Belakangan, sentimen radikalisme mengalir cukup deras. Apalagi di kalangan kelas menengah muslim. Hal ini sesuai dengan temuan dari Alvara Research Center yang disampaikan saat diskusi Wahid Foundation dengan tema Peta Konten dan Aktor Radikal di Media Sosial dan Media Online” yang dihadiri oleh beberapa elemen seperti kepolisian, pers, aktivis, penggiat media sosial, dan lain sebagainya.
Saya yang mungkin masuk dalam kategori kelas menengah cukup merasakan derasnya arus fundamentalisme saat ini. Beberapa kawan saya ada yang melakukan “hijrah” dan mereka (saya kira) pelan-pelan mulai menjauhi orang-orang yang dianggap tidak sepaham, seringkali berceramah dan mendakwahi saya tentang halal tidaknya suatu produk atau bid’ah tidaknya sebuah tindakan dan segala macam tetek bengeknya.
Yang menjemukan: mereka seperti merasa menjadi wakil Tuhan di dunia sehingga bisa menggunakan hak prerogatif Tuhan untuk menghakimi keimanan seseorang.
Pada titik yang ekstrem, mereka sampai membenci dan mengkampanyekan kebenciannya pada suatu kaum. Hal ini bisa menjadi api dalam sekam yang sewaktu-waktu berpotensi membakar rumah kita tercinta, Indonesia. Sudah tentu siapapun yang ingin menjaga rumah besar ini harus ikut berperan mencegah potensi bahaya tersebut.
Di Mana Peran Kita?
Saya kira, kita atau siapapun yang concern terhadap isu radikalisme dan melakukan kontra-narasi menyumbang kontribusi terhadap menguatnya sentimen fundamentalisme. Dalam buku Battle for God, Karen Armstrong menyatakan: “Sejarah memperlihatkan bahwa usaha-usaha untuk menekan fundamentalisme hanya akan membuatnya lebih ekstrem.”
Biasanya para fundamentalis memiliki kepercayaan bahwa saat ini dunia memasuki akhir zaman. Tanda-tanda akhir zaman adalah maraknya kebiadaban yang mengacuhkan nilai-nilai agama, bahkan memusuhi agama. Timbul kepercayaan bahwa mereka adalah pasukan Tuhan untuk melawan kebiadaban dunia. Perang abadi kebaikan dan kejahatan antara pasukan Tuhan dan pasukan setan. Pada titik puncak radikalisme, siapapun yang berseberangan dengan kelompoknya dianggap sebagai musuh Tuhan yang harus diberangus.
Posisi yang kita ambil seringkali terlalu berseberangan dengan mereka, sehingga membuat mereka seolah-olah membenarkan keyakinannya bahwa orang-orang ingin merusak agama. Apalagi orang liberal, Syiah, Ahmadiyah yang dianggap musuh dalam selimut. Sama-sama Islam tapi punya nilai yang berbeda. Bahkan, Islam moderat yang ramah seperti Muhammadiyah ataupun NU.
Sudah bukan rahasia umum kalau sekarang banyak orang yang belajar melalui internet, termasuk belajar agama. Buktinya mudah, lihat saja ceramah langsung ulama-ulama yang ngartis di YouTube, jemaahnya sangat membludak! Belum lagi website dakwah, traffic nya cukup tinggi. Dan, mayoritas website dakwah yang banyak diakses adalah yang dikelola oleh mereka yang cenderung berpaham radikal, atau paling tidak tekstualis.
Menurut saya, yang harus dilakukan adalah alternatif narasi, bukan kontra narasi. Hal ini berpotensi untuk meminimalisir konfrontasi langsung yang justru malah menguatkan militansi para radikalis. Inilah kekurangan orang-orang berpaham moderat di manapun: militansi dalam menyebarkan paham. Lantas, apa yang dimaksud dengan alternatif narasi?
