satu ibu dari murid ngaji yang penulis ampu yang terletak di sekitar Jakarta. “Assalamu’alaikum, Mas, mohon maaf ya, untuk sementara waktu les ngajinya libur dulu. Karena khawatir sekaligus mengantisipasi penyebaran virus Corona yang sudah banyak menelan korban”.
Dengan sigap otak nakal penulis berkata, “Wah, fulus penyambung hidup di bulan ini berkurang ini”. Itulah fikiran manusia awam seperti penulis yang isinya hanya uang dan uang, terkadang juga perempuan. hehe, bercanda… Tapi percayalah, otak penulis tidak sebegitu hedonisnya sehingga mengajar ngaji saja mikirnya “hanya” uang. Meski ikhlas lillahi ta’ala itu sulit, akan tetapi niatan itu tetap harus kita tanamkan ketika ngajar atau melakukan apapun.
“Pesan kejut” di atas yang terjadi sekitar dua minggu yang lalu ini mungkin juga dialami oleh beberapa masyarakat di Indonesia yang sedang dilanda Covid-19. Sedih memang ketika sebagian masyarakat kita sudah banyak yang dinyatakan positif terkena virus bahkan data terbaru menunjukkan bahwa sudah ada puluhan masyarakat yang meninggal karena virus ini. Semoga mereka yang meninggal khusnul khotimah di jalan Allah. aminn.
Namun demikian, “rating” kesedihan penulis sebenarnya lebih tinggi ketika melihat masih adanya masyarakat yang tidak mengindahkan saran dari para ulama’ maupun pemerintah. Di zona merah dan kuning, masih ada saja sementara masyarakat yang berjamaah di masjid, atau generasi TikTok yang masih dugem di diskotik, para pejuang pencari nafkah yang lupa membawa masker saat bekerja, terlebih pujangga pengangguran yang “gembruyuk” berdesak-desakan main kartu sambil ngerokok dan ngopi di warung remang-remang.
Tak heran bila para pejuang yang melawan corona—entah itu dokter maupun influencer—yang akhirnya dibuat pusing kepala melihat masyarakat kita yang masih bersikap acuh terhadap virus ciptaan Allah ini (yang konon diyakini sebagai tentara Allah untuk orang kafir). Sikap acuh tentu berbeda dengan waspada dan tetap tenang. Sikap tenang tidak menimbulkan kekhawatiran berlebih, Akan tetapi sikap acuh bahkan sembrono setidaknya mengucapkan “Kalau takdir Allah mati ya mati”. Sikap yang sangat tipis dengan keyakinan Jabariah/Fatalistik, setipis jembatan Sitatal Mustaqim di hari kiamat kelak.
Beda sembrono, beda pula yang mengisolasi diri. Teman-teman kita yang satu ini sebenarnya cukup baik karena sudah mengikuti saran pemerintah dan ulama’. Namun sayang, tanpa disadari terkadang mereka melakukan isolasi diri dengan hashtag “Dirumahaja” tanpa makna, karena berjam-jam bahkan seharian mereka habiskan dengan main game, nonton drakor, atau bahkan nonton sesuatu yang “Hot”. Heuheu, jujur saja. Virus corona yang awalnya dijadikan Allah supaya kita mengingat kebesaran-Nya, eh malah membuat kita semakin terlena.
“Kok sepertinya dari tadi penulis bisanya cuma mengkritik, emang penulis dewa atau malaikat yang tidak khilaf dan sempurna? Gak usah munafiq deh!” mungkin ada yang berfikir begitu. Tapi tenang dulu guys. Penulis hanya ingin mengamalkan pesan Allah yang sering dilafalkan para penda’i dan anak TPQ sewaktu akan pulang, “tawashow bilhaqqi wa tawashow bissobr”. Saat seperti ini kita seharusnya bersatu, saling mengingatkan, bukan malah menghujat dan menjatuhkan. Karena, seperti kata pak Menhan (sebelum corona datang) kepada para wartawan, “Kita sekarang friend ya”. Hehe.
Hemat penulis, akan sangat bermakna, indah dan syahdu sekali bila kita jadikan ujian corona ini sebagai cara kita untuk melakukan “isolasi ruhani” atau isolasi maknawi yang penuh arti. Maksudnya? Maksud penulis, seyogyanya kita melakukan ‘uzlah kontemporer di era covid-19. Bukan ‘uzlah seperti para sufi-sufi klasik super keren sekaliber Hasan al-Basri (w.110 H/728 M), Rabi’ah al-Adawiyah (w. 185 H/801 M), atau seperti ‘uzlah-nya Abu Yazid al-Bustami (w. 261H) dan al-Hallaj (w. 309 H) sehingga keduanya syakr (mabuk) dan kemudian merasakan wahdatul wujud dan hulul demi mencapai hakikat Allah. Bukan seperti ini kawan, ini berat.
Bila kita melakukan ‘uzlah seperti mereka yang benar-benar menyendiri, menyepi, dan berdzikir, khawatirnya kita akan lupa bahwa kita punya kewajiban lain. Bahkan mungkin sekali yang muncul bukan syakr karena akan bertemu dengan hakikat Allah, yang ada malah kita kerasukan bisikan ghaib dan tiba-tiba ngaku-ngaku sebagai Nabi seperti Lia Eden, Musadeq, dan kawan-kawannya yang sempat menggegerkan jagad Indonesia beberapa tahun silam.
‘Uzlah era covid-19 ini mungkin seperti ‘uzlah dalam pengertian al-Ghazali (w.505 H/1111 M), Said Nursi (w.1960 M), Fazlurrahman (w.1988 M), atau juga Harun Nasution (w. 1998 M). ‘Uzlah versi mereka tidak bermakna ‘uzlah individu. Sebaliknya, ‘uzlah mereka adalah ‘uzlah kolektif yang tidak hanya bermanfaat bagi pribadi, akan tetapi bagi sesama. Dalam konteks di Indonesia yang sedang diserang corona, kita bisa di rumah dan tetap berkarya (bagi yang di zona merah/kuning), atau bagi yang masih di zona yang cukup aman, tetap bekerja sambil jaga jarak dan pakai masker. Atau akan lebih bagus lagi apalagi kita mau berdonasi untuk para korban. MasyaAllah, Tabarokallah, Indah banget Indonesia kalau sudah seperti ini akhii.
Satu lagi, ‘uzlah era covid-19 juga harus benar-benar disertai dengan doa yang tulus kepada Allah agar Dzat yang Maha Kuasa ini segera “mengangkat” makhluk yang—kecilnya tidak terlihat—namun menggemparkan hampir semua negara-negara besar maupun manusia-manusia yang sering angkuh ini.
Sebagai penutup, mari bersama memperbanyak solawat dan doa pagi dan petang ini: “بسم الله لا يضرّ مع اسمه شيئ في الأرض ولا في السماء وهو السميع العليم”. Ya Robb, di bulan Sya’ban-Mu ini, bulan persiapan menuju bulan Agung-Mu (Ramadhan) segera angkatlah wadah pandemic ini. Kami berjanji akan menjadi khalifah yang benar-benar menjaga bumi ini ya Rabb. Amin.