4 agustus menjadi momen spesial bagi para pecinta dan pengikut Gus Dur. Pasalnya hari ini dikenang sebagai hari lahir Gus Dur, untuk itulah tagar #HarlahGusDur sedang ramai di sosial media. Barangkali banyak pihak yang masih merasa bingung karena Hari Lahir Gus Dur diperingati dua kali dalam setahun, yakni 4 Agustus dan 7 September. Perbedaan penulisan tanggal lahir ini bermula ketika Gus Dur ditanya gurunya soal tanggal lahirnya.
Gus Dur mengingat bulan komariahnya dan lupa bulan Syamsiyahnya, sepontan ia menjawab “Tanggal empat, bulan delapan, tahun 1940” dengan sedikit ragu. Yang dimaksud Gus Dur sebenarnya adalah bulan Sya’ban, bulan ke delapan dalam hitungan hijriyah. Tetapi gurunya menganggap lahir di bulan Agustus. Sejak itulah Gus Dur dianggap lahir pada 4 agustus 1940. Padahal ia lahir tanggal 4 Sya’ban 1359 H atau 7 September 1940.
Perbedaan tanggal lahir ini menambah deretan hal-hal kontroversial yang lekat dengan diri Gus Dur. Sebagaimana kita tahu, sosok Gus Dur adalah sosok penuh kontroversi. Seorang tokoh yang memiliki cara pandang yang unik dan misterius. Ia tak akan memandang sesuatu dari cara pandang orang lain. Untuk itulah tidak banyak orang yang mampu dengan seketika menerjemah simbol-simbol yang dikeluarkan Gus Dur baik dari perkataan, sikap, dan pandangannya terhadap sesuatu.
Terlepas dari itu, tanggal 4 Agustus, selain tagar #HarlahGusdur meramaikan sosial media, diikuti juga dengan #TerimakasihGusDur. Ini adalah ucapan terimakasih masyarakat atas banyak hal yang sudah diberikan Gus Dur kepada Indonesia. Banyak orang yang merindukan Gus Dur, merindukan kharisma kepemimpinannya, merindukan keteduhan kekyaiannya, dan merindukan gagasan pluralismenya.
Di tengah krisis kemanusiaan seperti saat ini, Gus Dur adalah sosok yang paling dirindukan, karena hanya dia yang konsisten memperjuangkan kesetaraan dalam heterogenitas. Gus Dur memandang perbedaan sebagai suatu modal untuk menjalin kebersamaan.
Jika Gus Dur memiliki slogan “Gitu Aja Kok Repot”, maka saat ini masyarakat menjawabnya dengan “Setelah Kepergianmu, semua jadi repot”. Gus Dur adalah guru bangsa. Milik semua agama. Milik semua lapisan masyarakat. Gus Dur adalah prototipe kyai kharismatik, yang dengan santainya menjalani kehidupan perpolitikan. Ia tidak acuh terhadap konstelasi perpolitikan negeri, ia justru terjun, ia hadir dengan tidak menanggalkan keulamaannya.
Untuk itulah pengikutnya begitu banyak, dari berbagai latar status sosial, lintas kepercayaan, lintas partai, karena dirinya menunjukkan akhlak yang mulia, di tengah krisis sosok politikus yang ideal.
4 Agustus ingatan sesosok panutan kembali menyerua. Semua kembali mengenang Gus Dur. Tetapi, cara terbaik mengenang Gus Dur adalah dengan mempelajari pemikirannya, mengikuti jejaknya, dan melanjutkan perjuangannya. Pemikiran Gus Dur bisa dipelajari dari banyak sumber, misalnya, buku-buku biografi mengenai dirinya, baik dari kajian penelitian perpolitikan sebagaimana ditulis Greg Barton, maupun dari kaca mata lain seperti buku biografi Gus Dur yang ditulis Muhamad Rifai, dan buku-buku lain yang mengungkap sosok Gus Dur secara lebih rinci, seperti halnya penelitian akademik yang menguak pemikiran, pribadi, dan rekam jejak karir Gus Dur, hingga yang berupa Novel sebagaimana “Peci Miring” karya Aguk Irawan Mn.
Pemikiran Gus Dur tidak pernah habis dibaca, tidak pernah selesai dituliskan. Terlampau banyak peninggalan pemikiran yang ia wariskan. Ia memberi kesempatan kepada masyarakat untuk bisa mengikuti pemikirannya, dengan melacak benang merah pemikiran yang bertebaran di mana-mana. Tentu, pemikiran Gus Dur bukan semata untuk dipelajari sebagai sebuah teori semata, melainkan juga sebagai landasan dalam pengamalan.
Artinya, pemikiran Gus Dur tidak hanya untuk dipelajari, tetapi diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Aspek paling menonjol dari pemikiran Gus Dur adalah persoalan kemanusiaan atau humanisme universal. Ia adalah bapak pluralisme, bapak multikulturalisme. Mampu merekatkan persaudaraan dari banyak perbedaan.
Sebagaimana pemikirannya, jejak Gus Dur sangat perlu diikuti. Lelaku yang ia tampilkan sangat memberikan banyak pelajaran berharga. Kebijakan-kebijakannya saat menjadi Presiden, misal, adalah bagian dari jejaknya yang perlu diikuti. Ia hampir mempelajari semua disiplin ilmu, dari keagamaan, tentunya, politik, sosial, hukum, hingga kesenian dan sepak bola. Gus Dur adalah intelektual serba bisa, tulisannya sangat banyak, melintasi pelbagai genre dan tema. Bahkan, ia pernah menjabat sebagai ketua Dewan Kesenian Jakarta pada kurun 1982-1985. Sesuatu yang unik.
Gus Dur juga seseorang yang suka dengan kelakar atau joke. Ini menandakan bahwa ia bukan sosok yang kaku-protokoler, ia adalah pribadi yang dinamis, yang senantiasa menghadapi hari dengan jiwa yang tenang dan lapang.
Gus Dur adalah sosok pejuang yang tidak mengenang kata menyerah. Ia memperjuangkan HAM, memperjuangkan kemanusiaan, memperjuangkan nasib minoritas. Perjuangannya tidak diragukan lagi. Setiap langkah yang ia lakukan, memberi kemanfaatan bagi sesama. Sebuah prinsip hidup yang perlu ditiru.
Maka cara mengenang Gus Dur paling strategis adalah dengan melanjutkan perjuangannya.
Sangat banyak komnitas yang berangkat dari kecintaannya terhadap Gus Dur, seperti Gusdurian, Santri Gus Dur, Murid Gus Dur, Pecinta Gus Dur, Sahabat Gus Dur dan komunitas-komunitas lain yang tersebar di Indonesia. Mereka berkumpul atas dasar kecintaan pada Gus Dur dan pemikiran-pemikirannya. Mereka tidak hanya dari Islam saja, melainkan lintas agama. Ini adalah bagian dari melanjutkan perjuangan Gus Dur dalam membangun Baldatun Thoyibatun.
Karena Gus Dur adalah guru bangsa. Maka sudah semestinya apa yang menjadi buah pemikirannya, jejak langkahnya, dan perjuangannya untuk ditiru, diikuti, dan dilanjutkan. Sembilan nilai Gus Dur yang meliputi ketauhidan, kemanusiaan, keadilan, kesetaraan, pembebasan, kesederhanaan, persaudaraan, kesatriaan, dan kearifan lokal adalah kunci yang ia wariskan dalam rangka membangun bangsa yang kuat, yang kokoh, yang tidak mudah goyah oleh fitnah yang merongrong keutuhan NKRI, sebagaimana terjadi akhir-akhir ini.