Alternatif narasi adalah menyediakan bacaan-bacaan dengan kuantitas yang banyak di dunia maya. Tidak harus selalu mengkontra pemikiran radikal. Melainkan menyediakan konten-konten Islam moderat yang ramah. Memang metode ini mungkin terlihat tidak begitu efektif dan memakan waktu yang panjang. Dengan kuantitas konten Islam moderat yang melimpah, perlahan konten-konten radikal yang keras-keras bisa terpendam dengan sendirinya.
Nah, saya juga berharap kita yang memiliki concern terhadap radikalisme untuk melakukan langkah baru. Bagaimana kalau kita lebih merangkul mereka dan mencari persamaan (yang cukup banyak) untuk mencegah hal-hal yang lebih berbahaya dan melanggar hukum? Seperti hate speech, kekerasan, terorisme, dan lain sebagainya. Jadi, kita perlu duduk bersama dan berdialog untuk mencegah hal-hal yang melanggar hukum. Jangan terus menyerang kelompok mereka.
Saya yakin bahwa manusia pada dasarnya baik, sehingga konten-konten yang sejuk dan ramah bisa lebih mudah dikonsumsi. Seperti kata Nelson Mandela: “No one born hating another person because of their skin, background, or their religion. People must learn to hate, and if they can learn to hate, they can be taught to love, for love comes more naturally to the human heart than its opposite.”
Membuat Konten yang Baik
Pada dasarnya, keputusan manusia diambil berdasarkan emosi (suka atau tidak). Rasionalitas bekerja belakangan untuk memberikan pembenaran atas keputusan yang diambil. Kurang lebih, rasionalitas bekerja seperti pengacara. Kliennya adalah emosi, jadi apapun yang diminta emosi, rasionalitas harus membenarkannya.
Konten yang baik adalah yang mampu mempengaruhi banyak orang. Dalam konteks ini, untuk berpengaruh, kita harus membuat mereka menyukai konten kita terlebih dahulu. Kalau sudah disukai, akan lebih mudah untuk mempengaruhi. Mirip-mirip penjelasan post-truth lah. Dan memang hal ini terbukti secara ilmiah, seperti dalam buku Jonathan Haidt yang berjudul The Righteous Mind: Why Good People Are Divided by Politics and Religion.
Bagaimana untuk memenangkan hati orang-orang? Saat ini, konten yang disukai adalah yang mudah dipahami. Dalam gagasan agama, mereka menyukai konten yang mengandung banyak dalil ayat atau hadits. Itulah kenapa artikel-artikel tentang doa dan tata cara lebih banyak dibaca di portal-portal yang mengedepankan islam rahmatna lil alamin seperti NU online, islami.co, alif.id dan lain-lain daripada yang njelimet membahas pemikiran filosofis.
Menurut saya, kita harus mencurahkan sedikit energi untuk mengikuti kemauan pasar. Sambil pelan-pelan menyisipkan konten-konten deradikalisasi, seperti mengkampenyakan toleransi. Lantas, apa yang harus diprioritaskan dalam konten? Isi atau bungkus?
Tergantung tujuannya. Kalau kita ingin mengedukasi atau memberikan pembelajaran untuk masyarakat, maka isi atau substansi lebih penting. Perlu diingat, pembelajaran yang baik membutuhkan usaha yang lebih. Sedangkan, masyarakat kita tidak mencurahkan energi yang banyak untuk belajar. Energinya sudah habis tercurah untuk menghadapi persoalan hidup yang kompleks.
Untuk memenangkan kontestasi gagasan, kita harus memenangkan hatinya dulu. Karena kalau sudah tidak disukai, bagaimanapun isinya tidak akan laku. Oleh karena itu, bungkus menjadi sangat penting dalam konteks ini. itulah kenapa ulama-ulama YouTube yang sangat populer saat ini sangat disukai. Sebab mereka mudah dipahami dan sering menyertakan ayat-ayat.
Sedangkan, ulama sekaliber Kiai Said Aqil dan Quraish Shihab jarang menggunakan metode tersebut. Sehingga mereka kurang disukai. Atau paling tidak, tidak se-populer Ustadz Abdul Somad di kalangan muslim kelas menengah. Wallahu A’lam.